Refleksi: Bosnia, Kosovo, Kroatia bisa lepas dari Yugoslavia dan membentuk 
negara sendiri. Sama halnya dengan Ukrania, Uzbekistan, Moldovia etc bisa bebas 
berdiri sendiri dari Rusia. Cekoslovakia menjadi Ceko dan Slovakia. Jadi tentu 
saja Indoneisa bisa berdiri tanpa Papua. Bukankah dalam preamble keonstistusi 
NKRI dinyatakan : "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa". 
Jadi apakah rakyat Papua tidak boleh mempunyai hak tersebut?  

Rakyat Papua sekalipun tertinggal tidak berarti bahwa mereka tidak bisa 
membedakan antara buruk dan baik selama ini dan apa yang berguna untuk 
membangun hari depan mereka sendiri sesuai kehendak mereka. 

Anggapan bahawa Papua terkebelakang lalu perlu dibimbing, pendirian demikian 
adalah seperti pendirian kaum kolional yang sudah usang. Nilai pernyataan 
demikian tidak berbeda jauh dengan pernyataan Van Mook yang  mengatakan bahwa 
Indonesia belum bisa merdeka karena tidak punya kelas menengah. 

Apa komentar Anda?

http://www.antaranews.com/berita/1279235891/pemerintah-dalami-permintaan-referendum-rakyat-papua-demi-keutuhan-indonesia

Pemerintah Dalami Permintaan Referendum Rakyat Papua Demi Keutuhan Indonesia
Jumat, 16 Juli 2010 06:18 WIB | Peristiwa | Politik/Hankam | 

Sejumlah pengunjukrasa membawa spanduk dan poster ketika menggelar aksi 
peringatan hari kemerdekaan bangsa Papua di Jayapura, Papua, Selasa, (1/12). 
(ANTARA/HO/ss/Spt)

Jayapura (ANTARA News) - Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Papua dan 
Papua Barat diminta agar cepat, bijaksana dan dengan hati yang tulus untuk 
rakyat Papua, mengaji, mendalami dan menanggapi secara positif permintaan 
referendum yang disampaikan sebagian masyarakat Papua belum lama ini demi 
keutuhan tanah Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Hal itu disampaikan Rektor Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) "Fajar Timur" 
Abepura, Papua, Pastor Dr Neles Tebay kepada ANTARA di Jayapura, Jumat 
menanggapi fenomena politik di Papua dengan lahirnya permintaan sebagian warga 
masyarakat Papua untuk menggelar referendum, yang jika tidak ditanggapi secara 
bijaksana dan dengan hati yang tulus akan merugikan integritas Papua dalam 
pangkuan ibu pertiwi Indonesia,

Alumnus Universitas Urbanianum, Roma yang mendalami masalah kebudayaan 
suku-suku asli Melanesia dan misiologi Gereja ini mengakui bahwa, dalam dua 
kali demonstrasi damai, yakni pada 18 Juni dan 8 Juli lalu, ribuan rakyat Papua 
meminta referendum.

"Tuntutan referendum yang disuarakan oleh rakyat Papua ini perlu dilihat secara 
bijaksana dan dengan hati yang tulus untuk Papua demi Indonesia. Rakyat Papua 
menuntut referendum ini di zaman reformasi, bukan zaman regim Soeharto. Pada 
zaman reformasi ini nilai demokrasi sangat dijunjung dan dihormati di 
Indonesia," kata Putra Asli Papua dari suku Mee, wilayah Pegunungan Papua itu.

Dalam suatu negara Indonesia yang demokratis, adanya pendapat dan aspirasi yang 
berbeda, termasuk tuntutan referendum, sudah merupakan sesuatu yang wajar. 
Pemerintah dapat menjelaskan bahwa setiap Warga Negara Indonesia (WNI) 
diberikan ruang untuk menyampaikan pendapatnya.

Oleh sebab itu orang Papua dapat mengungkapkan tuntutan referendum karena 
mereka juga menikmati iklim demokrasi ini. Bahkan pemerintah dengan bangga 
dapat memperlihatkan kepada komunitas internasional bahwa demokrasi berlaku 
tidak hanya di Jakarta tetapi di seluruh Indonesia, termasuk Papua. Adanya 
tuntutan referendum ini merupakan bukti dan ungkapan dari adanya demokrasi 
tersebut.

"Tetapi Pemerintah keliru apabila tuntutan referendum ini dianggap remeh dan 
dibiarkan menghilang begitu saja atau dianggap angin lalu. Malah sebaliknya, 
Pemerintah justru ditantang untuk mendalami faktor-faktor penyebab dari 
munculnya tuntutan referendum ini demi semakin kuatnya tonggak-tonggak 
integritas NKRI dan demi kesejahteraan rakyat Papua dalam bingkai NKRI," 
tegasnya.

Neles Tebay mengingatkan agar semua komponen bangsa dan negara Indonesia 
belajar dari sejarah lepasnya Timor Timur dari pangkuan ibu pertiwi Indonesia 
agar pengalaman sangat pahit itu tidak terulang lagi di tanah Papua yang 
potensi sember daya alamnya jauh lebih kaya dari tanah Timor Lorosae.

"Menurut saya, tuntutan referendum ini muncul karena Undang-Undang Nomor 21 
Tahun 2001 tentang Otonom Khusus untuk Provinsi Papua tidak dilaksanakan secara 
penuh dan konsisten oleh pemerintah pusat dan daerah. Rakyat Papua menuntut 
referendum setelah mereka mengevaluasi Implemetansi UU Otsus melalui Musyawarah 
Besar (Mubes) yang dilaksanakan tanggal 9-10 Juni 2001 di Jayapura," kata Neles 
Tebay.

Menurut penilaian sementara dari sebagian besar rakyat Papua, Pemerintah tidak 
serius dalam mengimplementasikan Undang-Undang Otsus Papua. Ketidakseriusan ini 
diperlihatkan melalui berbagai kebijakan yang bertentangan dengan UU Otsus 
Papua.

Ada kesan cukup kuat, bahwa Pemerintah memaksakan pemekaran provinsi melalui 
Inpres No1 Tahun 2003. Pemerintah menolak usulan orang Papua tentang simbol 
kultural melalui PP No 77 Tahun 2007 tentang larangan pengibaran bendera 
kultural.

Begitu pula,Pemerintah lebih mendengarkan kelompok Barisan Merah Putih (BMP) 
dari pada DPR Papua dan MRP terkait 11 Kursi tambahan pada DPR Papua. 
Pemerintah menolak aspirasi orang Papua sebagaimana yang disampaikan melalui 
lembaga representatif kulturalnya melalui SK.14/MRP/2009 tentang usulan orang 
asli Papua sebagai bupati dan wakil bupati di Tanah Papua. Pemerintah juga 
memberlakukan dualisme hukum antara UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua dan 
UU No 32 Tahun 2004.

Orang Papua menilai bahwa Pemerintah juga tidak menerbitkan sejumlah Peraturan 
Pemerintah (PP) yang dibutuhkan untuk pelaksanaan UU Otsus Papua. Selain itu 
tidak ada realisasi atas pembagian hasil Sumber Daya Alam (SDA) Papua antara 
Papua dan Jakarta sebagaimana yang diamanatkan Pasal 34 UU Otsus Papua.

Pemerintah Provinsi tidak segera menetapkan Peraturan daerah provinsi (Perdasi) 
dan Peraturan daerah khusus (Perdasus). Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) 
belum dibentuk. Tidak ada kebijakan khusus untuk keberpihakan, perlindungan, 
dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua (Pasal 4 ayat 2). Tambah lagi 
Pemerintah tidak pernah melakukan evaluasi atas implementasi UU Otsus selama 
sembilan tahun.

Seluruh akibat dari ketidakseriusan pemerintah ini ditanggung oleh orang Papua. 
Sekalipun triliunan rupiah sudah dikucurkan, mayoritas orang Papua masih hidup 
di bawah garis kemiskinan. Sembilan tahun implementasi UU Otsus belum 
meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua secara signifikan.

Kenyataannya, karena banjirnya pendatang dari provisi-provinsi lain di 
Indonesia, orang Papua yang adalah penduduk asli setempat semakin menjadi 
minoritas. Orang Papua bahkan mulai merasa tersingkir di tanah warisan 
leluhurnya. Mereka tidak merasakan perlindungan, keberpihakan, dan pemberdayaan 
dari pemerintah dalam Negara Indonesia.

Pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia yang dilakukan sejak 1963 hingga kini belum 
diinvesitigasi padahal,UU Otsus Papua menghendaki hal itu. Para korban 
pelanggaran HAM dibiarkan. Orang Papua belum merasakan keadilan. Oleh sebab 
itu, bagi orang Papua, pemerintah gagal melaksanakan UU Otsus Papua. Karena 
tidak merasakan manfaatnya maka rakyat Papua mengembalikan UU Otsus secara 
simbolik kepada pemiliknya yakni pemerintah melalui DPR Papua dan menuntut 
referendum.

"Maka tuntutan referendum ini mengisyaratkan bahwa masalah-masalah fundamental 
yang dihadapi oleh rakyat Papua belum dijawab dan hak-hak dasar mereka belum 
dipenuhi karena kegagalan pemerintah dalam mengimplementasi Undang-Undang 
Otonomi Khusus Papua," katanya. 

Mengahadapi persoalan bangsa Indonesia di Papua yang sangat krusial ini, Pastor 
Neles menegaskan, perlu disadari bahwa tuntutan referendum itu tidak muncul 
dari suatu kevakuman karena pasti ada penyebabnya. Adanya tuntutan referendum 
dan penyebabnya ini dapat diibaratkan seperti asap dan api. Asap dapat muncul 
karena ada api yang menghasilkannya. Demikian pula, tuntutan referendum muncul 
karena ada sumber atau penyebabnya.

Untuk menghilangkan tuntutan referendum dari Tanah Papua, maka Faktor-faktor 
penyebab yang memunculkan tuntutan ini perlu ditemukan terlebih dahulu. Maka 
pemerintah bersama rakyat Papua mesti mencapai kesepakatan terhadap 
masalah-masalah yang menjadi penyebab munculnya tuntutan referendum di Papua 
dan kemudian secara bersama mencari solusinya. 

"Kesepakatan bersama ini dapat dicapai hanya melalui dialog antara rakyat Papua 
dan pemerintah. Maka kedua belah pihak mesti membuka diri untuk melakukan 
dialog," katanya . 

Dialog, lanjut Pastor Neles, tidak dimengerti sebagai suatu ajang perdebatan. 
Rakyat Papua tidak ingin beradu argumentasi dengan pemerintah untuk menentukan 
siapa yang menang dan kalah dalam dialog.

Dialog juga tidak dimaksudkan sebagai tempat pengadilan. Maka rakyat Papua dan 
pemerintah tidak saling menuduh, menuding, dan mempersalahkan satu sama lain 
dalam dialog.

Rakyat Papua dan pemerintah tidak perlu memandang satu sama lain sebagai musuh 
tetapi sebagai partner dialog yang mencari jalan keluar atas konflik Papua. 
Kedua belah pihak berperan sebagai problem solver yang secara bersama 
mengidentifikasi masalah dan menetapkan solusinya.

Pihaknya melihat bahwa baik Pemerintah maupun rakyat Papua mempunyai kehendak 
yang kuat untuk melibatkan diri dalam dialog guna mencapai kesepakatan bersama 
atas penyebab adanya tuntutan referendum dan solusinya.

"Namun sementara ini kedua belah pihak belum mempunyai pemahaman yang sama 
tentang konsep dan format dialog. Maka dibutuhan sejumlah diskusi awal untuk 
penyamaan persepsi. Apabila penyamaan persepsi ini sudah dicapai, maka 
pemerintah Indonesia dan rakyat Papua sudah bisa melangkah maju untuk melakukan 
dialog," kata mantan Vikaris Jenderal (Vikjen) Keuskupan Jayapura itu. 
(MBK/K004)
COPYRIGHT © 2010

<<20091202122857-posterpapua-011209.jpg>>

Kirim email ke