Refleksi: Sangat menarik peraturan tanah terlantar ini. Hendaklah diperhatikan dengan saksama agar tidak keseleo dalam tipuan rezim akal bulus bin kleptokratik.
http://www.sinarharapan.co.id/cetak-sinar/berita/read/regulasi-baru-tanah-telantar/ Rabu, 10 Maret 2010 13:59 Regulasi Baru Tanah Telantar OLEH: USEP SETIAWAN Ada kabar baik yang tak tersiarkan secara memadai. Tanggal 22 Januari 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar. PP ini merupakan pengganti PP 36/1998. PP 11/2010 merupakan regulasi baru tanah telantar, yang isinya mengandung delapan bab, 20 pasal, dan dilengkapi bagian penjelasan. Kedelapan bab itu meliputi ketentuan umum, objek penertiban tanah telantar, identifikasi dan penelitian, peringatan, penetapan tanah telantar, pendayagunaan tanah negara bekas tanah telantar, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup. Penulis termasuk pihak yang mendorong dan menantikan perbaikan regulasi tanah telantar ini. Setelah mempelajari substansi PP 11/2010, berikut ulasan kritis yang perlu mendapat perhatian saksama. Segi Penertiban Semua jenis hak yang diatur dalam UU No 5/1960 (UUPA) menjadi objek tanah yang disasar PP ini, meliputi: "Objek penertiban tanah telantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya," (Pasal 2). Sementara itu, objek yang dikecualikan (Pasal 3) meliputi: "Tidak termasuk objek penertiban tanah telantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah: (a) tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya; dan (b) tanah yang dikuasai pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan sudah berstatus maupun belum berstatus Barang Milik Negara/Daerah yang tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya." Persis di bagian inilah titik terlemah PP 11/2010. Hal ini berpotensi menyulitkan upaya penertiban tanah-tanah telantar dalam skala luas yang dikelola perusahaan negara/daerah. Padahal, selama ini kawasan yang dikelola perusahaan negara di sektor kehutanan maupun perkebunan merupakan penyebab penting lahirnya ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah. Hl ini kerap melahirkan konflik dan sengketa pertanahan dengan warga miskin di sekitarnya, memicu penurunan kualitas layanan alam, dan diduga menjadi sarang korupsi. Akan tetapi, penertiban tanah telantar yang penguasaan dan pengusahaannya pa-da perusahaan negara, menurut PP ini harus bisa dibuktikan "ketidaksengajaannya". Untuk itu, lubang sempit berupa "sengaja" atau "tidaknya" ini harus diperjelas agar dapat menjadi instrumen dalam menertibkan tanah yang ditelantarkan BUMN/D. Inilah pekerjaan rumah krusial dalam pengaturan lebih lanjut operasionalisasi PP 11/2010, yang disertai keberanian, ketegasan, dan konsistensi pejabat dan aparat dalam implementasinya. Terhadap tanah terindikasi telantar akan diidentifikasi dan diteliti oleh Kanwil BPN bersama panitia (Pasal 7, Ayat 4, 5, 6, dan 7). Setelah proses identifikasi dan penelitian selesai dan ada fakta tanah telantar, lalu masuk ke proses peringatan. Dalam hal peringatan, pemerintah akan memberikannya sebanyak tiga kali dalam tiga bulan (Pasal 8, Ayat 1, 2, dan 3). Rentang waktu peringatan ini kita catat sebagai kemajuan, mengingat dalam PP lama, peringatan diberikan selama tiga kali dalam tiga tahun. Menurut PP ini, tanah yang dinyatakan dalam keadaan status quo tak dapat dilakukan dieknaia tindakan hukum sampai diterbitkan penetapan tanah telantar yang memuat juga penetapan penghapusan hak atas tanah, sekaligus memutuskan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Segi Pendayagunaan Lantas, untuk apa dan untuk siapa tanah yang sudah dinyatakan telantar? Perlu dicermati pengaturan segi pendayagunaannya. Menurut Pasal 15, "Peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah telantar didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui pembaruan agraria dan program strategis negara serta untuk cadangan negara lainnya." Peruntukan dan pengaturan peruntukan bekas tanah telantar ini dilakukan kepala BPN RI. Uraian merujuk bagian penjelasan Pasal 15 Ayat 1: Reforma Agraria sebagai kebijakan pertanahan yang mencakup penataan sistem politik dan hukum pertanahan serta penataan aset dan akses masyarakat terhadap tanah sesuai dengan jiwa Pasal 2 Ketetapan MPR RI No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan Pasal 10 UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Penataan aset dan akses masyarakat terhadap tanah dapat melalui distribusi dan redistribusi tanah negara bekas tanah telantar. Sementara itu, program strategis negara, antara lain untuk pengembangan sektor pangan, energi, perumahan rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adapun kepentingan cadangan negara lainnya antara lain untuk memenuhi kebutuhan tanah untuk kepentingan pemerintah, pertahanan dan keamanan, kebutuhan tanah akibat adanya bencana alam, relokasi dan pemukiman kembali masyarakat yang terkena pembangunan untuk kepentingan umum. Menurut hemat penulis, alokasi bagi reforma agraria mestinya menjadi prioritas. Sebagaimana disampaikan Presiden Yudhoyono dalam pidato peresmian program-program srategis pertanahan di Marunda, Jakarta (15/1), salah satu pelaksanaan pembaruan agraria adalah dalam makna landreform plus penyediaan akses yang memungkinkan rakyat memiliki dan memanfaatkan tanah, serta akses-akses lain yang dibutuhkannya. Oleh karena itu, PP 11/2010 sejalan dengan kehendak menjalankan landreform plus tadi. Di luar substansi regulasi baru tanah telantar ini, demi kesuksesan pelaksanaannya, mutlak dibutuhkan pemimpin dan aparat pemerintah (khususnya BPN dan pemda) yang jujur, amanah, paham pembaruan agraria, mampu bekerja efektif, dan senantiasa memihak rakyat lemah. Pertanyaannya, akankah pembaruan agraria jadi arus utama kebijakan dalam menata keagrariaan di negeri agraris ini? Jika tidak, operasi penertiban dan pendayagunaan tanah telantar akan sulit membongkar akar penyakit struktural agraria yang akut, yakni ketimpangan dan ketidakadilan sosial. Penulis adalah Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).