============ ========= ========= ========= ========= = THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pluralisme Indonesia." ============ ========= ========= ========= ========= = [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pluralism Indonesia Quotient] Menyambut TAHUN BARU 2010 dengan semangat produktif dan efisien. "Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." ANALISIS POLITIK SBY Versus SBY Selasa, 26 Januari 2010 | 03:40 WIB Oleh J. KRISTIADI Setelah melalui kesimpangsiuran informasi, akhirnya rakyat mengetahui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima laporan proses bail out bank yang sejak berdirinya telah bermasalah. Fakta ini yang mendorong beberapa anggota Pansus Bank Century mengusulkan agar Presiden dipanggil sebagai saksi. Meski pemanggilan itu hampir mustahil, tak urung wacana pemakzulan berkembang. Bahkan, Mahkamah Konstitusi konon menyiapkan semacam hukum acara pemakzulan. Sebab itu, pertemuan Bogor, 21 Januari 2010, meskipun dikatakan sebagai forum komunikasi politik, diselipkan pesan sistem presidensial tak mengenal mosi tidak percaya yang dapat memakzulkan presiden atau wakil presiden. Bola liar kasus Bank Century seharusnya tak perlu berkembang mengancam instabilitas politik sekiranya sejak awal Presiden menyatakan bertanggung jawab atas kebijakan itu. Apalagi disertai penegasan mendukung sepenuhnya penyelidikan penyalahgunaan dana bail out serta mendorong pengusutan merger Bank Century yang ditandai dengan lemahnya pengawasan Bank Indonesia. Pernyataan juga menjadi penting mengingat hasil kebijakan bail out membuahkan kestabilan ekonomi, memelihara kepercayaan investor serta tingkat pertumbuhan ekonomi masih dianggap wajar. Namun, karena sikap Presiden yang tidak terlalu eksplisit, isu politik menjadi tak terkendali. Tiga bulan pertama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersedot energinya dalam pusaran medan pertarungan politik yang sarat dengan kepentingan kekuasaan. Sangat disayangkan, mengingat sejak Republik Indonesia berdiri, belum pernah bangsa ini memiliki kepala pemerintahan (negara) yang mempunyai legitimasi yang sangat kokoh seperti pemerintahan SBY-Boediono. Suatu rezim pemerintahan demokratis yang memperoleh dukungan rakyat serta mampu menjamin dukungan politik di parlemen sekiranya kebijakan pemerintah memerlukan persetujuan DPR. Namun, harapan masyarakat kandas karena peluang emas lenyap diterjang angin puyuh Pansus Bank Century. Program 100 hari sebagai awal upaya pemerintah mewujudkan program lima tahun ke depan dan membangun kepercayaan publik terlewatkan tanpa makna. Bahkan, berbagai jajak pendapat menunjukkan popularitas SBY menurun. Demikian pula tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintah. Bukan itu saja, kekaburan sikap Presiden pun menimbulkan kesan ia membiarkan pembantunya bertempur sendiri menghadapi ”kriminalisasi” kebijakan di Pansus. Hal itu, antara lain, bisa disimak dari perilaku parpol mitra koalisi pemerintah pun dalam memeriksa pejabat pemerintah, bahkan Wapres diangggap melewati batas kepatutan serta mengindikasikan mereka mempunyai target politik tertentu. Hal ini juga terkait dengan urusan lapor-melapor. Sejak awal, Presiden memberikan kesan bahwa ia tidak tahu-menahu mengenai kebijakan dana talangan. Sekiranya pembantu Presiden tidak melaporkan, seharusnya mereka diambil tindakan, bahkan pantas dipecat. Kebijakan yang diambil adalah keputusan politik yang penting. Sebaliknya, kalau kebijakan itu atas perintah atau sepengetahuan Presiden, ia tak selayaknya bersikap seolah melepaskan tanggung jawab. Isu itu kian panas karena berkembang rumor pencopotan Sri Mulyani Indrawati yang belakangan dibantah Presiden. Terkait rumor itu, batalnya pelantikan Anggito Abimayu bisa dibaca bukan hanya sebagai keteledoran Menteri Sekretaris Negara, tetapi tak mustahil berkaitan dengan transaksi yang mengakomodasi kepentingan politik tertentu. Oleh karena itu, tidak berlebihan bila dikatakan panggung politik selama tiga bulan terakhir menampilkan drama politik yang absurd, tak masuk akal. Koalisi kekuatan SBY di pemerintahan yang besar harus berlawanan dengan kekuatan dukungan SBY di parlemen yang hampir sama besarnya. Pentas politik melakonkan SBY melawan SBY. Hal itu tidak boleh dibiarkan. Kepemimpinan harus ditegakkan. Lebih-lebih dalam 10 sampai dengan 15 tahun mendatang bangsa Indonesia akan menghadapi ”perang ekonomi” yang semakin dahsyat dengan diberlakukannya perjanjian Asean-China Free Trade Area (ACFTA) sejak 1 Januari 2009. Jangan biarkan isu ACFTA berkembang menjadi seperti Bank Century. Perdagangan bebas adalah kebijakan Pemerintah Indonesia. Seluruh jajaran pemerintah harus bertanggung jawab agar peluang itu bisa menguntungkan rakyat. Kepemimpinan nasional perlu diarahkan agar pemangku kepentingan, pemerintah dan sektor swasta, tak mengulangi keteledorannya dengan mengabaikan ”pekerjaan rumah” sejak Indonesia menyetujui perjanjian dengan China hampir satu dekade yang lalu. Perang ekonomi tak lagi di depan mata, tetapi telah terjadi! Sebab itu, politik kekuasaan harus ditinggalkan agar bangsa ini tidak semakin jauh ketinggalan dengan bangsa lain. SBY diharapkan mengonsolidasikan kepemimpinannya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Hal itu tak harus berarti membangun oligarki politik yang akan meniadakan mekanisme saling kontrol di antara lembaga negara. Selain itu, sudah saatnya pula politik citra ditinggalkan, apalagi politik yang mengesankan adol welas (menjual belas kasihan) pun harus dibuang. Kasus Bank Century telanjur sarat dengan kepentingan kekuasaan. Sebab itu, penyelesaiannya dapat diduga tidak jauh dari upaya saling menguntungkan serta melindungi dan mengamankan kepentingan politik. Komoditas politik empuk yang bisa dijadikan ajang kompromi adalah rumusan kesimpulan sementara yang akan segera disusun. Semoga ini menjadi pelajaran yang berharga. J Kristiadi, Peneliti Senior CSIS [Kompas] ---------- “Secara ekstra-parlementer memang ada usaha berbagai kelompok masyarakat sipil, seperti elemen aktivis mahasiswa, LSM, dan sejumlah tokoh politik untuk menggalang semacam ”koreksi moral” terhadap Presiden. Saat ini, misalnya, beredar pesan pendek, juga melalui situs jejaring sosial Facebook dan jaringan surat elektronik, yang berisi ajakan bergabung dalam demonstrasi damai, 28 Januari mendatang. Namun, mungkin terlampau berlebihan juga jika aktivitas damai dan sukarela masyarakat sipil dicurigai sebagai bagian dari upaya pemakzulan terhadap Presiden. Mungkin saja ada aktivis atau tokoh politik yang mencoba ”mengail di air keruh”, tetapi rasanya tak signifikan jika dianggap sebagai ancaman terhadap kekuasaan Yudhoyono. Persoalannya, selama aktivitas demikian tidak memperoleh dukungan politik dari DPR, hampir tak ada peluang bagi siapa pun untuk melakukan pemakzulan terhadap Presiden. Oleh karena itu, yang ditunggu rakyat kita dari Presiden bukanlah pernyataan dan pidato yang acapkali tidak perlu dan bahkan tidak produktif. Rakyat kita sudah terlalu lelah dengan perdebatan dan polemik para elite politik yang hampir tidak ada habisnya. Yang diperlukan rakyat adalah pemerintah yang mendengarkan suara hati mereka, yakni dengan bekerja, bekerja, dan bekerja.” Syamsuddin Haris Profesor Riset Bidang Politik LIPI [Kompas, 26/1/10] ---------- Jadi kalaupun 'pentas melodrama' pansus century kemudian digelar hampir usai, maka sudah semakin jelas pula endingnya. Bagi pemerintah, sekarang saatnya bekerja keras, bekerja cerdas untuk kepentingan rakyat, mengejar ketinggalan, tunjukkan bahwa Anda memang bekerja untuk kepentingan rakyat Indonesia, kecuali memang hanya ingin membuang-buang waktu, tenaga dan sumber daya negara. Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat. Best Regards, Retno Kintoko Alarm Gempa [ERDBEBEN Alarm] Sedia Bibit Ikan Patin
SONETA INDONESIA <www.soneta.org> Retno Kintoko Hp. 0818-942644 Aminta Plaza Lt. 10 Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan Ph. 62 21-7511402-3