http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=21123

2010-07-17
Membentuk Manusia yang Bermutu


Oleh : Kasdin Sihotang



"Peserta didik pantas dibekali dengan modal hidup yang tidak pernah mudah 
sirna. Modal hidup itu adalah kualitas humanitas. Pendidikan selayaknya memberi 
perhatian pada dimensi personal/individual, dimensi sosial dan dimensi 
spiritual.


Pada Senin, 12 Juli 2010 tahun ajaran baru di tingkat dasar, menengah hingga 
tingkat atas mulai berlangsung. Raut muka anak-anak sekolah tampak beraneka 
ragam. Ada yang gembira, karena mereka mendapatkan sekolah dan teman serta guru 
yang baru. Tetapi tidak sedikit yang berparas sedih, karena mereka tidak bisa 
mendapatkan sekolah seperti mereka idam-idamkan. Namun, apapun kualitas raut 
muka mereka, tahun ajaran baru merupakan kesempatan yang penting dan berharga. 
Ini adalah momen di mana mereka mendapatkan bekal demi masa depan yang baik. 


Atas alasan itulah tidak salah John Dewey, sebagaimana ditunjukkan dalam 
Democracy and Education (1916), menempatkan pendidikan sebagai wadah 
pembentukan manusia bermutu. Pertanyaan pada Dewey, dalam hal apakah mutu itu 
terungkap? Jawaban pertanyaan ini terdapat pada aneka dimensi kemanusiaan 
peserta didik. Itu berarti, pembentukan aneka dimensi humanitas menjadi penentu 
kualitas anak dalam proses belajar mengajar. 


Dimensi itu meliputi tiga hal berikut. Pertama, dimensi personal. Dewey 
mengamini bahwa anak-anak yang memasuki sekolah adalah mereka yang berada dalam 
pertumbuhan. Karena itu, pembentukan diri peserta didik menjadi prioritas 
pertama dalam pembelajaran. 
Dengan dasar keyakinan ini, sekolah menurut Dewey, pertama-tama tidak menjadi 
tempat untuk memproduksi pengetahuan sebanyak mungkin dan menuangkannya pada 
peserta didik, melainkan wadah pembentukan pribadi mereka. Dengan penekanan ini 
Dewey ingin menegaskan bahwa tugas guru di sekolah tidak hanya memindahkan 
pengetahuan ( transfer of knowledge) kepada peserta didik, melainkan juga 
membentuk jati diri mereka ( to be human). 

Kesadaran Moral
Salah satu wujud dari mutu kepribadian anak adalah kesadaran moral. Mengamini 
apa yang pernah ditegaskan oleh Plato, Dewey bahkan melihat episteme pendidikan 
yang paling mendasar ada di sini. Karena itu ia juga menyatakan, peserta didik 
tidak hanya dibekali dengan pengetahuan tentang apa itu dunia dan bagaimana 
dunia dibentuk, tetapi juga pengetahuan tentang apa itu baik dan buruk bagi 
dirinya. 


Dengan kata lain, kepada anak-anak didik para pendidik perlu menanamkan 
nilai-nilai etis seperti kejujuran, tanggung jawab, kebaikan dan kebenaran. 
Singkatnya, dalam pendidikan pengetahuan tentang yang baik dan yang buruk, yang 
benar dan yang salah, yang pantas dan tidak pantas dilakukan menjadi arke 
(baca: dasar) dalam pembentukan personalitas anak.


Kedua, dimensi sosial. Dimensi ini juga tidak bisa dilepaskan dalam proses 
belajar mengajar. Moralitas tidak hanya berdimensi personal, melainkan juga 
berdimensi sosial. Mengapa? Karena moralitas sikap terhadap orang lain. 
Konkritnya, moralitas terkait dengan kepedulian pada orang lain. Dan kepedulian 
sosial hanya muncul, ketika anak didik mengetahui dan memahami siapa orang lain 
bagi dirinya dan siapa dirinya bagi orang lain dengan baik. 


Dengan demikian, pemahaman yang memadai tentang pentingnya eksistensi orang 
lain bagi perkembangan dirinya dan peranan dirinya bagi perkembangan diri orang 
lain menjadi bagian integral dari proses belajar mengajar. Dengan pengetahuan 
seperti ini anak didik, seperti ditegaskan oleh John Dewey, akan bertumbuh 
secara sehat. Kesadaran sosial yang tinggi ini akan menjadikan anak 
berkepribadian empatik dan berjiwa sosial yang tinggi. 


Lebih jauh dari itu, pengembangan dimensi sosial yang memadai ini akan 
menumbuhkan kesadaran akan nilai-nilai keanekaragaman serta pengakuan akan 
adanya keunikan setiap pribadi di kalangan peserta didik. Muaranya adalah 
munculnya penghargaan terhadap pluralitas dalam tingkat yang lebih luas. Dengan 
alasan ini, sekolah bukan lagi domain penyeragaman bagi peserta didik, 
melainkan domain pengakuan bagi keanekaragaman. 


Peserta didik pantas disadarkan untuk menjunjung tinggi sikap plural tersebut 
dalam masyarakat. Dengan bekal ini anak-anak tidak lagi canggung bergaul dengan 
orang-orang yang berlatarbelakang berbeda baik dalam budaya, suku, dan agama. 
Mereka justru merasa nyaman di dalamnya.Memang ini merupakan tantangan yang 
sangat berat bagi para pendidik, karena tren yang muncul di sekolah adalah 
homogenisasi (baca: penyeragaman), bahkan menganggap upaya ini sebagai sebuah 
kelaziman dan kepatutan, bahkan ukuran keberhasilan sebuah pendidikan.


Ketiga, dimensi spiritual. Selain dimensi personal (baca: kepribadian anak) dan 
dimensi sosial, dimensi spiritual juga menjadi bagian integral dalam 
pendidikan. Di sini spiritualitas perlu dimengerti dalam arti luas. Memang 
substansi spiritualitas yang utama terkait dengan keyakinan serta kesadaran 
anak didik akan keterbatasan dirinya. 


Keterbatasan ini justru membuat dirinya berserah kepada kekuatan yang 
mengatasinya. Dengan kata lain, anak diyakinkan bahwa ia bukanlah superpower, 
melainkan makhluk yang tak berdaya. Karena kondisi inferior ini mereka perlu 
mendekatkan diri pada Sang Penciptanya dan berserah pada-Nya dalam segala 
kegiatannya. Inilah makna spiritualitas pada umumnya.
Namun, peserta didik pantas dibekali dengan pemahaman spiritualitas yang lebih 
luas, yakni penghargaan akan nilai kehidupan itu sendiri. Sekolah bagi anak 
bukan tempat mendapatkan angka-angka tinggi, melainkan tempat untuk membekali 
diri demi hidup. Karena itu tidak salah adagium orang-orang Romawi kuno yang 
berbunyi non scholae sed vitae discimus didengungkan pada sanubari peserta 
didik. 


Artinya, belajar bagi mereka bukan hanya mengejar indeks prestasi yang tinggi, 
melainkan juga membekali diri dengan nilai-nilai kehidupan. Jadi, yang perlu 
mendapat perhatian bukan hanya hasil, melainkan juga proses untuk sampai ke 
situ, termasuk kualitas proses pencapaian hasil itu. Spiritualitas seperti 
inilah menurut hemat penulis pantas ditanamkan pada anak.
Nilai spiritual lain yang perlu diberi tempat bagi anak adalah kesadaran bahwa 
yang ada bersamanya tidak hanya sesama manusia, melainkan juga ciptaan yang 
lain (baca: infrahuman). 


Makhluk infrahuman ini juga mempunyai peran penting dalam mendukung kehidupan 
manusia. Dengan demikian, meminjam terminologi Daniel Goleman, selain social 
intelligence, ecological intelligence pantas dibangkitkan dalam diri peserta 
didik. Dengan kesadaran ini anak memiliki rasa tanggung jawab terhadap 
lingkungannya. Rasa tanggung jawab inilah menjadi bentuk partisipasi mereka 
untuk memelihara kehidupan alam. 


Jadi, sekolah adalah wadah humanisasi peserta didik secara utuh. Karena itu, 
selain ilmu pengetahuan, peserta didik pantas dibekali dengan modal hidup yang 
tidak pernah mudah sirna. Modal hidup itu adalah kualitas humanitas. Karena itu 
pendidikan selayaknya memberi perhatian pada dimensi personal/individual, 
dimensi sosial dan dimensi spiritual. Tiga dimensi mendasar ini merupakan akar 
untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang bermutu. Semoga 

Penulis adalah dosen Filsafat di FE dan FPsi,dosen Corporate Governance & Etika 
Bisnis di Program Pascasarjana serta Staf Inti PPE Unika Atma Jaya, Jakarta

Kirim email ke