http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=44090:kebijakan-nondiskriminatif-untuk-pemerataan-pendidikan&catid=78:umum&Itemid=131
Kebijakan Nondiskriminatif untuk Pemerataan Pendidikan Oleh : Taufikul Fahrudi Dunia pendidikan di penghujung tahun 2009 lalu seperti menemukan rohnya kembali. Ini terlihat dari kebijakan dasar yang kini dikembangkan Depdiknas dengan jargon kebijakan nondiskriminatif. Jargon itu memang bukan sesuatu yang baru, berpangkal dari ungkapan yang telah disepakati Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memberi perhatian lebih di bidang pendidikan dalam kalimat education for all (pendidikan untuk semua). Namun, hal itu terasa baru dan ke depannya serius akan dijalankan pemerintah karena tolok ukurnya makin jelas. Buktinya? Paling tidak jika kita mengikuti beberapa kali pernyataan dan kunjungan kerja Mendiknas Mohammad Nuh, optimisme kebijakan itu akan dijalankan makin besar. Untuk sekadar menyebutkan contoh, kunjungan kerja Mendiknas ke beberapa sekolah luar biasa (SLB) serta rencana untuk memperhatikan sekolah- sekolah yang berada di lingkungan lembaga pemasyarakatan (LP) adalah bukti kecil bahwa ke depan kebijakan nondiskriminatif itu akan dijalankan. Tentu bukan hanya pernyataan dan kunjungan kerja Mendiknas yang dapat dijadikan acuan. Beberapa program seratus hari Depdiknas kiranya juga bermuara pada upaya untuk menjalankan kebijakan nondiskriminatif itu. Sebut saja misalnya program penyediaan internet secara massal di sekolah, penguatan kemampuan kepala dan pengawas sekolah, beasiswa perguruan tinggi negeri (Bidik Misi) untuk lulusan SMA/ SMK/MA berprestasi dari keluarga kurang mampu. Itu semua adalah program-program yang bermuara pada kebijakan nondiskriminatif. Kebijakan nondiskriminatif intinya adalah bagian dari komitmen pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan dari hulu, meliputi penyiapan infrastruktur dalam hal ini sekolah, guru, proses belajar mengajar, hingga hilir, bersentuhan dengan kualitas lulusan hingga mencegah miss match antara yang dihasilkan lembaga pendidikan dan lembaga pelatihan dengan keperluan pasar tenaga kerja. Kebijakan tersebut menjadi penting dalam upaya membangun pemerataan pendidikan yang selama ini masih mengalami ketimpangan. Dalam hal akses masyarakat kurang mampu terhadap pendidikan tinggi misalnya, kini tercatat baru 3,3 persen dari keluarga kurang mampu yang masuk ke jenjang pendidikan tinggi. Harapannya, melalui program beasiswa Bidik Misi, persentase itu dapat dilipatgandakan, selain diharapkan juga akan mengurangi ketimpangan antara 20 persen terkaya dengan 20 persen termiskin yang saat ini 10 kali lipat nilainya. Sebab, begitu masuk, mereka diharapkan tidak putus pendidikannya. Sebanyak 20.000 kursi disiapkan di perguruan tinggi negeri baik yang dikelola Depdiknas maupun Departemen Agama. Beasiswa dengan nilai Rp10 juta per tahun ini-bukan hanya untuk biaya kuliah, tapi juga untuk biaya hidup selama penerima beasiswa menempuh pendidikan di perguruan tinggi-diberikan bukan juga setahun dua-tahun, tapi sampai mereka lulus kuliah. Sementara bagi peserta didik yang difabel di mana mereka masuk dalam kategori anak-anak berkebutuhan khusus (ABK), melalui kebijakan nondiskriminatif, mulai tahun 2010, Depdiknas berencana memberikan perhatian lebih kepada sekolah-sekolah tersebut antara lain dalam bentuk pemberian Bantuan Operasional Sekolah (BOS), yang memang tidak bisa disamakan dengan sekolah reguler, harus ada BOS khusus. Inilah salah satu bentuk perhatian agar apa yang selama ini dijadikan sebagai jargon atau slogan education for all atau pendidikan untuk semua benar-benar nyata dilakukan. Makna dari slogan itu tentu muaranya adalah kebijakan nondiskriminatif. Artinya, tidak membedakan semua satuan pendidikan, model maupun bentuknya. Termasuk di dalamnya SLB, keluarga kurang mampu, dan mereka yang karena nasibnya berada di dalam lembaga pemasyarakatan. Intinya, pendidikan itu untuk semua (education for all).Tidak hanya untuk anak yang normal, melainkan juga untuk anak yang berkebutuhan khusus. Tidak ada diskriminasi dalam pendidikan. Itu sebabnya, memperhatikan SLB dan sekolah inklusi serta anak-anak tidak mampu untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi dan mereka yang berada di dalam lembaga pemasyarakatan merupakan bagian dari pengejawantahan kebijakan nondiskriminatif. Hal itu sebagaimana yang telah diamanatkan dalam konstitusi kita bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan (Pasal 31 ayat 1) dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya (Pasal 31 ayat 2).*** Penulis adalah Pemerhati Masalah Pendidikan.
<<printButton.png>>
<<emailButton.png>>