Jawa Pos
[ Sabtu, 30 Januari 2010 ] 

Interfaith Dialogue Populis 
Oleh: M. Zainuddin *


Paus Benekditus XVI dalam kunjungannya ke Jordania pada Oktober lalu berpesan 
agar pemimpin Kristen, Islam, dan Yahudi memainkan peran lebih banyak untuk 
mencapai perdamaian.

---

Ada pemandangan menarik dalam konteks dialog antaragama (interfaith dialogue) 
yang dilakukan Paus Benekditus XVI di masjid Raja Hussein bin Tala di Jordania 
beberapa bulan lalu, yai­tu Paus masuk masjid tanpa melepaskan sepatunya. 
Menurut Juru Bicara Vatikan Federico Lombardi, sebetulnya Paus hendak 
melepaskan sepatunya, na­mun imam masjid melarangnya karena jalan itu sudah 
disiapkan khusus untuk Paus (Jawa Pos 10/5/2009). Peristiwa tersebut disaksikan 
umat beragama seluruh dunia, dan itu berarti di Timur Tengah telah terjadi 
dialog antaragama yang begitu baik dan terbuka bagi terciptanya kerukunan 
antarumat beragama. Ini merupakan dialogue of life atau dialogue in community 
yang patut diberi apresiasi.

Pada 25-27 Januari 2010 lalu, di Jakarta diselenggarakan Indonesia-US 
Interfaith Dialogue yang membahas agenda kemanusiaan penting, yaitu masalah 
penanggulangan kemiskinan, pendidikan, pelestarian lingkungan, dan tata kelola 
pemerintahan lokal (Jawa Pos, 28/01/2010). Pada akhir kegiatan tersebut juga 
diadakan kunjungan ke Gereja Katedral dan Masjid Istiqlal. Para elite agama 
lain pun masuk masjid tanpa ada rasa kikuk. Forum tersebut merupakan forum 
prestisius yang digelar pertama di dunia. Penggagasnya juga orang nomor satu di 
masing-masing negaranya, Barack H. Obama dan Susilo B. Yudhoyono. 

Sejumlah pemikir agama-agama yang membahas relasi antaragama di Brimingham pada 
April 1970 berkesimpulan, dialog antaragama merupakan sesuatu yang urgen yang 
berada dalam kerangka relasi dan pencarian makna kebenaran yang hendak dicapai. 
Dialog harus mengarah kepada kebenaran yang mengantarkan kepada situasi di mana 
isi dan ajaran yang dipertentangkan satu sama lain dapat terlampaui. Tujuan 
dialog menurut mereka adalah memecahkan permasalahan konkret yang terjadi dalam 
kehidupan keagamaan dan hidup sehari-hari dalam masyarakat.

Pada 1964, Vatikan telah mendirikan sekretariat bagi agama non-Kristen (Pasific 
Council for Interreligious Dialogue-PCID) yang mempunyai misi mempromosikan 
kajian tradisi-tradisi agama lain dan mensponsori dialog antariman (interfaith 
dialogue). Vatikan II juga telah mengeluarkan dokumen yang berisi penghormatan 
terhadap orang-orang muslim karena, menurut konsili Vatikan II, orang-orang 
Islam juga menyembah Satu Tuhan Yang Maha Hidup, Abadi, Pengasih, dan Perkasa. 

Mereka juga tunduk sepenuh hatinya kepada takdir Tuhan, sebagaimana yang 
dilakukan Ibrahim yang merupakan sandaran keimanan Islam. Walaupun mereka tidak 
mengakui Yesus sebagai Tuhan, mereka mengakuinya sebagai nabi. Mereka juga 
menghormati Maryam, Ibu Yesus yang suci, menantikan Hari Perhitungan. Inilah 
awal inklusivisme Kristen, yang meninggalkan semboyan lamanya: Extra Ecclesiam 
Nulla Salus (Tidak ada keselamatan di luar gereja atau di luar agamanya) menuju 
pengakuan keberadaan agama lain.

Kendala Dialog Antaragama 

Memang pada sementara orang-orang Islam masih ada keraguan menanggapi dialog 
agama itu. Gerakan dialog tersebut dianggap sebagai murni inisiatif Kristen 
Barat dan orang-orang Islam merasa diri mereka sebagai tamu yang diundang. 
Keyakinan mereka bahwa misi Kristen merupakan agenda tersembunyi (hidden 
agenda) dari Evangelism membuat mereka semakin tidak percaya terhadap dialog 
antaragama. Ketidakpercayaan itu ditambah dengan ketidakadilan global Barat, 
khususnya dalam konflik Israel-Palestina dan beberapa kasus hegemoni Barat 
terhadap dunia Islam.

Berbagai dialog dan upaya merukunkan antarumat beragama telah dibangun para 
elite agama di dunia, namun konflik antarumat beragama masih terus berlangsung. 
Apa penyebabnya? Tidak tertutup kemungkinan karena pendekatan yang dilakukan 
masih bersifat top down, belum menggunakan model dialog yang bersifat buttom 
up. 

Dialog agama yang ada selama ini masih bersifat elitis serta belum menyentuh 
wilayah praksis dan populis seperti perlunya mendialogkan isu-isu kemanusiaan 
universal: kemiskinan, pengangguran, ketimpangan sosial, HAM, demokratisasi, 
keadilan, etika kehidupan berbangsa dan bernegara, dan seterusnya. 

Dialog seperti itu bisa dilakukan karena setiap agama memiliki doktrin etika 
universal, misalnya, doktrin lima prinsip (pancasila) oleh agama Hindu: tidak 
boleh berbohong, tidak boleh berzina, tidak boleh mencuri, tidak boleh 
bermabuk-mabukan, dan tidak boleh membunuh. Doktrin ini sepadan dengan doktrin 
larangan ma lima agama Jawa: main, minum, madat, madon, dan maling. Demikian 
juga agama Islam dan agama semitik lain memiliki sepuluh doktrin fundamental 
(The Ten Commandments) yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan 
universal. 

Dalam menjalin hubungan yang harmonis antarumat beragama perlu media atau ruang 
budaya (cultural-space), misalnya perlunya live in di komunitas berbeda agama 
(Pesantren-Islam, Gereja-Kristen, Pure-Hindu, Vihara-Buddha, Biara-Katolik, 
Klenteng-Kong Hu Cu, dan seterusnya). Tempat-tempat di atas merupakan ruang 
budaya yang dapat mempertemukan antara para pemeluk agama yang berbeda dan 
dapat menimbulkan perasaan empati di antara mereka. 

Di sini para elite agama juga dapat berkumpul dan duduk bersama untuk 
memecahkan problem-problem kemanusiaan universal. Dialog agama bukan 
mendialogkan perbedaan-perbedaan doktrin yang ada di setiap agama, namun dialog 
agama adalah dialog tentang problem kemiskinan, ketimpangan sosial, 
pengangguran, dan sebagainya. 

Oleh karena itu, untuk mewujudkan dialog agama di masa depan, perlu menjadikan 
agama sebagai media pemersatu umat. Melalui elite agama dan dialog antarumat 
beragama diharapkan muncul kesadaran bersama untuk menciptakan persaudaraan 
sejati berdasarkan spirit kebenaran universal agama. Banyak celah untuk 
menjalin kerja sama yang baik anatarumat beragama karena ada ajaran bersifat 
universal yang bisa diimplementasikan dalam kehidupan bersama, yaitu bahwa 
''berbuat kebajikan di muka bumi adalah hal yang imperatif dan terpuji". (*)

*) Dr H M. Zainuddin MA, dosen UIN Maliki Malang, pengamat hubu­ngan antaragama 

Kirim email ke