http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=13309

2010-01-26 
Antisipasi Kasad dan Demokrasi



Sabartain Simatupang
Diperkirakan, minggu ini dan berikutnya akan berlangsung demo besar-besaran 
sehubungan dengan seratus hari Pemerintahan SBY-Budiono. Ada kekhawatiran suhu 
politik yang semakin panas ini, memuncak pada aksi kekerasan dalam demo 
tersebut. 

Sebenarnya, hal itu jauh hari sudah diantisipasi oleh Kasad Jenderal TNI George 
Toisuta. Dalam pidatonya pada HUT TNI AD 15 Desember 2009, Kasad melontarkan 
kekhawatiran ini. Yang menarik disampaikan Kasad, "Keberanian menyampaikan 
pendapat dalam alam demokrasi harus tetap dihargai, tetapi diakui hal itu bisa 
menimbulkan banyak perbedaan. Perbedaan yang muncul jangan sampai malah 
dijadikan alasan pembenaran untuk membiarkan terjadinya konflik dan kekerasan" 
(SP 15 Desember 2009). Andi Widjanjanto menanggapi pernyataan ini di sebuah 
koran nasional sebagai awal militer mulai "intervensi ke politik". Tampaknya, 
tanggapan ini masih apriori terhadap niat baik reformasi TNI. 

Prof DrJuwono Sudarsono (Mantan Menhan) dan Letjen TNI Purn Kiki Syahnakri 
(Mantan Wakasad) mengajak untuk memahami pernyataan Kasad tersebut lebih 
obyektif. Keduanya sepakat, hal ini sebagai suatu kecemasan yang juga dirasakan 
publik, sehingga tidak perlu "dipolitisasi". Beberapa hari kemudian, tulisan 
Donny Gahral Adian, "Demokrasi Tanpa Substansi" juga di sebuah media nasional 
melihat kecemasan Kasad mesti dibaca dari kacamata "kesetaraan politik". 
Demokrasi memang memiliki cacat bawaan yang bernama kesetaraan non-politik. 
Perbedaan pun seolah menjadi begitu luas dan tak terbatas.

Pernyataan Kasad ini, menurut penulis seyogianya dilihat secara simpatik 
sebagai kecemasan pemimpin TNI yang menilai sesuatu sudah menyentuh kepentingan 
tugas kenegaraan. Kecemasan ini jelas masih berkaitan dengan tugas pokok TNI 
(termasuk TNI AD) sebagai "penjaga terhadap ancaman yang membahayakan 
keselamatan bangsa" (Sejalan dengan istilah Donny bahwa militer adalah "penjaga 
resmi substansi republik"). Apabila "keselamatan bangsa" terganggu, rakyat 
kecillah yang merasakan "sakit"-nya, dan pihak TNI akhirnya turun tangan 
mengatasi dengan "ongkos yang mahal". Untuk itu, Kasad masih dalam kapasitasnya 
menyampaikan "kecemasan" tersebut sebagai suatu "warning" (peringatan). 


Demokrasi Kebablasan

Hendaknya disadari, situasi politik nasional tahun 2009 telah memberi gambaran 
betapa tujuan berdemokrasi di Indonesia sudah tidak jelas. Padahal, realisasi 
berdemokrasi sudah berjalan satu dekade. Akhirnya, berbagai tokoh masyarakat 
menilai kondisi ini sudah "kebablasan". Perbedaan pendapat yang diharamkan pada 
masa Orde Baru, menjadi ajang "euforia" demokrasi. Sistem politik (sistem 
pemilu dan sistem kepartaian) yang diwujudkan saat ini, sudah tidak menjamin 
proses demokrasi agar "tidak kebablasan". Apalagi budaya politik dan budaya 
hukum yang dipraktekkan para elite pun tampaknya "terperosok" pada kondisi yang 
memprihatinkan. 

Memang diakui, dengan maraknya partai yang muncul di awal reformasi menandai 
mekarnya demokrasi. Seakan-akan para elite politik mulai kembali "belajar 
berdemokrasi", setelah dicekam praktek otoriterisme sebelumnya. Sayangnya, 
keinginan ini tidak diikuti oleh etika dan dasar hukum yang kondusif. 
Akibatnya, muncullah budaya berpolitik yang cenderung spekulatif dengan aneka 
money-politic, sikap ingin selalu menang, manipulasi suara, perilaku massa yang 
beringas dan anarkis, perilaku elite opurtunis dan sebagainya. 

Di samping itu, manajemen partai-partai baru pun tidak lagi berfungsi 
sebenarnya. Di sini partai hanya dijadikan sekadar kendaraan untuk meraih 
kekuasaan. Partai-partai baru didirikan layaknya sebuah perusahaan, yang 
dikelola untuk kepentingan bisnis kekuasaan. Kondisi partai-partai politik 
lama, juga akhirnya terpolarisasi dengan konflik kepentingan antar elite. Massa 
dan kader partai diperlakukan sebagai komoditas politik, yang menjelang dan 
selama berlangsungnya pemilu/pilkada dapat diperjualbelikan. Selesai pemilu dan 
kekuasaan sudah diraih oleh elite partai, janji-janji partai kepada rakyat 
pendukungnya tinggal retorika belaka. 

Kondisi inilah yang secara masif merusak sendi-sendi pembangunan sistem politik 
demokratis di era reformasi. Fenomena perpolitikan Indonesia yang demikian 
merupakan konsekuensi dari pengaruh neo-liberalisme yang cukup jauh merasuk 
budaya para elite partai. Sistem demokrasi yang ingin diwujudkan lalu 
dipersoalkan, apakah sebagai tujuan atau memang hanya sebagai sarana untuk 
mencapai tujuan. Dalam logika berpikir neo-liberalisme, ternyata pilihan 
demokrasi dimaksudkan sebagai sekadar sarana kekuasaan untuk merebut dan 
mengakumulasikan kapital (David Harvey: 2005). 

Dalam kondisi berpikir demikian, yang menjadi tujuan utama pembangunan adalah 
pertumbuhan ekonomi untuk kepentingan kelompok pemodal (kapitalis). 
Demikianlah, substansi hakiki demokrasi tergradasi pada praktek politik 
prosedural lima tahunan. Dukungan rakyat hanya sekadar obyek pembangunan 
ekonomi. Dengan kata lain, wajah politik Indonesia pasca Soeharto hingga kini, 
sesungguhnya diakibatkan oleh jebakan neoliberalisme tersebut. 

Di sinilah akar permasalahan sesungguhnya dari "kecemasan" yang disampaikan 
Kasad tersebut. Prospek politik nasional 2010 ini akhirnya menyisakan 
kekhawatiran akan jebakan tersebut berujung pada sikap kekerasan (anarkisme) 
masyarakat. Untuk tidak terjebak, seyogianya diperlukan perubahan mendasar 
secara yuridis konstitusional terhadap sistem politik yang ingin dibangun di 
negeri ini. Semoga! 

Penulis adalah Mahasiswa Magister Program KSKN UI

Kirim email ke