http://www.sinarharapan.co.id/cetak-sinar/berita/read/polri-akui-sulit-penuhi-permintaan-kejaksaan/

Jumat, 12 Pebruari 2010 13:52 
Pengadilan Diingatkan Tak Cetak Robert Tantular Baru

Polri Akui Sulit Penuhi Permintaan Kejaksaan
OLEH: DEYTRI ARITONANG/RIKANDO SOMBA



Jakarta - Polri akui sulit memenuhi tuntutan Kejaksaan, terutama demi dapat 
menggelar pengadilan in absentia bagi tersangka buron kasus Bank Century, Rafat 
Ali Rizfi dan Hesham al Warraq.

     
Untuk itu, Polri akan me­lakukan pertemuan dengan Ke­jaksaan agar institusi 
pe­nun­tutan segera menyatakan berkas yang diberikan Polri lengkap (P21). 
Pertemuan itu segera di­laksanakan setidak­nya bulan ini."Paling tidak ada 
kepastian hukum dulu. Nanti kita lihat dalam forum koordinasi Polisi dengan 
Kejaksaan. Sumbatan-sumbatan itulah yang nanti kita buka. Bisakah sumbatan ini 
dihilangkan? Harus bagai­mana?" ujar Kepala Badan Reserse Kriminal 
(Kabares­krim) Mabes Polri Komjen Pol Dr Ito Sumardi kepada SH, usai sebuah 
diskusi bertajuk "Quo Vadis Penegakan Hukum Kasus Century dan Antaboga", di 
Jakarta, Kamis (11/2).


Pembobolan Bank Century oleh pemilik saham dan jajaran pejabat bank itu sendiri 
bisa dikategorikan sebagai kejahatan perbankan terbesar di Tanah Air sepanjang 
sejarah. Sayangnya, hukuman yang diberikan pengadilan terhadap para pelaku 
dinilai melukai rasa keadilan.  Padahal, semes­tinya  proses hukum terhadap 
mereka harus jadi penjeraan agar kejahatan sama tak berulang. Pengadilan 
diingatkan untuk tidak menciptakan Robert Tantular-Robert Tan­tu­lar baru. 
Demikian dikemu­kakan Ito Sumardi dan Kepala Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga 
Keuangan (Bapepam LK) Dr A Fuad Rahmany. 
"Hukuman minimal itu menjadi hal yang sangat memprihatinkan. Efek penjeraannya 
jadi hilang. Orang bisa berbuat sama seperti Robert (Tantular-red), membobol 
bank sekian triliun tapi hanya diganjar hukuman yang hanya lima tahun," kata 
Ito Sumardi. 

Sinergi
Ito Sumardi mengatakan, sinergi antarpenegak hukum sangat menentukan dalam 
proses peradilan pidana. Ia menyayangkan vonis pengadilan terhadap Robert 
Tantular yang hanya lima tahun dengan denda Rp 50 miliar. Atau Lila Gondokusumo 
yang dihukum 18 bulan. Begitu halnya dengan vonis terhadap Tariq Khan yang 
diganjar 10 bulan penjara. Padahal, kejahatan mereka bernilai total hampir Rp 2 
triliun.  Ia menambahkan, yang disidik Polri adalah kasus pembobolan dan 
kejahatan perbankan, serta pencucian uang (money laundering) para pejabat Bank 
Century sebelum bailout dilakukan. 
Hukuman ringan ini dikeluhkannya tak mendukung upaya Indonesia mendapatkan 
kembali dana dan aset bank itu yang telah dilarikan ke luar negeri oleh 
Tantular dkk. Kedua belas negara tempat larinya dana, mensyaratkan adanya 
hukuman final yang berat, sekaligus menetapkan kerugian yang sesuai dengan uang 
dan aset yang dilarikan.  Hal sama dikeluhkan Fuad Rahmany. Ia menyitir vonis 
terhadap Maddoff, pelaku kejahatan investasi perbankan di AS yang dihukum 150 
tahun dengan pengembalian semua aset dan modalnya. Vonis seperti ini sayangnya 
tak pernah ada di Indonesia. Ia mengakui pelaku kejahatan finansial di Tanah 
Air belum ada yang mendapatkan hukuman berat.
"Jangan sampai pengadilan malah menciptakan kesempatan bagi orang untuk menjadi 
Robert Tantular- Robert Tantular baru," kritiknya.


Fuad mengharapkan, ke depan, aparat hukum bisa me­nangkap rasa keadilan 
ma­syarakat sekaligus menerapkan penjeraan dan mengembalikan ganti rugi yang 
diderita korban (civil remedy). Ia mendukung pernyataan Kabareskrim Ito Sumardi 
yang membuka diri bagi para korban bank itu dan program investasi "bodong" 
Antaboga untuk melaporkan penipuan yang dilakukan Bank Century. Polisi, 
menurutnya, akan memproses hal itu. Ito juga menyarankan agar langkah perdata 
bisa dilakukan terhadap para pelaku kejahatan perbankan. "Kami membuka diri. 
Kami akan proses," janji Ito.


Di kesempatan sama, Ab­dul Hakim Garuda Nusantara, advokat senior yang mantan 
Ketua Komnas HAM, menegaskan, kunci dari penyelesaian kasus ini adalah 
sinerginya antarpenegak hukum. Ia me­ngatakan, pengadilan di Tanah Air juga 
harus mampu me­nang­kap kemauan internasional. "Jangan sampai kesepahaman 
antarpenegak hukum ini jadi permasalahan. Gegap gempita perpolitikan 
selayak­nya juga tak lupa menyoroti perkembangan kasus hukum ini," pungkasnya. n


Kirim email ke