================================================= THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pluralisme Indonesia." ================================================= [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pluralism Indonesia Quotient] Memyambut TAHUN BARU 2010 dan Mengenang 7 HARI Kepergian Para Pahlawan Bangsa "Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." Indonesia dan Gus Dur Oleh : Benny Susetyo Di tengah sakit yang mendera, pada 25 Desember 2009, seperti biasanya Gus Dur masih menyempatkan menelepon untuk mengucapkan selamat Natal dan Tahun Baru, sekaligus menyampaikan salam kepada Romo Kardinal dan rekan-rekan sejawat lainnya. Saya menanyakan kondisi beliau yang oleh beberapa media sudah dikabarkan sakit. Beliau menjawab bahwa dirinya sehat-sehat saja dan saat itu berposisi di Kantor PB NU (juga sempat menyatakan sudah makan bubur). Saat itu beliau menyatakan keluhan sakit pada giginya. Saya menanyakan mengapa tidak istirahat di rumah sakit saja, beliau masih menjawab dirinya sehat-sehat saja. Memang ada yang berbeda dalam perjumpaan terakhir itu dan itu yang membuat saya pribadi begitu berat kehilangan. Dalam percakapan itu Gus Dur menitipkan beberapa pesan penting dan tidak saya sadari itulah pesan terakhir kepada kami. Harga mati Yang pertama yang beliau sampaikan secara sungguh-sungguh adalah masalah keindonesiaan kita. Beliau berharap agar keindonesiaan bisa kita jaga dengan sekuat tenaga, keberanian, dan kejujuran. Kata ”kejujuran” itu diulang berkali-kali seolah untuk menunjukkan betapa kejujuran dalam ber-Indonesia selama ini sudah benar-benar diabaikan, utamanya dalam politik-kekuasaan. Yang kedua, ”Pluralisme itu harga mati, Romo.” Pluralisme itu mutlak untuk membangun Indonesia kita yang memiliki banyak suku bangsa dan agama. Pluralisme menjadi cara pandang paling baik untuk bersikap dan bertindak. Sudah tidak ada lagi yang bisa ditawar, pluralisme harus menjadi cara pandang untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih baik. Yang ketiga, tak lupa beliau berpesan tentang sikap yang sebaiknya dilakukan agar dalam menghadapi tantangan dan tentangan yang datang dari kaum yang memiliki fanatisme sempit dan fundamentalisme. Menurut Gus Dur, itu semua harus dihadapi dengan cinta. Kekerasan tidak bisa dilawan dengan kekerasan karena ia hanya akan melahirkan lingkaran kekerasan. Untuk mewujudkan perdamaian, cinta adalah dasar dari nilai-nilai kemanusiaan dan humanisme universal. Tak lupa beliau mengingatkan bahwa saat ini negara kita dikendalikan oleh para mafia hitam. Mereka seolah memiliki kekuasaan dan kekuatan yang bisa menghancurkan kedaulatan hukum kita. Itu semua, sekali lagi ditegaskannya, karena sudah hampir hancurnya kejujuran dalam bertindak dan berperilaku. Tanpa kejujuran kita hanya akan terperosok pada hal sama berulang-ulang. Saya mengingat betul kalimat yang beliau sampaikan bahwa negara ini akan hancur apabila dibimbing oleh orang yang tidak punya nurani. Atas itu semua Gus Dur masih meyakini bahwa peluang untuk menjadikan Indonesia lebih baik itu masih terbuka apabila kekuasaan diorientasikan untuk membantu rakyat, bukan semata-mata mendukung pada kapital. Karena itu, dibutuhkan proses yang panjang dan terus-menerus untuk mendidik masyarakat ini, demikian ujarnya. Perjuangannya untuk kaum minoritas dan pembelaannya untuk kaum perempuan juga sudah tak diragukan lagi. Itu setidaknya dinyatakan pada akhir pembicaraan agar ikut serta membantu dan memperkuat perjuangan yang sudah dijalani oleh Ibu Shinta Nuriyah selama ini. Dalam percakapan singkat di telepon itu, saya tidak tahu jika itu pesan terakhir Gus Dur kepada kami yang juga relevan ditujukan kepada rekan-rekan sejawat yang masih setia dengan perjuangan untuk pluralisme, demokrasi, dan humanisme melalui kekuatan hati nurani dan kejujuran. Di tengah derita rasa sakit yang sudah dijalaninya bertahun-tahun, bahkan di akhir hayatnya, Sang Gus Dur begitu jelas dan tegas menyatakan kecintaannya untuk Bumi Pertiwi ini, dengan keyakinan dan semangat! Adakah teladan seperti ini bisa dikuti para elite dan politisi kita dewasa ini. Peristiwa Situbondo Begitu banyak ide nyeleneh beliau yang diposisikan kontroversial di tengah masyarakat pada akhirnya terbukti sebagai ide-ide yang lurus, yang mendukung pluralisme dan demokrasi. Itu artinya ada pertanyaan besar di tengah kita semua, adakah jalan yang kita tempuh selama ini begitu menyimpang sehingga jalan lurus pun dianggap sebagai nyeleneh? Romo Mangun (almarhum) adalah tokoh yang memperkenalkan saya kepada Gus Dur pada 1996, terutama di sekitar peristiwa Sepuluh Sepuluh. Sebuah peristiwa yang menggemparkan sejarah hubungan agama dan negara di masa rezim Orde Baru. Kita pun ingat istilah rekayasa para ”naga merah” untuk menghancurkan ”naga putih”. Peristiwa pembakaran gereja pertama kali di Situbondo pada 1996 itu didokumentasikan secara lengkap dalam berbagai foto, catatan, dan analisis. Saat itulah begitu jelas diketahui bagaimana rezim berkeinginan untuk mengadu domba keberagamaan masyarakat. Saya mengingat saat itu Gus Dur datang dari Roma dan langsung menuju Situbondo, sekaligus meminta maaf atas adanya kejadian itu — walau kita tahu persis itu bukan kesalahan Gus Dur dan kelompoknya. Gus Dur menyadari ada kekuatan rezim yang mengadu-domba dengan menggunakan agama sebagai kepentingan politik. Semenjak itu saya mengenal Gus Dur sebagai tokoh yang tidak hanya berbicara, melainkan juga melakukan tindakan. Kami sering turun ke bawah untuk memberikan penjelasan kepada umat yang diombang-ambingkan informasi sesat. Semenjak itulah kami merumuskan apa yang selanjutnya dikenal dengan ”Persaudaraan Sejati”. Itu semua disadari dan diyakini bahwa peristiwa Sepuluh Sepuluh itu bukan konflik agama, melainkan konflik politik yang menggunakan agama sebagai kambing hitam. Begitu banyak kami menjalani hari-hari memperjuangkan pluralisme, toleransi, kebersamaan, dan demokrasi bersama Gus Dur. Sudah tak terkirakan lagi sumbangsih beliau untuk kemajuan negeri ini. Kini Indonesia hidup tanpa seorang Gus Dur. Pertanyaan besar yang tersisa adalah apakah kita mampu menjaga dan meneruskan semua cita-cita besar beliau untuk mewujudkan Indonesia yang beradab? Semoga. Selamat jalan, Gus.... BENNY SUSETYO Komisi HAK Konferensi Waligereja Indonesia, Kompas, 5/1/10. -------- IN MEMORIAM Frans Seda Bersama Bung Karno Rabu, 6 Januari 2010 | 02:48 WIB Bagi Franciscus Xaverius Seda atau Frans Seda, mantan Presiden Soekarno atau Bung Karno adalah idola. Karena itu, Frans Seda terharu saat bertemu Bung Karno tahun 1966. ”Saya sedikit menangis,” ujar Frans Seda. Mengapa? Soalnya Bung Karno bilang, ”Frans, mengapa kau turut mendongkel aku.” Frans Seda mengungkapkan itu dalam suatu wawancara di Jakarta berkenaan dengan hari ulang tahunnya yang ke-70, 4 Oktober 1996. Frans Seda mengaku sangat dekat dengan Bung Karno. Bahkan, dia sudah bertemu dengannya saat kelas II SDK Ndao, Ende, Flores, tahun 1935. Frans bahkan berdeklamasi di depan Bung Karno. Bung Karno dibuang oleh pemerintahan kolonial Belanda ke Ende pada 1934-1938. ”Saya langsung memeluk Bung Karno. Ini bukan mendongkel Bung. Yang tidak kita setujui dan lihat, Pancasila dalam bahaya dengan adanya PKI (Partai Komunis Indonesia),” ujar Frans. ”Saya lalu bilang, sudahlah, Bung. Kami berantem membela Pancasila yang Bung wariskan,” lanjutnya. Frans Seda terakhir kali bertemu Bung Karno tahun 1968. ”Kami semua dipanggil ke istana saat MPRS memutuskan Pak Harto ditunjuk sebagai pejabat presiden,” ujar Frans. Pada 21 Februari 1968 Bung Karno menyerahkan kekuasaan. ”Sebelum diturunkan sebagai presiden, pukul 19.00, kami dipanggil Pak Harto (Presiden Soeharto) ke istana. Bung Karno memanggil Pak Harto untuk membacakan surat keputusan,” lanjutnya. Setelah pertemuan pertama tahun 1935, Frans bertemu lagi dengan Bung Karno tahun 1946 di Yogyakarta. Biasanya, sekali sebulan Bung Karno menerima laskar dari luar Jawa. ”Saat itu saya opsir dan letnan laskar Paraja. Saat ditanya siapa dari Flores, saya maju,” ujar Frans. Lalu, Bung Karno berkata, ”Saya teringat pernah mengunjungi sekolah dan disambut deklamasi.” Frans langsung bilang bahwa dia yang berdeklamasi saat itu. ”Bung Karno suruh saya ulangi lagi deklamasi itu. Baru sampai kuplet kedua, dia melanjutkan semuanya,” katanya. Pertemuan dengan Bung Karno berlangsung lagi setelah Frans selesai belajar ekonomi di Katholieke Economische Hogeschool, Tilburg, Belanda, 1956. Saat pulang dari Belanda, masih di kapal, Frans dijemput Pak IJ Kasimo. Kongres Partai Katolik di Malang memilih Frans sebagai wakil ketua partai tersebut. Aktif di Partai Katolik membuat Frans dekat lagi dengan Bung Karno. Bahkan, dia diminta menjadi menteri perkebunan dalam pemerintahannya. ”Saya dipanggil Bung Karno. Bung Karno bilang, mau bikin apa dengan perikanan?” tutur Frans. ”Kok tanya saya?” batin Frans. Pada saat itu Bung Karno lantas bilang agar Frans jangan meninggalkan kota dan besok datang lagi. Waktu keluar, Frans bertanya kepada staf di sana, apa maksudnya? Jadi menteri? ”Saya masuk lagi ke kamar Bung Karno. Saya tanyakan, kabarnya kami mau jadi menteri,” tanya Frans. ”Tunggu saja besok,” jawab Bung Karno. ”Saya bilang, saya Ketua Umum Partai Katolik yang beroposisi pada pemerintah, jadi saya sulit menjadi menteri,” ujarnya. Lalu, Bung Karno bilang, ”Peduli apa dengan Partai Katolik. Saya perlu kamu, bukan partai kamu.” Tapi Frans tetap tegas. ”Saya ketua umum, moralnya di mana? Karena itu, saya minta waktu berunding dengan partai,” ujarnya. ”Boleh. Tapi ingat, kalau kamu tidak menerima, Bung akan marah,” kata Soekarno. Frans Seda lalu mengadakan rapat darurat DPP Partai Katolik. Dia mengutarakan keinginan Bung Karno. Saat rapat, Jenderal Achmad Yani menelepon. ”Pak Frans harus terima. Kita sekarang harus membela Bung Karno terhadap PKI, yaitu dari dalam pemerintahan,” ujar Yani. Akhirnya kami setuju. Partai harus meninggalkan oposisi. Hal itu tidak diumumkan, tetapi hanya bisa diterima berdasarkan program. Esoknya, Frans ke istana. ”Nah, Frans, kamu aku jadikan menteri perkebunan. Sanggup? Ini bukan seperti kebun kalian di Flores, hanya beberapa pohon kelapa. Kau harus urus kopi, teh, karet.” Frans mulai lagi bertemu Bung Karno. ”Saya harus akui, selama itu dia selalu membela saya terhadap PKI. Meski saya menentang politiknya, dia selalu merangkul. Bung selalu bisa menerima,” ujar Frans. Waktu Bung Karno meninggal pada 21 Juni 1970, Frans Seda berada di Singapura untuk mengurus Batam. Frans Seda meninggal pada 31 Desember 2009. Mereka mungkin bertemu lagi di sana. (Pieter P Gero) Kompas, 6/1/10. -------- Semaian dan tebaran pemikiran yang dilakukannya dengan tekun, gigih dan sepenuh hati.... telah tumbuh subur, berkembang memenuhi hati, jiwa rakyat dan bangsanya bagi proses kemajuan bangsa Indonesia, bahkan terasa hingga ke penjuru dunia. Jasa dan teladannya tak akan usang diterpa zaman, bagaikan permata2 yang indah, terus bercahaya menyertai langkah kehidupan, di setiap generasi bangsanya. Terima kasih para pahlawan bangsa, suri tauladan senantiasa telah engkau tunjukkan. Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat. Best Regards, Retno Kintoko Alarm Gempa [ERDBEBEN Alarm] Sedia Bibit Ikan Patin
SONETA INDONESIA <www.soneta.org> Retno Kintoko Hp. 0818-942644 Aminta Plaza Lt. 10 Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan Ph. 62 21-7511402-3