http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=14100
2010-03-09 Pemeriksaan Boediono dan Sri Mulyani dalam Kasus Century Pimpinan KPK Terbelah [JAKARTA] Harapan sebagian kalangan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera memeriksa Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati dalam skandal bailout Bank Century senilai Rp 6,7 triliun, tampaknya belum dapat segera terwujud. Pasalnya, sikap lima pimpinan KPK terhadap hal itu terbelah. Sumber SP di KPK, Senin (8/3) mengungkapkan, masih terjadi perdebatan alot di jajaran pimpinan KPK mengenai perlunya Boediono dan Sri Mulyani segera diperiksa, masing-masing dalam kapasitasnya sebagai mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) dan mantan Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Dua pimpinan KPK, menurut sumber itu, bersikukuh KPK belum perlu memanggil kedua pejabat tinggi di pemerintahan tersebut. Sebaliknya, dua pimpinan lainnya tidak mempersoalkan jika memang harus diperiksa, serta satu pimpinan bersikap abstain. "KPK tampaknya akan membidik terlebih dahulu beberapa pejabat BI yang diduga kuat terlibat dan bertanggung jawab dalam kasus Century," ungkap sumber itu. Dia menambahkan, alasan dua pimpinan KPK yang merasa belum perlu memanggil Boediono dan Sri Mulyani karena lembaga itu masih mencari bukti-bukti lain untuk lebih menguatkan sangkaan yang akan dilayangkan kepada dua pejabat itu. "Karena di KPK tidak ada kamus menghentikan kasus. Sehingga, KPK harus yakin benar memiliki cukup bukti untuk memeriksa. Apalagi kasus ini sarat muatan politis," jelasnya, Terkait hal itu, Wakil Ketua KPK bidang pencegahan, Haryono Umar menolak berkomentar soal hasil gelar perkara skandal Century yang dilakukan Senin. "Kita (pimpinan KPK) telah sepakat yang bicara soal gelar perkara Century dari bidang penindakan," ujarnya saat dihubungi Selasa (9/3) pagi. Saat hal yang sama ditanyakan ke Wakil Ketua KPK bidang penindakan Bibit Samad Riyanto menolak menjelaskan terperinci mengenai gelar perkara. "Penyelidikan masih harus dilanjutkan," ujarnya melalui pesan singkat. Secara terpisah, Juru Bicara KPK Johan Budi menjelaskan, sangat terbuka kemungkinan lembaganya memanggil Boediono dan Sri Mulyani untuk diperiksa. "Siapa pun yang dianggap dibutuhkan keterangannya, bisa dipanggil KPK," ujarnya. Dijelaskan, setelah menggelar serangkaian gelar perkara, KPK belum menyimpulkan adanya tindak pidana korupsi dalam skandal Century. Gelar perkara dimaksud berupa pemaparan data dan informasi yang telah dikumpulkan tim penyelidik kepada pimpinan KPK, untuk diambil kesimpulan mengenai posisi hukum kasus dimaksud. Dia menambahkan, lembaga antikorupsi ini masih terus mencari dua alat bukti yang cukup untuk meningkatkan dari penyelidikan menjadi penyidikan. "Data dan informasi yang ada di KPK sangat banyak baik dari hasil pemeriksaan KPK maupun dari lembaga lain, seperti, BPK, PPATK, dan Pansus Hak Angket," jelasnya. Johan mengakui adanya dugaan penyimpangan dalam pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) oleh BI ke Bank Century. Namun, untuk menaikkan status penyelidikan kasus Century ke tahap penyidikan, hal itu belum memungkinkan, karena KPK belum memiliki dua alat bukti yang cukup. Segera Menyimpulkan Menyikapi perkembangan penanganan skandal Century oleh KPK, Wakil Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho, dan Sekretaris Umum Masyarakat Transparansi Internasional Indonesia (MTII) Teten Masduki menilainya sangat lamban. Keduanya curiga KPK tidak steril dari kepentingan politik, sehingga terkesan tidak serius. "Sepanjang data dan dokumen telah mencukupi, tidak ada alasan bagi KPK untuk tidak menaikkan status hukum penyelidikan kasus Century. Publik menunggu keputusan KPK," kata Emerson. Hal senada dikatakan Teten. Dia mendesak KPK se-gera menyimpulkan status pengusutan dari hasil gelar perkara penyelidikan, agar tidak menimbulkan tanda tanya dan keraguan masyarakat. Menurutnya, KPK bisa memakai strategi seperti pada saat mengusut kasus aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) ke DPR, dan kasus dugaan suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI dengan status Agus Condro. "Proses penyidikannya bisa sambil berjalan dan dibuktikan di pengadilan. Sehingga terkuak siapa aktor utama dalam kasus ini," jelasnya. Tolak Barter Kasus Sementara itu, sejumlah pimpinan parpol dan fraksi di DPR yang menganggap kebijakan bailout Century bermasalah, menegaskan menolak tawaran barter dengan kasus hukum yang menimpa para politisi dari parpol yang bersangkutan. Sekjen Partai Golkar Idrus Marham mengemukakan, partainya tidak tertarik dengan isu atau upaya tukar guling kasus oleh siapa pun terkait pengusutan kasus Century. Menurutnya, Golkar tetap pada sikap politiknya yaitu membawa kasus Century diproses secara hukum dan dilakukan secara transparan. "Bunuh diri kalau melakukan itu. Semua masyarakat sudah tahu kasus Century itu. Jadi mau tukar guling apa lagi," tegasnya.Penegasan yang sama dinyatakan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). "Terlalu rendah pandangan itu (tukar guling kasus) terhadap partai kami," kata fungsionaris PDI-P, Hendrawan Supratikno. Mantan anggota Pansus Century ini menegaskan, kalau ada kader-kader PDI-P yang tersandung kasus pidana, silakan diproses secara hukum. "Justru sebaliknya, PDI-P siap melanjutkan ke proses politik dengan menggunakan hak menyatakan pendapat, jika proses hukum Century melempem," tegasnya. Wakil Sekjen DPP PPP Moh Romarhumuziy menjelaskan, partainya tak memiliki peluang untuk terlibat barter kasus dalam skandal Bank Century. Sebab, kader-kader PPP yang tersandung kasus hukum, mayoritas sudah masuk tahap P-21 (berkas lengkap di tingkat penuntutan) dan siap dilimpahkan ke pengadilan. Di antara kader PPP yang kini berstatus tersangka adalah Endin Soefihara dalam kasus suap seleksi Deputi Gubernur Senior BI, dan Bachtiar Chamsyah dalam kasus impor sapi. Sekretaris Fraksi Hanura Syarifuddin Sudding juga menegaskan, partainya tak akan tergiur barter kasus, untuk melunakkan sikap dalam skandal Century. Disinggung mengenai kasus pelanggaran HAM di Timor Timur beberapa tahun lalu yang menyeret nama Ketua Umum DPP Hanura Wiranto, Syarifudin menjelaskan, kasus itu sudah lama selesai, dan tidak ada bukti keterlibatan Wiranto saat itu. Demikian halnya Ketua Fraksi Gerindra di MPR, Marthin Hutabarat mengingatkan, barter kasus dalam penuntasan kasus Bank Century bisa merusak tatanan demokrasi. "DPR sudah membuat keputusan agar kasus ini diproses secara hukum. Kalau ada barter perkara," kata Marthin. Dia membantah Gerindra juga mendapat tawaran barter kasus dari Partai Demokrat, terkait dugaan pelanggaran HAM yang pernah dituduhkan kepada Ketua Dewan Pembina DPP Gerindra, Prabowo Subianto. Sementara itu, Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat, Syarif Hasan membantah partainya melancarkan politik barter kasus untuk meredam proses hukum skandal Century yang berpotensi besar menyeret Boediono dan Sri Mulyani. "Kami tidak pernah melakukan politik barter. Kita bersih, transparan dan akuntabel," tegasnya. Menurut dia, dugaan ICW tentang adanya politik barter kasus yang ditawarkan Demokrat untuk lima parpol, adalah sesuatu yang keliru dan hanya persepsi sepihak. "Barter itu out of date. Kalau menyangkut konsekuensi hukum, harus diproses dan dibuktikan di pengadilan bahwa memang ada yang bersalah," ujar Syarief. Hal senada juga ditegaskan Ketua Fraksi Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Menurutnya, apa yang dilakukan ICW merupakan spekulasi yang tidak berdasar dan tidak layak disosialisasikan atau dipublikasikan. "Tidak ada tukar-menukar kasus hukum dengan urusan politik. Kami pastikan tidak ada barter perkara dan proses hukum untuk kasus Bank Century berjalan normal sesuai prinsip penegakan hukum tanpa diskriminasi, asas praduga tidak bersalah, kemandirian, dan profesionalisme lembaga penegak hukum," ujar Anas. [M-17/J-9/J-11/R-14]