http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/hilangnya-kepekaan-wakil-rakyat/

Senin, 24 Mei 2010 13:16 
Hilangnya Kepekaan Wakil Rakyat
OLEH: RM BENNY SUSETYO PR



Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di­minta menunda rea­lisasi pembangunan gedung 
ba­ru pengganti Gedung Nu­san­tara I. 

     
Penundaan itu layak dilakukan sampai tidak ada lagi polemik yang muncul akibat 
kesimpangsiuran informasi tentang anggaran pembangunan gedung tersebut. 


Resistensi publik atas rencana pembangunan gedung baru DPR itu terjadi karena 
ketertutupan Badan Urusan Rumah Tangga, yang menyebabkan informasi yang beredar 
simpang siur. Penulis juga kaget jika dana Rp 1,8 triliun ternyata hanya untuk 
satu gedung. Anggota Dewan yang terhormat sudah kehilangan nurani di tengah 
penderitaan rakyat "mereka", karena hanya memikirkan hal yang fisik. 


Pertanyaan mendasarnya: apakah anggota Dewan yang terhormat masih memiliki 
ke­sadaran akan nurani? Nurani ti­dak lagi menjadi pijakan da­lam bertindak dan 
berpikir. Ada kecenderungan mencari hal yang hanya memperkaya dirinya sendiri. 
Hilang nurani menciptakan mentalitas jalan pintas. 


Hal ini yang terjadi, karena segala idealisme memperjuangkan kepentingan rakyat 
se­kadar politik mencari muka. Anggota Dewan kurang memiliki kepekaan terhadap 
pende­ritaan masyarakat. Per­ta­nyaan­nya: mengapa hal de­mikian selalu 
terjadi? Mengapa kasus seperti ini selalu dan sering terulang? Ada apa dengan 
mentalitas wakil rakyat kita? Ru­panya mereka yang duduk di Dewan terhormat 
sudah kehilangan ketajaman suara hati. Tidak diketahui persis di mana letak 
nurani anggota Dewan baru yang terhormat diletakkan, saat rakyat mengalami 
penderitaan dan beban hidup berat. Hilangnya rasa solidaritas wakil rakyat 
terhadap rakyatnya ini bisa kita prediksi sejak awal, karena meskipun mereka 
dipilih melalui sistem pemilu berbeda, mereka dipilih dan ditentukan oleh 
partai politik. Partai politik memiliki kesenjangan aspirasi yang sa­ngat lebar 
antara elite dan konstituennya. 


Adalah kenyataan bahwa kecuali dua orang anggota, selebihnya dari mereka 
terpilih bukan karena persyaratan jum­lah konstituennya. Kondisi ini membuat 
kita mengernyitkan dahi, karena ini amat menunjukkan kekaburan me­reka dalam 
memaknai kekua­saan. Kekuasaan rupanya ha­nya dilihat sebagai mesin peng­hasil 
uang dan gengsi. 


Mesin kekuasaan itulah yang diyakini sebagai alat legalitasnya. Ketika 
legalitas hanya bersandar pada dua level ini, dalam kenyataannya ini membuat 
tata etika politik tidak lagi menjadi bagian dari ke­biasaan anggota Dewan. 
Inilah yang menjadi masalah besar karena kata-kata mereka sulit dipercaya 
publik, sebab kenyataannya memang kata-kata mereka hanya pemanis bibir. 
Orientasi mereka sulit untuk dipertanggungjawabkan karena tidak jelas berpihak 
pada siapa aktivitas politiknya. Citra Dewan semakin kelam karena tidak ada 
motivasi untuk memperbaiki diri. 


Politik yang dijalankannya sering hampa etika. Tidak peduli ketika mereka harus 
kehilangan jati dirinya sebagai insan politik yang das sollen memiliki 
kejujuran, ketulusan, keterbukaan, dan keberanian menegakkan keadilan. Rasanya 
baru kemarin kita berharap ada perubahan perilaku ang­gota Dewan terhormat. 
Tetapi, harapan menjadi sia-sia karena mereka tidak memiliki kebiasaan baru 
dalam menjalankan amanat penderitaan rakyat. 

Politik Cari Kekayaan 
Akhirnya, sampai kini kita menghadapi kesulitan bagai­mana cara terbaik 
meng­ingatkan sebagian "wakil rak­yat" yang keblinger itu. Inilah realitas 
wajah anggota Dewan terhormat, yang kurang me­nyadari akan tugasnya mela­yani 
rakyat. Daulat rakyat tidak dijadikan cara berpikir, ber­tindak, berelasi dalam 
mem­perjuangkan nilai-nilai kesejahteran, keadilan, dan persamaan di depan 
hukum. Mereka sibuk mempercantik diri sendiri dengan segala hal yang bersifat 
material belaka. Padahal, semua itu bukan hal yang mendasar yang harus 
diperjuangkan. Lantas, di manakah nurani mereka jika hanya mencari hal yang 
menyenang­kan perut tetapi lupa pada hal yang mendasar, yakni me­mi­kirkan 
kebutuhan masyarakat.


Tetapi ini terjadi, berarti ada tragedi kematian nurani di kalangan anggota 
Dewan. Ang­gota Dewan tidak memiliki visi untuk memperjuangkan kesejahteran 
umum. Politik tanpa nurani cenderung hanya memperkaya diri sendiri. Politik 
kehilangan keutamaan moralitas, tidak mampu membedakan ma­na yang baik dan 
buruk. Per­­tanyaan mendasarnya, di ma­­nakah orientasi mereka yang saat ini 
duduk di Par­lemen?


Politik dan pemerintahan harus menjadikan nilai moralitas publik sebagai acuan. 
Pemimpin sejati seharusnya meninggalkan keinginan dan nafsu kekuasaan politik 
sebagai sandaran hidup untuk memperoleh kekayaan. Sebab bila demikian, politik 
hanya akan menjadi arena investasi belaka: mengeluarkan berapa dan apa, dan 
mendapatkan be­rapa dan apa. Politik ke­kua­saan adalah amanat penderitaan 
rakyat. Pertanyaan buat para pemimpin terpilih ialah bagaimana kita menyikapi 
kondisi kritis bangsa kita saat ini. Komitmen berbangsa yang dimanifestasikan 
dalam bentuk kerelaan berkorban secara sungguh-sungguh merupakan salah satu 
langkah yang meng­antarkan bangsa ini mencapai perubahan di masa mendatang.


Mengapa tidak belajar dari para pendiri negara ini dalam dalam kentalnya 
komitmen mereka terhadap pengorbanan lahir batin akan nasib bang­sanya? Setiap 
langkah yang mereka lakukan selalu diarah­kan pada upaya bagaimana rakyatnya 
hari ini lebih baik dari kemarin, esok lebih baik dari hari ini. Hal itu hanya 
bisa dilakukan bila pemimpin baru sungguh-sungguh berpihak pada rakyat jelata, 
rakyat mis­kin, dan para penganggur. Me­reka semua adalah penghuni ma­yoritas 
bangsa yang disebut Indonesia ini. Kita ber­harap para anggota Dewan me­miliki 
ke­tulusan untuk menghantar­kan bangsa ini ke masa depan. 


Sikap tulus ini tentu harus disertai dengan kecerdasan dalam mengoordinasikan 
tu­juan dan target yang ingin di­capai. Tujuan yang ingin dicapai harus 
membebaskan ma­syarakat dari politik adu dom­ba yang kerap dilakukan ne­gara. 
Negara seharusnya memfasilitasi pertumbuhan nilai-nilai kemanusiaan yang 
tercermin dalam peradaban para aparaturnya. Aparatur yang beradab selalu 
mengutamakan tertib sosial dan hukum. Setiap pemimpin yang terpilih selalu 
dicita-citakan sebagai pemim­pin bangsa masa depan. Oleh karena itu, mereka 
harus be­rani menegakkan keadilan tanpa melupakan kebenaran. Kebenaran tanpa 
keadilan tidak akan menciptakan tata dunia baru. Tata dunia baru tercipta bila 
hukum memiliki kedaulatan di atas kepentingan politik. Politik harus tunduk 
pada moralitas. Inilah zaman yang diharapkan. di mana lembaran baru tercipta 
demi terwujudnya cita-cita para pen­diri bangsa ini.

Penulis adalah Sekretaris Dewan Nasional Setara.

Reply via email to