http://www.tempointeraktif.com/hg/buku/2010/06/20/brk,20100620-256800,id.html

Probosutedjo, Pembelaan di Usia Senja 
Minggu, 20 Juni 2010 | 06:34 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta -
Judul: Memoar Romantika Probosutedjo: Saya dan Mas Harto
Penulis: Alberthiene Endah
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Mei 2010
Tebal: 681 halaman

Banyak yang skeptis ketika mantan presiden Soeharto dinyatakan mengalami 
kerusakan otak permanen sehingga tak dapat menjalani persidangan. Perasaan 
meragukan itu kian kuat justru setelah membaca buku Memoar Romantika 
Probosutedjo: Saya dan Mas Harto ini.

Dari beberapa kisah, Probosutedjo mengungkapkan, kondisi kesehatan sang kakak 
memang menurun. Tapi ingatan dan emosinya tetap terkontrol dengan baik. 
Buktinya, Soeharto--yang biasa disapa "mas" oleh Probo--masih bisa membesuk 
sang adik, yang tengah menjalani perawatan di sebuah rumah sakit di Rawamangun 
pada 2007.
Keduanya lantas digambarkan terlibat pembicaraan hangat, dan mengabarkan 
kondisi kesehatan masing-masing. "Saya ceritakan semuanya, bagaimana saya 
membina para napi mengembangkan pertanian di sana. Dia tertawa senang," tutur 
Probo.

Kesan bahwa daya ingat dan pikir Soeharto masih baik bisa disimak pada bab 
penutup buku setebal 681 halaman ini. Di situ Probo bersaksi, sang kakak pada 
akhir masa hidupnya pernah bertanya soal demokrasi dan Pancasila. "Apa 
anak-anak sekarang masih mengikuti penataran P-4?" "Masih." Dan dia tersenyum 
dengan lega.

Penulisan memoar yang diluncurkan bertepatan dengan ulang tahun ke-80 
Probosutedjo, 1 Mei lalu, itu dibantu oleh Alberthiene Endah. Alberthiene, 
mantan wartawan majalah perempuan, dikenal sebagai penulis biografi para 
selebritas di Tanah Air, seperti Krisdayanti, Chrisye, Titik Puspa, dan 
pengusaha sinetron Raam Punjabi.
Buku yang dibagi menjadi 17 bab ini juga mengungkapkan betapa Probosutedjo 
sebagai adik seorang presiden justru kehilangan peluang dan kesempatan karena 
tak direstui Soeharto. Ia tiga kali gagal menjadi Ketua Umum Kamar Dagang dan 
Industri. Dia juga gagal menjadi Gubernur DKI Jakarta pada awal 1990-an. 
Padahal Menteri Dalam Negeri Rudini kala itu telah merestuinya. Sang penjegal 
utama kemudian diketahui tak lain adalah Soeharto. Bukan karena Soeharto takut 
dianggap nepotisme. Tapi figur militer seperti mantan Pangdam Jaya Surjadi 
Sudirja-lah yang dikehendaki.

Soeharto pun pernah kesal ketika Probosutedjo membentuk Himpunan Pengusaha 
Pribumi Indonesia. "Itu namanya menyiram api dengan bensin." Pada kesempatan 
lain, kata Probo, sang kakak pernah menghardiknya karena dinilai terlalu kritis 
terhadap para menteri. "Kalau kamu terus mengkritik para menteri, nanti hidupmu 
susah. Bisa keleleran kamu, enggak bisa usaha apa-apa!"

Pembelaan terhadap diri sendiri maupun terhadap Soeharto menjadi tak 
terhindarkan dalam memoar ini. Toh, sejarah memang tak pernah bisa utuh 
menceritakan masa lalu. Dan setiap orang punya hak dan dapat mengungkapkan 
kenyataan masa lalunya.

Tentang polemik serangan umum 1 Maret 1949, Probo mengaku mendapat penjelasan 
langsung dari Soeharto bahwa itu adalah murni inisiatifnya. Soehartolah yang 
menyampaikan rencana itu kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX saat pertama kali 
melihat anak sulungnya yang baru lahir, Tutut. Kalaupun kemudian peran itu 
diragukan, kata Probo, kakaknya tak pernah sakit hati. "Yang penting kita sudah 
merdeka," ujarnya mengutip Soeharto.

Pada bagian lain, Probosutedjo mengungkapkan kegeramannya terhadap sikap para 
elite dan publik pada umumnya, yang menilai bahwa sosok Soeharto setelah 
lengser seolah pribadi tanpa jasa, penuh hina semata. Ia, misalnya, 
mempertanyakan sikap Amien Rais, yang biasa mengkritik Soeharto secara vulgar. 
Padahal, menjelang Muktamar Muhammadiyah di Aceh, yang memilihnya sebagai ketua 
umum, Amien pernah mendatangi Soeharto untuk meminta bantuan dana.

"Mas Harto lalu memberinya sejumlah dana dan meminta saya pula untuk memberikan 
tambahan. Apakah Amien Rais tidak malu meminta uang kepada Fir'aun?" kata Probo.
Meski tak terlalu menohok, mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan pun disentil 
Probosutedjo dalam kaitan dengan proses hukum perkara korupsi hutan tanaman 
industri. Kala itu, Harini Wijoso, pengacara Probo di tingkat kasasi, 
menawarkan putusan bebas jika disediakan dana Rp 6 miliar. Uang sebanyak itu, 
Rp 5 miliar di antaranya akan diberikan Harini ke Bagir melalui Pono Waluyo, 
yang diklaim sebagai orang kepercayaannya.

Berkat bantuan sahabat dekatnya, ekonom Sri Edi Swasono, Probo melibatkan 
Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menjebak Harini dan Pono. Beberapa saat 
setelah uang diserahkan, petugas KPK pun menangkap keduanya di gedung MA. 
Namun, dalam pemeriksaan oleh KPK beberapa waktu kemudian, Bagir mengaku tak 
mengenal Harini maupun Pono, dan terhindar dari tuduhan.
"Sangat terasa, Bagir memendam kemarahan pada saya. Tim hakim yang mengadili 
diganti dengan formasi baru," kata Probo. Hasilnya, pada November 2005, ia 
tetap dihukum empat tahun dan harus membayar ganti rugi kepada negara sebesar 
Rp 100,931 miliar.

Pascaputusan, Probo masih menjadi obyek pemerasan. Untuk mendapatkan surat 
keterangan lunas pembayaran ganti rugi seratusan miliar itu, ia dipaksa merogoh 
kocek Rp 4 miliar. Namun, setelah menawar, ia cukup membayar Rp 2 miliar, dan 
surat pernyataan lunas pun didapatnya setahun kemudian. Probo hanya 
menyebutkan, si pemeras adalah sekretaris jenderal partainya menteri kehutanan 
saat itu.

Andai memoar ini terbit ketika para tokoh yang disebut masih memegang posisi 
kunci, apa yang diungkapkan Probo niscaya bakal mengguncang situasi politik 
nasional. Tapi, sekarang, boleh jadi isu yang menyangkut ketiga nama yang 
disebut hanya dianggap sebagai igauan di usia senja.

Sudrajat

Kirim email ke