http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2010011500580344

Jum'at, 15 Januari 2010

OPINI

Membongkar Gurita Kekerasan 
Wahyu Hidayat
Pekerja di Center For Women's Studies UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Praktek kekerasan rupanya semakin memenuhi ruang dan waktu hidup kita. 
Kekerasan sepertinya sudah membudaya di negeri ini. Elizabeth Fuller Collins, 
peneliti Ohio University untuk kajian Asia Tenggara pernah menyebutkan itu. 
Kekerasan yang dahulu banyak dilakukan oknum militer dan aparatur negara, kini 
telah beranak pinak dan banyak dilakukan masyarakat biasa. Kata "kekerasan" 
sering masih dipahami sebagai bentuk kekerasan fisik yang kasar, kejam, dan 
menimbulkan dampak negatif yang menyakitkan. Pandangan ini kemudian menjadikan 
perilaku oprressive (menekan) terhadap orang lain sering tidak digolongkan 
kekerasan.

Kekerasan pada dasarnya meliputi semua bentuk perilaku, baik verbal (kata-kata) 
maupun nonverbal (fisik). Kekerasan biasanya dilakukan oleh seseorang maupun 
kelompok terhadap seseorang atau kelompok lain yang dapat menimbulkan efek 
negatif baik secara psikologis, fisik, maupun sosial-ekonomi. Terkadang 
perilaku kekerasan yang menekan dapat mengakibatkan ketakutan dan rasa 
terkekang sehingga membatasi ruang gerak korban dalam mengaktualisasikan 
potensi yang dimilikinya.

Pada umumnya pihak dari kelompok atau perorangan yang kuat sering melakukan 
tidak kekerasan terhadap pihak yang lemah. Salah satu temuan menarik yang 
dikemukakan Colombijn dan Lindbald kekerasan dipandang sebagai cara legitimitas 
"hanya jika ditujukan pada orang asing (outsiders)."

Di sini, "orang asing" merupakan hasil konstruksi sosial berdasarkan situasi 
dan konteks tertentu. Mereka bisa merupakan orang-orang di luar kelompok 
(outgroup), tetapi bisa juga anggota di dalam kelompok (ingroup) yang 
dipersepsi sebagai "orang asing". Atau bahkan bisa juga hasil dari konstruksi 
yang sama sekali imajiner, suatu kategori yang dapat dikenakan pada siapa saja, 
seperti "zionis", "kapitalis", "komunis", dan seterusnya yang tidak pernah 
jelas dan berlaku semena-mena.

Kekerasan di Masyarakat

Hal serupa terjadi dalam lingkungan kita, seperti yang diberitakan di Lampung 
Post (4-1) Oktober terdapat 181 kasus anak yang berkonflik dengan hukum dan 172 
kasus anak yang menjadi korban kekerasan pada 2009. Kemudian aksi perampasan 
dan perampokan pada 2009 meningkat (Lampung Post, [3-1] Oktober) yang berakibat 
pada aksi kekerasan. Keadaan ini semakin menambah daftar aksi kekerasan di 
masyarakat.

Kekerasan yang dilakukan terkadang bertumpu pada masalah ekonomi. Sistem 
kapitalis telah mengabaikan kesejahteraan seluruh umat manusia. Sistem ekonomi 
kapitalistik menitikberatkan hanya pertumbuhan dan bukan pemerataan. 
Pembangunan negara yang diongkosi utang luar negeri dan merajalelanya perilaku 
kolusi dan korupsi pada semua lini pemerintahan, telah meremukkan sendi-sendi 
perekonomian bangsa.

Tak kurang 70% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Mereka 
tidak mampu menghidupi diri secara layak karena negara mengabaikan pemenuhan 
kebutuhan pokok mereka. Impitan ekonomi inilah yang menjadi salah satu pemicu 
orang berbuat nekat melakukan kejahatan, termasuk munculnya kekerasan. Banyak 
kasus kekerasan menimpa keluarga miskin, dipicu ketidakpuasan dalam hal ekonomi.

Lebih dari itu, kekerasan sering dipicu dua faktor. Pertama, faktor individu. 
Kurangnya ketakwaan pada individu-individu, lemahnya pemahaman terhadap relasi 
dalam rumah tangga, dan karakteristik individu yang temperamental adalah pemicu 
bagi seseorang untuk melanggar hukum, termasuk melakukan tindakan kekerasan.

Kedua, faktor sistemik. Kekerasan yang terjadi saat ini sudah menggejala 
menjadi penyakit sosial di masyarakat, baik di lingkungan domestik maupun 
publik. Kekerasan yang terjadi bersifat struktural yang disebabkan oleh 
berlakunya sistem yang tidak menjamin kesejahteraan masyarakat, mengabaikan 
nilai-nilai ruhiyah dan menafikkan perlindungan atas eksistensi manusia.

Struktur sosial di masyarakat telah memaksa untuk melakukan tindakan di luar 
batas kewajaran, dampak arus globalisasi telah berdampak pada pola hidup yang 
konsumtif dan hedonis. Kondisi ini diperparah dengan kebijakan pemerintah yang 
kurang memedulikan nasib rakyatnya. Sehingga kekerasan dalam kompetisi 
kehidupan semakin nyata dan dianggap hal yang "lumrah".

Penegak hukum semestinya mampu membaca situasi ini agar keadaan di masyarakat 
lebih kondusif. Terlebih dengan agenda-agenda yang syarat kepentingan publik 
yang sudah bias dengan kepentingan pribadi. Sehingga aktor-aktor intelektual di 
balik kejadian kekerasan ini bisa dilakukan tindakan yang lebih represif karena 
akan berdampak sistemik terhadap kehidupan masa depan.

Persoalan kekerasan merupakan fenomena gunung es yang terlihat puncaknya 
sedikit tetapi sebetulnya tidak menunjukkan fakta yang valid. Masalah kekerasan 
banyak terjadi di lingkungan keluarga, tapi pada umumnya korban tidak mempunyai 
ruang atau informasi yang jelas apakah persoalan mereka layak atau tidak jika 
masuk dalam pengadilan. Sebab, selama ini masyarakat mengganggap permasalah 
keluarga itu hanya konsumtif pribadi dan hal yang tabu untuk diungkap.

Memang, sudah semestinya kita bisa memahami kehidupan yang lebih humanis dan 
demokratis. Kita bisa melihat kondisi masyarakat sekarang. Kekerasan yang lebih 
dominan terhadap struktur kultur di masyarakat yang lemah, yaitu perempuan dan 
anak-anak. Konstruksi sosial-budaya patriarki lebih banyak menguntungkan pihak 
laki-laki sehingga memberikan peluang terjadinya aneka kesewenangan terhadap 
perempuan yang direstui oleh tradisi.

Dengan pandangan hidup yang lebih arif dan bijak, ke depan kekerasan yang 
terjadi baik dalam keluarga dan masyarakat dapat diminimalisasi. Komunikasi 
aktif masyarakat dan pemerintah yang sinergi mampu menciptakan kerukunan dan 
perdamaian yang dapat mengangkat martabat bangsa di mata dunia. Mengedepankan 
kepentingan bersama dengan masyarakat sebagai pemeran utama merupakan 
upaya-upaya untuk mencegah dari tindak kekerasan. Semoga hidup kita menjadi 
lebih baik. Tabik

Reply via email to