Refleksi: Siapa yang merawat siapa? Dr Sibuya merawat? Pasien tak bakal sembuh, 
bila dirawat oleh dr Sibuya Dracula?

http://www.gatra.com/artikel.php?id=134729


Merawat Republik = Merawat Publik

Sebuah pertanyaan diajukan: adakah sosok "publik" itu hadir di tengah-tengah 
republik yang bernama Indonesia ini? Seorang kawan menjawabnya dengan 
optimistis, "Ada. Sangat nyata," dengan merujuk pada keberhasilan masyarakat 
"membebaskan" Prita Mulyasari dari kesewenang-wenangan peradilan lewat Gerakan 
Sejuta Koin Prita. Seorang kawan lain menjawab dengan pesimistis, "Mati suri," 
dengan merujuk pada tidak kunjung membaiknya nasib masyarakat luas dan buruknya 
kelakuan rata-rata kita dalam ruang publik.

Barangkali harus kita perjelas dulu apa sebenarnya hakikat "publik" itu. Akar 
pengertian "publik" pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari pengertian 
"republik" itu sendiri, yang terbentuk dari dua kata: res, artinya kepentingan, 
dan publica, yang artinya publik. Jadi, kepentingan publik di atas segalanya. 
Sebuah republik pada awalnya adalah politea, bahasa Yunani, yang berarti 
"pemerintahan kota" (city-state governance), yang kemudian juga menjadi 
pengertian "politik" (ilmu politik, sistem politik, dan seterusnya).

Pengertian "publik" itu kemudian diperluas menjadi sekumpulan orang (masyarakat 
kota tadi) yang terikat oleh kebajikan publik. Para pemikir demokrasi di 
kemudian hari (misalnya Tocqueville, 1945, dan Habermas, 1977) menekankan 
pengertian "publik" tadi ke sebuah ruang bersama yang disebut sebagai public 
sphere, tempat interaksi sosial terjadi, dan sebagai penyeimbang terhadap 
kekuatan politik negara. Dalam konteks ini, adanya kekuatan politik yang 
berimbang antara negara dan masyarakat sipil adalah inti dari kelompok teori 
ini.

Landasan moral istilah kebajikan publik tadi adalah membela kepentingan publik 
(public interest), bukan kepentingan individual atau privat. Private interest 
boleh dimajukan asal tidak mematikan kepentingan publik. Bahkan, dalam sistem 
ekonomi-politik yang paling liberal pun, kepentingan publik tidak boleh 
dimatikan oleh kepentingan privat. Pengertian "publik" acapkali didangkalkan 
sekadar kumpulan sejumlah orang (kolektiva) dengan segala tingkah lakunya (bisa 
mulai dari: diam, marah, mengamuk, berbicara, dan seterusnya).

Karena itu, mengartikan "bangkitnya sebuah publik" dengan ukuran naiknya 
aktivitas politis sekelompok warga belum tentu merupakan ukuran hidupnya 
"kehidupan publik" itu sendiri, kalau moral virtue yang melandasinya justru 
perasaan sentimen primordialisme dan/atau semangat 
sektarianisme/etnonasionalisme.

Secara ringkas, pengertian publik sebagai berikut. Pertama, apa yang disebut 
sebagai "publik" bukanlah sekadar pengertian sekelompok orang yang bisa 
bertingkah laku dengan cara tertentu (bisa marah, berteriak, tertawa, bergotong 
royong, dan seterusnya), yang mana tingkah laku tersebut tidak ada kaitannya 
dengan kesadaran untuk memajukan suatu kepentingan publik atau suatu kebajikan 
bersama (public virtue).

Kedua, ikatan yang menimbulkan kesadaran tentang publik itu adalah sebuah 
kondisi psikologis yang disebut sebagai "kesadaran berwarga negara" (sense of 
citizenship).

Ketiga, sense of citizenship ini akan mengatasi perbedaan latar belakang agama, 
etnisitas, kebangsaan (semacam etnonasionalisme), warna kulit, bahasa, usia, 
profesi, dan jenis kelamin.

Keempat, kesadaran publik ini membutuhkan ruang bersama yang bercirikan 
interaksi yang dinamis antara elemen negara sebagai pengemban amanat publik 
(public soverignity) dan masyarakat sipil (civil society) berikut struktur dan 
kulturnya.

Kelima, "sehat" atau "sakit"-nya ruang bersama (public sphere) inilah yang 
menandakan apakah suatu negara sudah mencapai taraf kemajuan menuju apa yang 
oleh teori politik disebut sebagaimodern-democratic-welfare-state. Karena itu, 
ukuran maju-tidaknya sebuah publik terletak pada maju-tidaknya kesejahteraan 
kehidupan publik itu sendiri dalam banyak hal: ekonomi, politik, kesejahteraan 
sosial di satu pihak, dan tumbuhnya perasaan berpublik (public sense) dengan 
perasaan keikatan sebagai warga negara (sense of citinzenship) sebagai 
pengikatnya.

Sudah sejahterakah kehidupan publik selama dua dasawarsa terakhir? Secara umum, 
jawabannya: tidak banyak berubah. Bukti-bukti empiris lebih memperlihatkan 
lebih majunya sektor privat dibandingkan dengan sektor publik. Di bidang 
ekonomi: ruang ekonomi publik dikuasai oligarki (gurita) bisnis. Di bidang 
pendidikan: sekolah publik terpuruk. Di bidang kesehatan: pelayanan kesehatan 
publik juga buruk. Di bidang pelayanan birokras publik: lamban, korup, tidak 
efisien, dan seterusnya. Di bidang politik: kedaulatan masih ditentukan elite 
dan oligarki partai.

Dengan memakai ukuran itu, kesejahteraan publik yang ingin diperjuangkan oleh 
semangat res-publica tampaknya masih jauh dari harapan. Kegagalan pembangunan 
untuk menyejahterakan publik ini tampaknya harus dialamatkan pada kegagalan 
proses politik kita untuk menjadikan kebijakan publik (public policy) sebagai 
alat untuk "menghidupkan publik". Apakah kita ingin merawat republik ini?

Hamdi Muluk
Guru besar psikologi politik UI
[Perspektif, Gatra Nomor 12 Beredar Kamis, 28 Januari 2010

Kirim email ke