http://www.lampungpost.com/buras.php?id=2010071407433115
Rabu, 14 Juli 2010 BURAS Tarif Listrik Naik, Harga Cabai Loncat! "PULANG belanja ibu kok tidur?" tanya Putri. "Perut ibu seneb!" jawab ibu. "Harga cabai merah meloncat sampai lebih Rp40 ribu sekilo, barang-barang kebutuhan dapur lainnya juga, alasannya tarif listrik naik! Apa hubungan listrik dan cabai?" "Dampak kenaikan tarif dasar listrik pada cabai dan kebutuhan lainnya bukan kaitan langsung dalam proses produksi, tapi dampak psikologis!" tegas Putri. "Lonjakan harga yang terdorong dampak psikologis justru tak terukur, karena lebih disulut oleh kepanikan! Beda dengan kenaikan harga terkait dengan faktor-faktor dalam proses produksi, bisa dihitung seberapa pengaruh setiap faktor produksi tersebut!" "Jelas panik, pemerintah menaikkan tarif listrik menjelang bulan puasa, lalu Lebaran, lalu Natal dan Tahun Baru, yang tanpa didongkrak kenaikan tarif listrik pun kenaikan harga barang pada periode itu selalu otomatis terjadi!" tukas ibu. "Apa pemerintah tak memperhitungkan itu? Kalau tidak, lantas apa yang dibahas dalam rapat-rapat kabinet sampai menteri-menteri tertidur?" "Mungkin pemerintah cuma membahas faktor-faktor yang punya kaitan langsung, sedang listrik dan cabai memang tak ada kaitannya!" timpal Putri. "Pemerintah bekerja sistemik, dalam hal ini dengan data dan angka yang tersedia, misalnya pendapatan per kapita Indonesia yang sekarang sudah tercatat di atas 3.000 dolar AS per tahun! Mereka tak peduli di balik angka aduhai itu ketimpangan pendapatan juga makin tajam baik antarkelompok sosial maupun antara nasional dan daerah!" "Ketimpangan seperti apa?" tanya ibu. "Contohnya, kalau secara nasional pendapatan per kapita sudah sedemikian tinggi, untuk Lampung bisa dihitung sendiri dengan PDRB pada 2009 Rp36 triliun dibagi tujuh juta penduduk, hasilnya Rp5,2 juta per tahun, alias masih di bawah 600 dolar AS per kapita/tahun!" jelas Putri. "Itu belum lagi dilihat dengan ketimpangan pendapatan di Lampung yang skala ketimpangan antara kelompok teratas dan terbawah bisa jadi simetris dengan ketimpangan pada skala nasional!" "Kalau ketimpangan terkait dengan PDRB Lampung malah bisa lebih serius dari skala nasional, karena dalam PDRB Lampung terdapat banyak komponen hasil perkebunan besar, yang produknya diekspor tapi hasil ekspornya yang kembali ke Lampung cuma untuk dana operasional dan gaji buruh! Sedang 'dagingnya', tertahan di kantor pusatnya baik di Jakarta atau bahkan luar negeri!" tegas ibu. "Maka itu, ketika harga kebutuhan hidup meloncat mengejar kenaikan tarif listrik, perut warga lapisan bawah di Lampung paling seneb!" H. Bambang Eka Wijaya
<<bening.gif>>
<<buras.jpg>>