Mata Buta, Kaki Lumpuh, Laporan Digantung Hak atas keadilan di negeri ini benar-benar terancam. Bayangkan saja lembaga peradilan yang seharusnya memproduksi keadilan, justru menjadi ladang subur praktik ketidakadilan. Khususnya bagi masyarakat yang tidak memiliki akses ekonomi alias wong cilik. Realitas itu pula yang kini menimpa Ahmad Slamet, warga Dusun Pijitan, Desa Palang Besi, Kecamatan Lumbang, Kabupaten Probolinggo. Namun, korban penembakan anggota Sat Intelkam Polres Probolinggo, yang kini mengalami kebutaan dan kelumpuhan itu tak lelah mencari keadilan. Berikut penuturannya pada Tri Suryaningrum, wartawan Surabaya Pagi.
SEORANG pria berusia 40 tahun tergolek lemah, beralaskan kasur kumal. Tubuhnya, yang terlihat tinggi besar itu seakan tak mampu melawan ketidakberdayaan yang kini menyerangnya. Tubuhnya luruh...... Dia hanya bisa menggerakkan tubuhnya dengan bantuan kerabatnya. “Ya...beginilah kondisinya,” ucap Dedi Santoso, adik iparnya yang setia menemaninya melaporkan kasusnya ke Propam Polda Jatim, Rabu (9/6). Dan saat Surabaya Pagi memperhatikan bola matanya, Slamet, begitu pria ini biasa disapa, tidak bereaksi. “Matanya mengalami kebutaan permanen pasca penembakan yang dilakukan oleh anggota Polres Probolinggo,” bisik Syaiful Arif, Kepala Bidang Operasional Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, kemarin. Namun, mata boleh buta dan kakipun boleh lumpuh, tapi jangan ragukan semangatnya dalam menuntut keadilan. “Saya harus berani melawan, demi keluarga saya,” ucapnya lirih terbata, sambil berusaha menata duduknya di dalam mobil nan sumpek lagi panas itu. Tiba-tiba, bapak dua putera ini terdiam. Dia lantas memberikan isyarat pada sang adik, Jumiati, untuk membantunya berbaring. Setelah itu dia tak lagi bisa bicara. “Dia mungkin lelah mbak, mungkin mau tidur,” kata Jumiati. Memang benar, tak lama berselang, kantung mata Slamet terkatup, dan diapun lelap dalam tidurnya. Beruntung, sang ipar, Dedi, akhirnya berusaha menceritakan derita yang dialami Slamet. “Apa yang dialami kakak saya itu bermula saat Polres Probolinggo melakukan obrakan judi di tegalan milik Ny Lasmi,” ungkap Dedi membuka cerita. Saat itu, 10 Desember 2009, lanjut Dedi, Slamet, sang kakak, kebetulan berada di arena judi dadu. Celakanya lagi, obrakan itu dilakukan secara brutal. Dan tanpa disertai tembakan peringatan, sejumlah polisi yang melakukan obrakan itu langsung melakukan tembakan membabi buta. “Saat itulah, kakak saya tiba-tiba terkapar, setelah kepala bagian belakang tertembus peluru,” ungkapnya. Dan pasca kejadian itu, ungkap Dedi, Slamet mengalami kebutaan. Pasalnya, tembakan yang menembus kepala bagian belakang itu mengenai syaraf matanya. Rupanya, penderitaan itu belumlah cukup bagi Slamet. Selain mengalami kebutaan permanen pada kedua matanya, juga menderita kelumpuhan pada kedua kakinya, sela Ipul, panggilan Syaiful Arif, engsel tangan kanan Slamet patah karena dipukul polisi dalam penangkapan. “Bahkan, tiga jari kaki kiri putus karena diseret di aspal sejauh 6 kilometer dari TKP menuju Puskesmas Patalan,” jelasnya. Tentu saja, begitu melihat kondisi Slamet, keluarga, tak terima dengan perbuatan Polisi. Dan dipilihnya jalur hukum untuk menyelesaikan kasusnya. "Kami tak terima dan meminta pertanggungjawaban pada Polisi. Kakak saya tidak bersalah. Masak judi dadu harus ditembak seperti itu," ucap Dedi. Maka, didampingi LBH Surabaya, keluarga akhirnya melaporkan kasus ini ke P3D Polres Probolinggo, dengan harapan Polres menggelar sidang pelanggaran disiplin terhadap empat anggotanya yang menganiaya Slamet. “Saat itu, yang kita harapkan jika ditemukan unsur pelanggaran pidana, mereka harus dibawa ke pengadilan,” harapnya. Bagi keluarga, menanggung biaya pengobatan saja tidak cukup. Karena cacat Slamet, secara otomatis memengaruhi kondisi ekonomi keluarga. Ini yang seharusnya juga menjadi tanggung jawab polisi. “Namun apa yang terjadi, laporan itu Slamet itu seakan digantung. Dan kini setelah enam bulan, belum ada perkembangan kasusnya. Proses hukumnya seakan mandeg,” kata Ipul. Dan yang lebih menyakitkan, tiba-tiba terdengar selentingan kalau Polres Probolinggo sudah membuat kesimpulan, kasus yang menimpa Slamet hanyalah kejadian kecelakan. “Ini kan aneh, proses pemeriksaan terhadap saksi-saksi termasuk saksi korban saja belum dilakukan sudah ada kesimpulan,” protes Ipul. n http://www.surabayapagi.com/index.php?p=detilberita&id=50648 Lapor ke Polda Jatim, Ditolak Propam Keadilan itu ibarat butiran mutiara yang terpendam dalam lumpur hitam. Itulah yang ada dibenak Ahmad Slamet, korban penembakan anggota Sat Intelkam Polres Probolinggo. Namun pria yang kini mengalami kebutaan dan kelumpuhan itu tetap yakin kilau mutiara itu pasti ia dapat. “Orang itu harus memiliki keyakinan,” begitu tutur Dedi Santoso, menirukan ucapan saudaranya Ahmad Slamet (40), warga Dusun Pijitan, Desa Palang Besi, Kecamatan Lumbang, Kabupaten Probolinggo, korban penembakan polisi ini. Berbekal keyakinan itu pulalah, pasca kejadian keluarga korban langsung melaporkan penembakan yang dilakukan Briptu Indra Wahyu Mardianto, anggota Sat Intelkam Polres Probolinggo ke P3D, dengan harapan pelaku penembakan bersama ketiga temannya yang melakukan penggerebekan mendapatkan hukuman setimpal. Namun semua tinggal harapan, laporan yang dilayangkan ke P3D Polres Propolinggo pada 11 Desember 2009 itu hingga kini tidak kunjung ada proses hukumnya. Memang pihak korban pernah mendapatkan panggilan, baik secara lisan maupun tertulis sebanyak tiga kali. Yakni pada 30 Maret, 9 April, dan 13 April 2010. “Namun tanpa sebab yang jelas, tiba-tiba saja sidang ditunda,” tegas Dedi. Ketidakpastian proses hukum membuat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya yang melakukan pendampingan terhadap korban sempat melakukan klarifikasi. Dan betapa kagetnya keluarga korban, begitu mendapat kenyataan, tanpa didahului proses pemeriksaan terhadap saksi-saksi, tiba-tiba saja, pihak Polres setempat telah menyimpulkan kasus yang menyebabkan kebutaan dan kelumpuhan pada Slamet adalah kejadian kecelakaan. “Tentunya kami kaget mendapati kenyataan seperti itu. Pak Slamet ditembak tanpa ada peringatan terlebih dulu, lantas begitu menderita kelumpuh dan matanya buta, polisi menyatakan peristiwa itu hanya kecelakaan,” teriak Syaiful Arif geram. Tak terima dengan sikap dari Polres Probolinggo, Ipul, begitu Kepala Bidang Operasional LBH Surabaya ini disapa, berusaha mengajukan protes. Dan hasilnya, pada 7 Juni 2010, pengobatan terhadap korban dihentikan. Kekecewaanpun semakin lengkap begitu pada Rabu (9/6), korban dan keluarganya didampingi LBH Surabaya melaporkan kasus ini ke Propam Polda Jatim. Puncaknya, laporan itu tidak mendapat respons positif dari Polda Jatim dengan alasan laporan serupa sudah dilaporkan ke Polres Probolinggo. “Rasanya lengkap sudah perlakuan tidak adil yang kami terima. Setelah mereka memperlakukan kami secara tidak profesional, laporan kamipun tidak diterima,” ungkap Ipul. Kendati begitu, ungkap Ipul, pihaknya tidak mau patah arang dalam memperjuangkan keadilan. Karenanya, dalam waktu dekat akan melakukan klarifikasi ke Polres Probolinggo. Selain itu, juga akan melaporkan kasus ini ke Kompolnas dan Komnas HAM. “Khusus untuk Komnas HAM, kita harapkan mereka bisa turun ke Probolinggo untuk melakukan investigasi terhadap kasus ini. Semoga dengan upaya-upaya yang kita lakukan ini, nantinya akan membuat korban mendapatkan hak-haknya,” harapnya. rum http://www.surabayapagi.com/index.php?p=detilberita&id=50722