Refleksi: Apakah hal ini menunjukkan tidak ada kemampuan apapun dari mereka yang disebut wakil dan para petinggi rakyat untuk sendiri bisa mengatur dan mengurus yang disebut negara nan merdeka dan berdaulat, selain mengadaikan kepada kepada orang lain untuk mengeruk keuntungan?
http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=13848 2010-03-05 Modal Asing untuk RS Sampai 67% Tetapkan Standar Tarif "Pemerintah jangan berharap, jika persaingan makin tinggi, biaya rumah sakit akan turun. Layanan kesehatan berbeda dengan produk lain, yang mana rakyat bisa memilih kualitasnya". [JAKARTA] Kebijakan pemerintah yang akan memberikan ruang bagi investor asing untuk menguasai modal rumah sakit dan peralatan pendukungnya sampai 67%, perlu ditinjau ulang. Sebab, hal itu akan membawa banyak konsekuensi yang merugikan Indonesia pada umumnya, dan masyarakat menengah bawah pada khususnya. Dengan makin banyaknya rumah sakit swasta asing dan nasional, mereka akan berlomba meningkatkan kualitas rumah sakit, namun konsekuensinya, tarif pelayanan juga akan melonjak. Dengan demikian, beban pemerintah untuk membiayai pengobatan masyarakat menengah bawah lewat Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), akan makin besar. "Karena itu, perlu pembatasan jumlah rumah sakit swasta nasional dan asing. Sebab faktanya, tidak ada perbedaan mendasar di antara keduanya dalam hal layanan kesehatan kepada masyarakat miskin," kata pengamat kesehatan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia Prof Hasbullah Thabrany, yang dihubungi SP di Jakarta, Kamis (4/3). Dihubungi terpisah, anggota Komisi IX DPR Charles Mesang mengatakan, berapa pun modal yang dibawa asing, namun pemodal wajib mematuhi UU Rumah Sakit. Salah satunya, tidak menolak pasien, termasuk yang miskin ketika hendak berobat. "Tidak ada alasan untuk menolak dengan alasan tidak ada uang muka. Yang jelas, pasien diterima dan ditangani dulu, nanti mekanisme pembayarannya kemudian," ujarnya. Mantan Ketua Tim Perumus Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Sulastomo mengatakan, jika asing diberi keleluasaan memasukkan modal sampai 67% untuk rumah sakit, maka layanan kesehatan akan berubah jadi komoditas komersial. "Rumah sakit swasta sudah pasti komersial. Sasaran layanannya hanya untuk orang kaya," katanya. Itu artinya, lanjut Sulatomo, akan terjadi diskriminasi layanan kesehatan. Akan ada rumah sakit orang kaya dan rumah sakit orang miskin. "Kalau Malaysia, misalnya membangun rumah sakit di Indonesia, berarti akan memakmurkan Malaysia, bukan kita," katanya.Hasbullah juga mengatakan, hampir semua rumah sakit swasta mengutamakan untung atau profit. Apalagi, persaingan semakin ketat. "Biasanya, rumah sakit swasta dibangun sedemikian rupa hanya untuk mengundang orang kaya, bukan orang miskin. Selama ini pun, swasta hanya diwajibkan menyediakan sekitar 10% layanan sosial untuk masyarakat tidak mampu," katanya. Kondisi ini, lanjutnya, berbeda dengan Amerika Serikat, hanya 11% rumah sakitnya yang pro profit, sedangkan 89% berupa nirlaba, yang dimiliki yayasan, lembaga swadaya masyarakat, dan gereja. Jadi, jika peluang rumah sakit asing untuk berkembang di Indonesia semakin lebar, akan berdampak lebih besar kepada penduduk kelas menengah ke bawah, karena biaya berobat makin mahal. "Pemerintah jangan berharap, jika persaingan makin tinggi, maka biaya rumah sakit akan turun. Karena layanan kesehatan berbeda dengan produk lain, yang mana rakyat bisa memilih kualitasnya," katanya.Jadi, pemerintah harus memikirkan konsekuensi jangka panjang, tidak sekadar melihat berapa besar modal yang dibawa pihak asing. Jika rumah sakit swasta dibatasi jumlahnya, persaingan akan makin sehat. "Pemerintah hanya perlu mengontrol agar persaingan itu lebih kepada kualitas, bukan harga. Sebab, tidak semua masyarakat mengerti rumah sakit berkualitas," katanya. Charles Mesang juga mengakui, orientasi rumah sakit saat ini lebih kepada bisnis. "Tidak menutup kemungkinan, untuk mencari keuntungan, rumah sakit memberikan jenis pengobatan atau tindakan kepada pasien, tanpa sepengetahuannya," katanya. Karena itu, UU Rumah Sakit juga mewajibkan agar setiap pasien berhak mendapat informasi mengenai apa yang dokter lakukan. "Sebab, banyak penyalahgunaan yang merugikan pasien, misalnya dokter lakukan USG, padahal sebenarnya tidak perlu," katanya. Dalam hal ini, katanya, harus ada dewan pengawas yang mengawasi operasional rumah sakit, mulai dari pusat hingga daerah. "Dampak positifnya, jika rumah sakit asing makin banyak di Indonesia, maka bisa mencegah pasien yang mampu untuk tidak berobat lagi ke luar negeri," katanya. Batas Maksimum Menurut Hasbullah, pemerintah juga harus menetapkan batas tarif maksimum layanan rumah sakit, agar tidak terkesan ada diskriminasi. "Pasien tidak mampu juga bisa mendapatkan pengobatan berkualitas, yang dijaminkan oleh pemerintah, meski dengan anggaran yang terbatas," katanya. Dengan penetapan harga maksimun, pemerintah bisa mengontrol, sehingga rumah sakit tidak sewenang-wenang menaikkan harga. Terkait penyebaran rumah sakit, dia mengusulkan, ada baiknya pemerintah memberikan insentif kepada rumah sakit swasta yang siap membangun dan beroperasi di daerah. Misalnya, diizinkan memiliki modal lebih besar ketimbang yang beroperasi di kota. Namun, tarif maksimumnya tetap dipatok pemerintah. Tetapi, Hasbullah meragukan, apakah pemerintah memiliki keberanian untuk memberikan sanksi kepada pemodal asing. "Dibutuhkan, keberanian pemerintah untuk terus mengontrol pemodal, mulai dari perizinan hingga operasional. Jika pemerintah belum menjamin hal itu, sebaiknya jangan dulu membuka peluang luas bagi investor asing," katanya. [D-13
<<4_9_15v.gif>>
<<4_14_1.gif>>
<<4_14_4.gif>>
sig.jsp?pc=ZSzeb114&pp=GRfox000
Description: Binary data