============ ========= ========= ========= ========= = 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pluralisme Indonesia."  
============ ========= ========= ========= ========= = 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pluralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut TAHUN BARU 2010 dengan semangat efisiensi dan produktifitas. 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
Sri, Kesalahan atau Kejahatan
Rabu, 20 Januari 2010 | 04:26 WIB
Oleh : Rhenald Kasali
Sebagai rakyat biasa, belakangan ini saya sering sakit kepala menyaksikan 
siaran tentang ”pengadilan”. Apalagi ”pengadilan” yang mengusik nurani. 
”Pengadilan” itu mencari ”kesalahan” dan setiap menemukan kesalahan, mereka 
minta dicatat dan ditindaklanjuti. Yang ”bersalah” agar dihukum.
Vonis hukuman pun memiliki beragam motif. Tidak melulu untuk menimbulkan efek 
jera atau memberi rasa keadilan. Ada vonis yang bertujuan sekadar menjalankan 
tugas, menyenangkan atasan, menjalankan aspek-aspek legalistik-formal, balas 
dendam, dan mempermalukan orang.
Kalau penjara semakin penuh, dan penjahat negara makin banyak ditangkap dan tak 
pernah berhenti, jangan-jangan kita telah lebih banyak menangkap orang yang 
”bersalah” ketimbang yang jahat. Kita semua tentu menginginkan, dengan 
demokrasi, Indonesia bisa berubah menjadi bangsa yang besar. Namun, untuk 
menjadi bangsa yang besar, para elite dan pemimpinnya harus bisa membedakan 
antara kesalahan dan kejahatan.
Perubahan dan kesalahan
Setiap kali menghadapi perubahan, seorang pemimpin selalu menghadapi suasana 
yang dilematis. Mengambil langkah A dan B, menolong atau membiarkan mati, 
mengambil langkah berani yang berisiko atau mendiamkan saja.
Lord Erlington mengatakan, pemimpin yang tak melakukan kesalahan adalah 
pemimpin yang tak melakukan apa-apa. Karena itu, di era perubahan ini banyak 
ditemui pemimpin dan birokrat yang tak melakukan apa-apa. Serapan dana APBN 
rendah, proyek yang dikerjakan yang gampang-gampang saja dan rutin. Tak ada 
yang baru, apalagi terobosan (breakthrough). Hasilnya menjadi bagus: posisi 
aman, jabatan terus diperpanjang atasan.
Sebaliknya, mereka yang melakukan breakthrough menghadapi risiko tinggi sebab 
perubahan sering kali harus dimulai dengan penghancuran belenggu-belenggu dan 
kekuasaan-kekuasaan lama. Risiko mengalami benturan, perlawanan dan kemungkinan 
”salah” atau dipersalahkan sangat besar.
Mereka justru dipecat, diganti, atau diadili. Menghadapi krisis atau perubahan 
kalau tidak direspons bisa mati, tetapi kalau dihadapi dan keputusan yang 
diambil salah, mati juga. Karena itu, pemimpin yang menghadapi perubahan dan 
mau mengatasinya berpotensi melakukan kesalahan. Namun, apakah kesalahan 
otomatis sebuah kejahatan?
Herbert Simon, ahli ekonomi-politik, penerima hadiah Nobel Ekonomi 1978, 
menandaskan, ”Percuma ’mengadili’ keputusan yang sudah diambil. Apalagi bila 
digunakan ’rasionalitas’, karena dalam setiap pengadilan keputusan strategis 
setiap pemimpin selalu ditengarai oleh suasana keterbatasan.”
Keterbatasan itulah yang mungkin dihadapi oleh mantan Wakil Presiden M Jusuf 
Kalla, mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono, atau Menkeu Sri Mulyani 
Indrawati. Keterbatasan atau ketidaklengkapan informasi, terbatasnya waktu, 
banyak celah hukum, kecerdikan penjahat yang memanfaatkan situasi, lemahnya 
sistem komunikasi, kesibukan para atasan, dan tentu saja keterbatasan otak 
manusia.
Dengan demikian, percuma mencari-cari kesalahan pengambilan keputusan yang 
diambil Sri Mulyani. Percuma mempersoalkan efek sistemik atau tidak, atau 
kebijakan-kebijakan yang diambil, sementara penjahat yang melakukan kejahatan 
dibiarkan menari-nari dan menikmati keuntungan. Dalam teori 
bounded-rationality, Herbert Simon menegaskan, secara psikologi, manusia 
pengambil keputusan hanyalah partly rational.
Bersyukurlah
Selain harus mampu membedakan antara kesalahan dengan kejahatan, bangsa 
Indonesia juga harus belajar melihat jauh ke depan. Seligman, Bapak Psikologi 
Positif, mengatakan, ”Sumber kebahagiaan suatu bangsa sangat erat hubungannya 
dengan rasa syukur dan motivasi membalas.”
Kita patut bersyukur kesalahan yang diambil Sri tidak merembet ke mana-mana. 
Ini dapat berarti dari 100 keputusan yang diambilnya, 99 persen di antaranya 
berujung pada hasil yang baik. Rasa syukur ini bukanlah sebuah pembenaran 
terhadap sebuah kesalahan, tetapi merupakan alat untuk bertindak dan berani 
menghadapi perubahan.
Rasa syukur adalah modal penting untuk mendorong optimisme. Seperti kata 
Seligman, ”Manusia selalu memiliki dua jenis harapan, yaitu harapan bagus dan 
harapan buruk.” Saya khawatir kalau para elite terus memperbesar 
”harapan-harapan buruk”, segala optimisme yang melahirkan ”harapan-harapan 
bagus” habis ditelan ”harapan-harapan buruk”.
Sebagai bangsa yang belum benar-benar kaya, kita hendaklah jangan gegabah 
membuang baju hanya gara-gara sehelai benangnya lepas sehingga seakan-akan 
seluruh jalinannya terburai.
Kita juga harus mulai menghentikan efek dendam keris Empu Gandring dan bukan 
memelihara dendam. Kalau semua pemimpin yang salah mengambil keputusan 
diidentikkan dengan penjahat, maka tersenyumlah semua penjahat. Rhenald Kasali 
Guru Besar Manajemen Universitas Indonesia,  [Kompas, 20/1/10].
---------- 
Melakukan hal yang salah bukan berarti jahat, karena manusia selalu memiliki 
sifat lemah dan terbatas, apalagi sebagai pejabat publik – tempatnya banyak hal 
bisa salah dan  terbatas. Namun yang jahat hendaklah dihukum setimpal, apalagi 
perampok.
Kemudian pelajaran penting pun diperoleh, etika didapat, moral dijunjung, hukum 
ditegakkan, ekonomi dilancarkan, kesabaran dan kegigihan pun terus diuji. 
Inilah bagian penggodokan nilai-nilai kebangsaan para pejabat publik – bersama 
masyarakatnya – agar  menjadi lebih mampu lagi menghadapai tantangan, hambatan 
sekaligus dapat mewujudkan harapan dan cita-cita bangsa Indonesia saat ini dan 
ke depan.
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat. 
Best Regards, 
Retno Kintoko 
  
Alarm Gempa [ERDBEBEN Alarm] 
Sedia Bibit Ikan Patin 
 



 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke