Refleksi : Dengan adanya export drive ikan,  maka dengan mudah dapat dinilai 
bahwa  60%  penduduk pesisir yang tergolong miskin melarat akan bertambah dan 
terus bertambah jumlah mereka. Masalahnya untuk export ini ikan laut disedot 
dan bertambah makin sulit bagi penduduk pesisri untuk menangkap ikan, dan 
sekarang miskin besok pun miskin dan mereka yang belum miskin akan menjadi 
miskin. Kemiskinan mereka disediakan oleh negara. Mereka pesisir  bukan saja 
miskin tetapi juga akan berkekurangan gizi.  

Hasil export drive ikan tidak akan mereka nikmati, seperti halnya penduduk desa 
yang kelihangan hutan, melainkan para tengkulak perikanan serta kaum berkuasa 
rezim NKRI.

http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=59099:sistem-ekonomi-tengkulak-pada-masyarakat-nelayan&catid=78:umum&Itemid=131


      Sistem Ekonomi Tengkulak pada Masyarakat Nelayan        
      Oleh: Ardinanda Sinulingga 

      Jeratan kemiskinan struktural begitulah salah satu gambaran penyebab 
kemiskinan pada masyarakat nelayan untuk menyikapi pidato yang pernah 
dilontarkan Fadel Muhammad sebelum dilantik menjadi menteri perikanan dan 
kelautan bahwa jumlah penduduk miskin 

      Indonesia yang mencapai lebih dari 30 juta jiwa,60 persen diantaranya 
terkonsentrasi di wilayah pesisir.

       Cukup pelik memang mengurai satu persatu benang kusut persoalan 
kemiskinan pada masyarakat pesisir yang notabene adalah nelayan. Namun cukup 
dengan menganalisa salah satu ciri khas roda perekonomian masyarakat tersebut  
yang sering disebut dengan jeratan sistem ekonomi tengkulak mungkin benang 
merah persoalan akan terang benderang untuk disikapi.

      Untuk menyikapi secara lebih mendalam, ada hal yang harus terlebih dahulu 
untuk diperhatikan, yakni ada semacam ciri khas pada masyarakat nelayan bahwa 
adanya pola ketergantungan pada sesuatu akibat ciri khas sumber daya laut dan 
ketidakpastian hasil tangkapan. Ketergantungan disini dapat diuraikan menjadi 
ketergantungan pada perubahan musim tangkapan dan ketidakpastian hasil 
tangkapan yang tidak dapat diprediksi dalam artian adakalanya hasil tangkapan 
banyak namun adakalanya sangat sulit untuk mendapat hasil tangkapan. 

      Secara sosiologis pola mata pencaharian nelayan yang syarat dengan 
ketidakpastian ini membuat semacam relasi yang mudah berkembang yakni relasi 
patron-klien sebagai reaksi untuk menciptakan rasa aman sosial bagi masyarakat 
ini. Pola ini sedemikian berkembang dalam bentuk pinjaman uang berupa modal dan 
sejenisnya yang terikat yang salah satunya adalah pola bagi hasil dengan 
pemilik modal yang sering disebut dengan tengkulak.

      Beberapa kajian menunjukkan terutama kajian Kusnadi (2007) menyoal 
jaminan sosial nelayan. Akibat dari pola ini nelayan banyak diberatkan pada 
pembagian hasil dengan pemilik modal yang sering kali jauh dari makna keadilan 
bagi mereka terutama persoalan harga, pembagian hasil yang tidak setara dengan 
resiko kerja.

      Ketiadaan Modal

      Ketiadaan modal/pinjaman membuat nelayan terjerat dalam pola tengkulak 
ini. Terlepas dari akibat yang ditimbulkan dari sistem ini ada hal yang patut 
dikritisi bahwa perlunya intervensi pemerintah untuk menjembatani baik berupa 
undang-undang ataupun kebijakan yang tidak memberatkan dalam mekanisme bagi 
hasil. 

      Dalam teori ekonomi dikenal istilah kesempurnaan pasar (perfect market). 
Secara sederhana, pada kondisi ini semua pihak akan merasa senang. Sama-sama 
untung dan tidak ada yang membatasi dan menghambat dalam setiap tahapan 
interaksi. Dalam tataran praktis, sistem ini belum pernah terwujud, karena akan 
cukup sulit untuk memuaskan semua orang. Pasti akan selalu ada elemen yang 
ingin meraup keuntungam lebih, sesuai dengan prinsip ekonomi yaitu untuk meraih 
sebesar-besarnya keuntungan dengan mengefisienkan upaya. Dan ada pula yang 
dirugikan atau bahkan terlempar dari mekanisme pasar.

      Itulah alasannya mengapa pemerintah, sebagai pihak yang melindungi semua 
komponen pasar, harus menyediakan instrumen untuk menjaga agar tidak terjadi 
kegagalan pasar (market failure). Pemerintah perlu melakukan intervensi 
terhadap pasar, melalui berbagai instrumennya, agar roda perekonomian dapat 
tetap berjalan. Mungkin salah satunya yang sering kita dengar seperti kebijakan 
subsidi, kebijakan fiskal dan moneter, pengurangan pajak, deregulasi, 
anti-monopoli, dan sebagainya.

      Kembali pada sistem ekonomi tengkulak, maka ada semacam intervensi 
seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk mengatur hegemoni sistem ekonomi 
tengkulak, dimana pada kondisi tertentu mereka telah menciptakan sistem 
monopoli. Bagaimana tidak, mereka beroperasi mulai dari penyediaan finansial, 
pemilikan faktor-faktor produksi, dan menentukan jalur pemasaran. Artinya semua 
mata rantai mereka kuasai dan ini sangat berbahaya dalam relasi sosial.

      Di sinilah peran pemerintah yang seharusnya diperankan bukan dalam artian 
memusuhi tengkulak namun berupa peraturan-peraturan yang dibuat dan fungsi 
pengawasan yang maksimal. Sebetulnya sudah ada undang-undang yang dikeluarkan 
pemerintah orde lama menyoal perlindungan bagi rakyat kecil seperti UU No. 
02/1960 tentang Perdjandjian Bagi Hasil (Pertanian) dan UU No. 16/1964 tentang 
Bagi Hasil Perikanan. Pasal-pasal dalam undang-undang tersebut betul-betul 
mengatur secara rinci praktek bagi hasil usaha perikanan. Seperti Pasal 3 ayat 
1) UU 16/1964 menyebutkan bahwa: "Jika suatu usaha perikanan diselenggarakan 
atas dasar perjanjian bagi-hasil, maka dari hasil usaha itu kepada pihak 
nelayan penggarap dan penggarap tambak paling sedikit harus diberikan bagian 
sebagai berikut: Untuk perikanan laut: a. jika dipergunakan perahu layar: 
minimum 75 persen (tujuh puluh lima perseratus) dari hasil bersih; b. jika 
dipergunakan kapal motor: minimum 40 persen (empat puluh perseratus) dari hasil 
bersih.?

      Namun sepertinya kita lupa dan cenderung melupakan dalam tataran 
praktisnya bahwa sejak jaman dahulu sistem bagi hasil supaya menjauhkan dalam 
pola penghisapan satu manusia dengan manusia lainnya sebetulnya sudah diatur, 
tinggal bagimana pelaksanaannya. Disinilah dibutuhkan keberpihakan pemerintah 
pada masyarakat kecil agar tidak terjadi penghisapan antara yang kuat dengan 
yang lemah.  

      ***Penulis Mahasiswa universitas Padjadjaran Ketua cabang GMNI Kab. 
Sumedang 2009-2011


     

Kirim email ke