Jawa Pos
 Sabtu, 16 Januari 2010 ] 

Babeh, sang Pedofil Sadis 
Oleh: Widodo Judarwanto


Berita menghebohkan kembali terjadi. Baequni alis Babeh, 48, membunuh tujuh 
anak jalanan -lima orang dimutilasi. Sebelumnya, ketujuh anak tersebut menjadi 
korban pedofilia. Itu adalah pengulangan kasus serupa, yaitu kekejaman Robot 
Gedeg yang terjadi sebelumnya.

Tujuh pembunuhan yang dilakukan Babeh itu berpola. Babeh selalu memilih calon 
korban yang berada di luar anak-anak yang dia pelihara. Dia senang dengan 
anak-anak yang dia pelihara, kecuali kepada Ardi (korban terakhir). Anak-anak 
yang dipelihara Babeh tidak pernah disentuh, meskipun Psikolog UI Sarlito 
Wirawan mengatakan bahwa Babeh termasuk pedofilia atau menyukai anak-anak. 

Berdasar hasil pemeriksaan psikologi, Babeh mengidap pedofilia atau tertarik 
berhubungan seksual dengan anak kecil dan homo seksual. Selain itu, Babeh 
mengidap nekrofil atau senang berhubungan seksual dengan mayat. 

Pedofilia 

Pedofilia terdiri atas dua suku kata; pedo (anak) dan filia (cinta). Pedofilia 
adalah kelainan seksual berupa hasrat ataupun fantasi impuls seksual yang 
melibatkan anak di bawah umur. Orang dengan pedofilia umumnya berusia di atas 
16 tahun, baik pria maupun wanita. Sedangkan, anak-anak yang menjadi korban 
berumur 13 tahun atau lebih muda (anak pre-pubertas). 

Dikatakan pedofilia jika seseorang memiliki kecenderungan impuls seks terhadap 
anak dan fantasi maupun kelainan seks tersebut mengganggu si anak. Sedangkan 
pedofilis adalah pelakunya.

Secara sekilas, praktik pedofilia di Indonesia dianggap sebagai bentuk perilaku 
sodomi. Tetapi, kalau dilihat lebih jauh, sangatlah berbeda. Sebab, terkadang 
penderita pedofilia bukan hanya kaum lelaki, melainkan juga kaum perempuan. 
Mereka tidak hanya tertarik kepada lawan jenis. Korbannya pun bisa jadi anak 
laki-laki maupun perempuan. 

Penyebab dari pedofilia belum diketahui secara pasti. Namun, pedofilia sering 
menandakan ketidakmampuan berhubungan dengan sesama dewasa atau ketakutan 
menjalin hubungan dengan sesama dewasa. Jadi, bisa dikatakan sebagai suatu 
kompensasi dari penyaluran nafsu seksual yang tidak dapat disalurkan kepada 
orang dewasa.

Aktivitas seks yang dilakukan penderita pedofilia sangat bervariasi. Aktivitas 
tersebut meliputi tindakan menelanjangi anak, memamerkan tubuh kepada anak, 
melakukan masturbasi dengan anak, dan bersenggama dengan anak. 

Pengaruh pada Anak 

Anak sebagai korban dalam kasus pedofilia secara jangka pendek dan jangka 
panjang dapat mengalami gangguan fisik dan mental. Gangguan fisik yang terjadi 
adalah risiko gangguan kesehatan. Saat berhubungan kelamin pun sering masih 
belum bersifat sempurna karena organ vital dan perkembangan hormonal pada anak 
belum sesempurna orang dewasa. 

Bila dipaksakan berhubungan suami-istri akan merupakan siksaan yang luar biasa, 
apalagi sering di bawah paksaan dan ancaman. Belum lagi bahaya penularan 
penyakit kelamin maupun HIV dan AIDS. Sebab, penderita peĀ­ofilia kerap disertai 
ganti-ganti pasangan atau korban. 

Perkembangan moral, jiwa, dan mental pada anak korban pedofila terganggu sangat 
bervariasi. Bergantung pada lama dan berat ringan trauma itu terjadi. Bila 
kejadian tersebut disertai paksaan dan kekerasan, tingkat trauma yang 
ditimbulkan lebih berat. 

Trauma psikis tersebut hingga usia dewasa akan sulit dihilangkan. Dalam keadaan 
tertentu yang cukup berat bahkan dapat menimbulkan gangguan kejiwaan dan 
berbagai kelainan patologis lainnya yang tidak ringan. Seorang korban pedofilia 
karena trauma psikologis yang sangat berat dapat berpotensi menciptakan seorang 
pedofilis di kemudian hari. Hal itu terjadi pada kasus Babeh. Ternyata gangguan 
pedofilia pada dia juga diawali kejadian dirinya menjadi korban pedofilia pada 
usia remaja. 

Dalam keadaan itu, pendekatan terapi sejak dini mungkin harus segera dilakukan. 
Secara sosial, baik lingkungan keluarga atau lingkungan kehidupan, anak kadang 
merasa diasingkan dengan anak sebaya dan sepermainan. Beban itu dapat memberat 
trauma yang sudah ada sebelumnya.

Srigala Berbulu Domba 

Biasanya seorang pedofilia adalah seorang singa berbulu domba. Mereka selalu 
mengelabuhi anak-anak dengan memberikan iming-iming uang, pakaian, makanan, 
atau mainan secara berlebihan. 

Demikian juga, Babeh. Mungkin karena tidak punya anak, dia merawat anak-anak 
jalanan dengan penuh perhatian. Kebaikan Babeh diketahui warga karena lelaki 
itu jarang membeli makan jadi. Dia selalu memasak sendiri makanan untuk anak 
jalanan yang ditampungnya.

Dilihat dari berbagai bentuk karakteristik perbuatan kaum pedofilia, bisa 
dikatakan bahwa anak-anak dieksploitasi sebagai korban. Apalagi, sebagian 
pedofilis akan membunuh korban bila merasa rahasianya terancam. Anak-anak 
sebagai korban mestinya mendapatkan perlindungan dan memperoleh pelayanan 
khusus, terutama di bidang hukum. Secara juridis, pihak yang dituntut 
bertanggung jawab adalah eksploitator atau pelaku. 

Selama ini undang-undang yang sering digunakan untuk mengadili penjahat itu 
adalah pasal 292 juncto pasal 64 KUHP tentang pencabulan dengan tuntutan 
maksimal 5 tahun. Oleh banyak aktivis perlindungan anak, pasal itu sudah tidak 
relevan untuk memberikan efek jera bagi si pelaku.

Kaum pedofilis harus segera sadar, dengan kenistaan yang hanya memburu 
kenikmatan sesaat itu ternyata dapat menghancurkan anak seumur hidupnya. Semua 
lapisan masyarakat, institusi swasta, instasi pemerintah, pemerintah, aktivis, 
dan pemerhati anak harus bahu-membahu tiada henti, bekerja sama melawan dan 
melindungi anak Indonesia dari ancaman segala kekerasan, terutama pedofilia. 

Orang tua juga harus selalu waspada dan hati-hati terhadap singa berbulu domba 
seorang pedofilia. Anak jalanan adalah sasaran empuk kaum pedofilia karena 
mereka tidak ada yang melindungi. Semua pihak atau siapa pun masyarakat yang 
peduli dengan pengabaian hak anak tersebut harus cepat melakukan aksi nyata 
melawan pedofilis yang kejam ini. (*)

*). Dr Widodo Judarwanto SpA, dokter di Rumah Sakit Bunda, Jakarta 

Kirim email ke