============ ========= ========= ========= ========= = 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pluralisme Indonesia."  
============ ========= ========= ========= ========= = 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pluralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut TAHUN BARU 2010 dengan semangat baru untuk produktifitas energi 
lestari. 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
Ekologidamai – Energi alternatif..
Jumat, 15 Januari 2010 | 02:57 WIB
Oleh : BS Mardiatmadja 
Perang Dunia III tak jadi pecah. Konfrontasi blok Timur dan Barat batal. Namun, 
Afganistan tidak kunjung damai. Di Iran dan Irak, kekerasan berkecamuk. 
Deutsche Welle mengutip ucapan: ”Kalau ada neraka di dunia ini, tentulah di 
tengah Afrika: di sana pembantaian terjadi di mana-mana oleh siapa pun.”
Film Avatar mungkin sarat dengan fiksi, tetapi nada dasarnya seperti 
menggemakan film The Mission dan perjuangan sekelompok orang di sejumlah bagian 
Papua sejak beberapa puluh tahun terakhir: konflik bersenjata yang dijiwai oleh 
kekerasan ideologis. (Sekelompok) orang dengan ideologi tertentu menggagahi 
orang (-orang) yang memiliki keyakinan lain. Tindak menggagahi itu kerap 
dikemas dengan kosmetik modern, seperti demokrasi, kebebasan berpendapat, dan 
persaingan sah. Terjadilah apa yang dulu sering disebut ”perang yang dapat 
dipertanggungjawabkan”. Terlalu cepat untuk mengatakan ada ”damai di atas 
bumi”. Di balik itu tersembunyi nafsu penghancuran semesta.
Maka, Paus Benediktus XVI mengubah slogan lama tentang damai dengan yang baru. 
Dulu orang bilang ”si vis pacem, para bellum” (bila mau damai, siap-siaplah 
perang). Benediktus XVI menawarkan ungkapan baru ”si vis pacem, protege 
creaturam" (bila mau damai, lindungilah ciptaan). Dengan ungkapan itu, seruan 
damai tradisional Paus di tanggal 1 Januari menangkap gerak dunia akhir-akhir 
ini: pelestarian ciptaan bukanlah sekadar alternatif; mencintai dan 
melestarikan ciptaan adalah suatu keharusan kalau kita mau damai.
Nyatanya, sejak akhir abad ke-20 banyak pertempuran mengambil berbagai dalih 
yang bunyinya saja demokratis, tetapi pada intinya dasar perang akhir-akhir ini 
adalah perebutan sumber alam untuk memeras habis madu alam: pemiskinan ciptaan. 
Ekologi mutlak agar dunia jadi oikos kita bersama, rumah kita bersama: damai di 
Bumi.
Teringat kita bahwa Yohannes Paulus II sudah 20 tahun yang lalu mengingatkan 
dunia akan gawatnya masalah lingkungan. Bahkan, sesungguhnya Paulus VI pada 
tahun 1971 mengajak orang yang mau maju untuk mencintai alam semesta. 
Benediktus XVI, yang dahulu bernama Joseph Ratzinger, mempunyai pendahulu yang 
memandang ciptaan dan alam semesta dalam kaitan erat dengan hidup manusia; 
bahkan dengan panggilan rohani manusia. Teolog Jerman itu bernapas serupa 
dengan seorang Perancis, Pierre Teilhard de Chardin.
Kekudusan alam ciptaan
Pemikir yang lama menjadi peneliti di Tiongkok itu meninggal tahun 1966: 
seorang paleontologis, filsuf, teolog: menangkap gerak-gerak ilahi dalam 
seluruh pertumbuhan ciptaan. Kuburannya di Hyde Park menjadi tempat ziarah bagi 
banyak pencinta ekologi. Pada tahun 1981, pada ulang tahunnya yang ke-100, 
pendapat Teilhard diakui sebagai tepat, yakni bahwa: “ciptaan adalah hal kudus 
yang akan berkembang terus dan harus dilindungi.” Teilhard menguraikan 
kekudusan alam ciptaan itu tidak dengan kutipan panjang dari Alkitab, melainkan 
dengan rentetan analisis ilmiah modern: lengkap dengan kupasan paleontologis, 
kimia, dan seterusnya.
Kudusnya alam ciptaan tampak dalam pandangan banyak bangsa di mana pun. Tentu 
saja film Avatar menghidangkannya dengan kecanggihan elektronik dan koreografi 
baru serta nada-nada New Age. Namun, paparan Avatar sudah lama dapat kita 
temukan dalam Kisah Penciptaan; ketika kepada manusia diserahkan tidak hanya 
alam semesta untuk dipergunakan, tetapi juga untuk dipelihara.
Dari pikiran Teilhard de Chardin terdapat sekurang-kurangnya sepuluh butir yang 
dapat dikembangkan dalam pelestarian lingkungan: bahwa ekologi mengupayakan 
alam sebagai arena demi kesejahteraan bersama; bahwa melindungi hutan adalah 
mutlak demi kesejahteraan seluruh dunia; bahwa menjaga keanekaragaman hayati 
merupakan prasyarat untuk kelestarian manusia; bahwa menjaga hidup binatang 
langka merupakan latihan rohani untuk pelestarian lingkungan; bahwa 
penghormatan suku terasing menjadi bentuk antropologi yang ekologis; bahwa 
keadilan ekonomis hanya dapat berjalan dengan keadilan ekologis; bahwa 
komunitas manusiawi terbentuk hanya dalam lingkungan alami yang sehat; bahwa 
tanggung jawab sosial dan ekologis adalah prasyarat industri lestari; bahwa 
manusia hanya akan terus hidup kalau menjaga energi dan mencari cara baru 
membangun energi; bahwa masyarakat hanya berkembang kalau diciptakan rekreasi 
dan transportasi yang ekologis; bahwa ekologi hanya dapat
 berkembang kalau manusia menghormati budaya asli dan kesatuan manusia dengan 
alam. Hanya dalam semua itu damai dapat diusahakan.
”The Mission”
Pada abad ke-17-18 orang Iguarani di Paraguay disodori dua macam perkembangan: 
yang satu adalah pembangunan yang mulai dengan pendidikan menyeluruh, seperti 
yang dilakukan Gabriel dan komunitasnya. Mereka mengajari orang Indian itu 
bercocok tanam dan memiliki pertanian serta perkebunan sendiri; bahkan mereka 
mendidik anak-anak sehingga menjadi cerdas dan memiliki selera seni yang 
semakin indah.
Model pembangunan masyarakat lainnya menjadikan orang Guarani sebagai alat 
untuk mencari keuntungan bagi orang Eropa. Mereka adalah tenaga murah yang 
dapat menolong mengambil hasil bumi sebanyak mungkin demi kepentingan 
pendatang. Perbedaan cara pembangunan itu menyeret juga perselisihan antara 
para pemuka agama dan politisi di Eropa. Tidak perlu menunggu lama: terjadilah 
perang. Itulah yang ditayangkan oleh film The Mission, yang mendapat banyak 
penghargaan di beberapa pusat seni dan menjadi pangkal studi banyak seminar.
Rebutan sumber daya alam seperti itu bukan hanya tidak berhenti pada abad 
ke-18, tetapi bahkan semakin meluas dan semakin brutal pada abad ke-19 dan 
ke-20; abad ke-21 belum terbebaskan dari pertikaian ekonomi dan politis dengan 
pangkal rebutan sumber daya alam dan dengan akibat perusakan alam yang semakin 
lama semakin parah.
Kata Iguarani dapat diganti dengan pelbagai nama suku di banyak tempat di 
seluruh dunia. Paraguay dapat saja pindah ke sembarang tempat di pulau subur di 
setiap benua, termasuk Indonesia. Banyak suku bangsa memandang alam sebagai 
ibu, seperti kita dulu sering menyebutnya Ibu Pertiwi. Tidak sedikit yang 
memandang pelindung kesuburan tanah, seperti Dewi Sri, pantas dihormati sebagai 
sebuah sikap batin untuk menghormati alam.
Hal serupa berlaku di Jawa, Amungme, Na’vi, dan seterusnya. Semua merujuk pada 
sikap sama: menghormati alam semesta. Orang yang mencintai kemajuan bangsa 
manusia secara menyeluruh, dengan segala analisis ekologisnya, memiliki sikap 
hormat pada alam secara sama: amat berbeda dengan mereka yang melihat bumi 
sebagai tempat yang harus diisap habis madunya demi keuntungan finansial jangka 
pendek. Rebutan sumber daya alam itu sejak beberapa abad dan semakin lama 
semakin ganas menyebabkan terjadinya konflik tersembunyi atau terbuka di PBB 
dan seluruh dunia.
”Si vis pacem, protege creaturam”, ”bila mau damai, lindungilah ciptaan” adalah 
seruan yang pantas mendapat perhatian kita, yang mencintai Pertiwi, menyayangi 
perdamaian, dan menghendaki kemajuan yang lestari. Itulah juga harapan yang 
layak dikemukakan pada awal tahun 2010. 
BS Mardiatmadja, SJ Rohaniwan [Kompas.15/1/1]
---------- 
 
Energi alternatif
Walaupun kondisi geografis Indonesia terlahir dari sononya rawan gempa, 
sehingga harus bisa hidup berdamai dengan gempa. Namun di sisi lain kita 
melihat kondisi geografis Indonesia terdiri dari ribuan kepulauan, dan 
dikelilingi oleh jalur-jalur pantai yang indah, maka banyak berlimpah sumber 
alam lestari yang belum digali dan dimanfaatkan sebagai sumber tenaga listrik 
misalnya. Contoh energi tenaga angin di sepanjang pantai dapat sebagai sumber 
tenaga penggerak turbin – baling-baling – kincir angin, sehingga bisa menjadi 
energi andalan pengganti batubara, gas alam dan air – (yang sumbernya terbatas 
dan perlu semakin dihemat) - sebagai penggerak pembangkit tenaga listrik yang 
lestari dan berkelanjutan. 
Lebih-lebih bila energi sinar matahari pun kemudian banyak diakomodir menjadi 
energi tenaga listrik alternatif – tepat guna. Dari sumber tersebut tentu PLN 
bisa menjadi motor dalam usaha ini – sehingga supply and demand selalu terjaga. 
Maka dari kedua sumber tenaga alam yang sangat berlimpah ini, bisa diharapkan 
menjadi energi alternatif andalan yang menjanjikan, terbarukan, ramah 
lingkungan, alam lestari untuk saat ini dan bagi generasi masa depan.
 
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat. 
Best Regards, 
Retno Kintoko 
  
Alarm Gempa [ERDBEBEN Alarm] 
Sedia Bibit Ikan Patin 




 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke