MINYAK
AUSTRALIA BOCOR merugikan Indonesia, SBY belum ada reaksi?? Masih
terngiang Obama berani meminta pertanggung jawaban dan ganti rugi ke BP
dalam kasus kebocoran minyak diteluk Meksiko, bahkan rela menunda
kunjungan keberbagai negara karena kasus ini. Untuk kasus yang sama,
beranikah pemerintahan SBY menuntut perusahaan Australia ini?
Pencemaran  Laut Timor Versus Teluk MeksikoKupang (ANTARA News) - Isu mengenai 
pencemaran Teluk Meksiko menyusul
meledaknya sebuah anjungan minyak milik Trans Ocean Ltd, di bawah
kontrak British Petroleum pada Kamis 22 April lalu menggemparkan dunia,
karena tidak kurang dari Presiden Barack Obama, menyatakan
kepeduliannya.

 Ledakan anjungan minyak sekitar 80 kilometer
dari Pantai Louisiana itu, saban hari memompa minyak mentah 8.000 barel
atau setara dengan 336.000 galon minyak ke perairan di sekitarnya.
Kebakaran anjungan minyak itu, menyebabkan sejumlah pekerja hilang dan
luka-luka setelah berupaya melompat dari ketinggian 100 meter ke laut
untuk menyelamatkan diri.


Peristiwa itu menarik perhatian dunia dan media barat memberikan porsi
khusus untuk liputan tragedi, sekaligus menggambarkan bahwa kebakaran
anjungan minyak disertai pencemaran Teluk Meksiko, adalah sesuatu yang
sangat serius bagi lingkungan dan karena itu, patut mendapat perhatian.


Koran-koran besar di seluruh dunia dan jaringan televisi internasional
melaporkan insiden tersebut. Di Indonesia, tidak kurang dari Harian
Kompas memuat berita dan foto kebakaran dan pencemaran tersebut pada
halaman internasional. 


Apakah perhatian masyarakat dunia terhadap meledaknya kilang di Teluk
Meksiko itu, sebanding dengan peristiwa serupa ketika kilang minyak
Montara milik Australia yang bocor di Celah Timor pada Agustus 2009 dan
kemudian mencemari Laut Timor hingga ke perairan selatan Indonesia,
terutama di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) ?


Ketua Yayasan Peduli Timor Barat Ferdy Tanoni menilai reaksi pemerintah
Indonesia sangat lamban, padahal menyangkut kehidupan ribuan petani dan
nelayan di pantai selatan Kabupaten Belu, Timor Tengah Utara, Timor
Tengah Selatan, Rote Ndao, Sabu Raijua dan Pulau Sumba.


TNI Angkatan Laut akhirnya melakukan pemantauan di wilayah selatan
Pulau Rote, namun tidak menggunakan teknologi yang bisa mengukur apakah
benar, Laut Timor tercemar hingga ke wilayah perairan Indonesia atau
tidak. Otorita Keselamatan Maritim Australia (AMSA/Australian Maritime
Safety Authority) mengakui adanya pencemaran itu.


 AMSA kemudian melakukan tindakan penyelamatan dengan menyemprotkan sejenis 
cairan yang disebut dispersant
untuk menenggelamkan gumpalan minyak mentah di permukaan ke dasar laut.
Tindakan itu, mendapat protes dari sejumlah pejabat di NTT, karena
menenggelamkan gumpalan minyak ke dasar laut, tetap saja mengancam
biota laut dan keseimbangan ekosistem.

 Kekhawatiran itu, datang
dari Ketua DPRD NTT Ibrahim Agustinus Medah dan Bupati Kabupaten Rote
Ndao Lens Haning. Alasan kedua pejabat itu senada yakni gumpalan minyak
mentah yang ditenggelamkan ke dasar laut, terseret arus di dasar
samudra ke wilayah perarian Indonesia.


Benar saja kekhawatiran itu, karena terbukti para nelayan di Kabupaten
Rote Ndao dan Kabupaten Sabu Raijua, menemukan cairan pekat menempel
pada rumput laut yang mereka budidayakan, bahkan menjadi sandaran untuk
menghidupi keluarga. 


Sampai kini, pantai-pantai di Rote Ndao dan Sabu Raijua, belum steril
dari minyak mentah, sehingga rumput laut yang dibudidayakan tak tumbuh
normal dan berproduksi maksimal.


 Tindakan cepat


Dari peristiwa tersebut, diketahui reaksi pihak terkait di Amerika
Serikat begitu cepat. Hampir semua kekuatan dikerahkan untuk menangkal
sekecil mungkin dampak yang ditimbulkan dari tumpahan minyak yang
mencapai 336.000 galon minyak per hari di Teluk Meksiko, padahal di
Laut Timor, tumpahan minyak jauh lebih besar dari Kilang Montara yakni
500.000 liter per hari.


Dengan volume minyak sebanyak itu, tentu menimbulkan efek pencemaran
yang dahsyat di wilayah perairan antara Indonesia dan Australia,
sampai-sampai terasa di Kabupaten Rote Ndao dan Kabupaten Sabu Raijua,
apalagi di pantai selatan Pulau Timor sebagaimana dirasakan nelayan
Kolbano di Timor Tengah Selatan.


Pihak Indonesia yang dirugikan oleh aktivitas pengeboran minyak lepas
pantai di Celah Timor itu, kemudian menyampaikan protes. Ibarat makan
nangka, Australia yang menikmati enaknya buah nangka, namun Indonesia
yang terkena getah.


Bupati Kabupaten Rote Ndao dalam sebuah diskusi di Ba`a mengatakan,
pencemaran Laut Timor adalah masalah bangsa Indonesia, bukan masalah
rakyat Rote Ndao, sehingga menyerahkannya kepada pemerintah pusat. Dari
pembicaraan, Bupati Haning menghendaki semacam penggantian biaya
kompensasi atas kerugian yang diderita oleh para nelayan dan petani
rumput laut.


Hal yang sama, tentu berlaku juga bagi para nelayan dan petani rumput
laut di Kabupaten Sabu Raijua dan pantai selatan Pulau Timor, meliputi
Belu, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan dan Kupang. Adakah,
kerugian itu mendapat perhatian yang layak dari pemerintah, sebagaimana
Presiden Barrack Obama menaruh kepedulian pada insiden di Teluk
Meksiko?.


Hingga kini, tidak jelas, apakah pembicaraan antara pemerintah
Indonesia dengan pemerintah pusat menyepakati adanya biaya kompensasi
untuk para nelayan dan petani rumput laut di NTT atau tidak. Mestinya,
isu mengenai biaya kompensasi menjadi bahan diplomasi yang
dipercakapkan jauh sebelum ada insiden, karena aktifitas pengeboran
minyak selalu berpotensi mencemari laut.


Celah Timor di mana terdapat sumur minyak Montara milik Australia
memang berada di perbatasan perairan antara Timor Leste dengan
Australia, namun jika terjadi pencemaran bukan hanya masyarakat dua
negara itu yang rugi, tetapi juga Indonesia. 


Buktinya, kerugian terbesar setelah sumur Montara bocor dirasakan oleh
masyarakat di selatan Indonesia, bukan Australia, misalnya di Darwin
dan Perth.


Sampai dengan pekan lalu, Gubernur Frans Lebu Raya masih melontarkan
kegelisahannya soal nasib para nelayan dan petani rumput laut di Rote
Ndao dan Sabu Raijua, yang terkena imbas pencemaran Laut Timor, akibat
kilang Montara milik Australia bocor pada 21 Agustus 2009 lalu.


Para pejabat daerah, apalagi masyarakat tentu tidak memiliki akses
untuk menyampaikan tuntutan kepada Australia dan karena itu berharap
bahkan mempercayakan pemerintah pusat untuk melakukan kontak, apakah
lewat jalur diplomasi atau cara lain, dengan Australia.


Sebenarnya, banyak pihak menaruh harapan ketika Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono melakukan kunjungan ke Canbera belum lama ini. Ikut dalam
kunjungan kenegaraan itu Gubernur Frans Lebu Raya, sehingga diharapkan
ada percakapan menyangkut pencemaran Laut Timor dengan otoritas
Australia.


Akankah, harapan masyarakat NTT untuk mendapat ganti rugi atau biaya
kompensasi ini bertepuk sebelah tangan atau isu pencemaran laut kalah
oleh isu imigran ilegal yang menjadikan wilayah NTT sebagai transit
sebelum memasuki teritori Auatralia ?. 


Tampaknya, isu yang kedua mengalahkan pencemaran beserta dampaknya dan
boleh jadi, para nelayan yang mulai kesulitan mendapatkan hasil ikan
memadai akibat pencemaran dan petani rumput laut yang tidak berdaya
menghadapi menurunnya produksi dan kualitas rumput laut, harus berkutat
dengan getah nangka yang tidak pernah mereka nikmati buahnya.
(K006/B010)
http://www.antaranews.com/berita/1273205116/pencemaran-laut-timor-versus-teluk-meksiko
Zat Timah Kategori Sangat Berbahaya Cemari Laut TimorSelasa, 9 Februari 2010 | 
15:24 WIB

KUPANG, KOMPAS.com - Meledaknya sumur minyak
Montara di Blok Atlas Barat di Laut Timor pada 21 Agustus 2009 lalu
juga menumpahkan gas dan kondesat berbahaya bagi manusia seperti timah.

“Timah adalah sejenis zat yang tidak bisa terurai. Bahan berbahaya
itu masuk melalui ikan, siput atau kerang laut yang jika dikonsumsi
manusia secara otomatis akan langsung tertular pada manusia,” kata ahli
biologi kelautan dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr Felix
Rebung di Kupang, Selasa (9/2/2010).

Dosen Fakultas Pertanian Undana Kupang mengemukakan hal itu setelah
mempelajari hasil uji Laboratorium Afiliasi Fakultas MIPA dan Sains
Universitas Indonesia terhadap pencemaran minyak mentah (crude oil) di
Laut Timor yang diumumkan pada 4 Januari 2010.

Direktur Laboratorium Afiliasi Fakultas MIPA dan Sains Universitas
Indonesia dalam laporannya menyebutkan, kadar minyak yang mencemari
Laut Timor mencapai 0,28 mg/liter, sedang kadar minyak yang diambil
dengan menggunakan sampel dari rumput laut mencapai 3,64 mg/liter.

Sementara zat timah yang diambil dengan menggunakan sampel air laut
mencapai 35,26 mg/liter, sedang zat timah yang diambil dengan
menggunakan sampel rumput laut mencapai 29,26 mg/liter.

Felix Rebung mengatakan, berdasarkan Environmental Protection Agency
(EPA), sebuah agen peneliti dari AS, zat timah yang dipandang normal
akibat terjadinya pencemaran minyak hanya 3,4 ppb, jika sudah mencapai
35,26 mg/liter maka hal itu sudah termasuk dalam kategori sangat
berbahaya.

Ia menjelaskan, efek dari zat timah tersebut akan menyebabkan
terjadinya keracunan akut pada sistem syaraf pusat dalam jangka
panjang, mengikat gugus aktif dalam sel darah merah sehingga
pembentukan sel darah merah menjadi terhambat.


Selain itu, memperpendek umur sel darah merah serta menurunkan
jumlah sel darah merah dalam tubuh manusia, dan menyebabkan terjadinya
perubahan dalam otot jantung pada anak-anak.

Sementara, efek negatif yang ditimbulkan akibat keracunan Cadmiun
(Cd) adalah mempengaruhi sistem yang bekerja pada ginjal, mempengaruhi
darah dan jantung, tulang-tulang menjadi cepat rapuh dan mematikan
sel-sel sperma.

Salah seorang konsultan hukum dari Amerika Serikat David John ketika
bertemu dengan Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) Ferdi Tanoni di
Kupang, Selasa, menyatakan kesediaannya untuk membantu tim bantuan
hukum dari YPTB untuk menggugat operator ladang minyak terkait dengan
pencemaran tersebut.

“Kami sudah menangani sejumlah kasus pencemaran di AS seperti
pengeboran minyak di negara bagian Luciana dan meminta operator ladang
minyak tersebut untuk memberikan ganti rugi kepada rakyat yang
dirugikan, selain membersihkan wilayah perairan dari kotoran minyak
serta melakukan studi kesehatan jangka panjang terhadap lingkungan
masyarakat,” katanya.

John mengatakan kasus pencemaran minyak di Laut Timor merupakan yang
terbesar di dunia setelah kasus Exxon Valdez di Laut Alaska pada 1989
yang memuntahkan sekitar 42 juta liter minyak.

Akibat meledaknya ladang minyak Montara tersebut, setiap hari
dimuntahkan sekitar 500.000 liter minyak ke Laut Timor yang membutuhkan
waktu berpuluh tahun untuk membersihkannya.


Australia dan Indonesia Tak Bicarakan Kebocoran Minyak
Rabu, 4 November 2009 | 22:00 WIB

BRISBANE, KOMPAS.com - Menteri Luar Negeri
Australia Stephen Smith mengatakan, masalah kebocoran sumur minyak
lepas pantai “Atlas Barat” di perairan Laut Timor milik Perusahaan
PTTEP Australasia Ltd (PTTEP AA) tidak disinggung dalam pembicaraannya
dengan Menlu RI Marty Natalegawa akhir pekan lalu.

Dalam konferensi persnya Rabu (4/11), ia mengatakan, dalam
pembicaraannya akhir pekan lalu dengan Menlu Marty, dirinya
membicarakan sejumlah isu secara umum namun masalah dampak kebocoran
sumur minyak perusahaan PTTEP AA itu sama sekali tidak ada. “Saya tidak
mengharapkan itu jadi masalah,” katanya.

Menurut Menlu Smith, masalah kebocoran sumur minyak di Laut Timor
itu merupakan wilayah tugas Menteri Sumberdaya dan Energi yang juga
Menteri Pariwisata Martin Ferguson. Namun, ia sangat menyambut padamnya
kobaran api yang selama beberapa hari membakar Rig “Atlas Barat” itu.

Ia mengatakan, Menteri Ferguson menginginkan adanya komisi
penyelidikan yang akan mengkaji sebab musabab, ketepatan waktu, dan
kecepatan bertindak, serta mengukur kemampuan Australia menghindari
terjadinya kembali kejadian yang sama di masa mendatang.

Sehari sebelumnya, Konsul RI di Darwin Harbangan Napitupulu
mengungkapkan keprihatinannya akan dampak kebocoran sumur minyak lepas
pantai milik PTTEP AA terhadap lingkungan perairan dan kehidupan
nelayan Indonesia.

Untuk mengetahui kondisi terkini, ia mengatakan, pihaknya  terus
berkoordinasi dengan Pemerintah Negara Bagian Northern Territory (NT)
dan instansi terkait Australia yang bertanggung jawab terhadap
penanganan kebocoran minyak yang telah terjadi sejak 21 Agustus itu.

Napitupulu mengatakan, pada sekitar pertengahan Oktober, pihaknya
telah bertemu pejabat pemerintah NT untuk menanyakan perihal kebocoran
sumur minyak perusahaan eksplorasi dan produksi minyak Thailand itu.
“Dalam pertemuan itu, pemerintah NT menegaskan posisi pihaknya yang
hanya sebagai pemberi lisensi penambangan sedangan masalah teknis,
lingkungan dan lain sebagainya ditangani otoritas federal,” katanya.

Setelah beberapa hari terbakar, kobaran api di Rig “Atlas Barat”
akhirnya Selasa (3/11) bisa dipadamkan. PTTEP AA juga berhasil menutup
sumur minyaknya yang bocor sejak 21 Agustus lalu itu dengan memasukkan
3.400 barrel lumpur ke dasar sumur. Selama terjadinya kebocoran,
sebanyak 300 hingga 400 barel minyak keluar dari sumur itu setiap
harinya.


Tidak Ada Solusi bagi Laut Timor yang Tercemar Minyak
Rabu, 28 Oktober 2009 | 13:32 WIB

KUPANG, KOMPAS.com — Partai Hijau di Senat
Australia mendukung sepenuhnya gagasan pembentukan tim pencari fakta
terhadap dampak pencemaran minyak mentah di Laut Timor akibat
meledaknya ladang gas Montara pada 21 Agustus 2009 lalu.
“Ini sangat luar biasa karena Australia sendiri sangat prihatin
dengan kondisi yang terjadi di Laut Timor saat ini,” kata pemerhati
masalah Laut Timor yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB),
Ferdi Tanoni, kepada pers di Kupang, Rabu (28/10).

Ia mengemukakan ini setelah menerima surat elektronik dari Senator
Hijau Australia Chris Twomey yang mengatakan bahwa Partai Hijau di
Senat Australia sangat tertarik dengan gagasan pembentukan tim pencari
fakta (TPF) tersebut.

Twomey dalam surat elektroniknya itu menegaskan, “Jika Pemerintah
Federal Australia tidak segera mengambil langkah-langkah pencegahan,
maka Partai Hijau bersama YPTB akan turun langsung ke Laut Timor untuk
melihat kondisi yang sesungguhnya terjadi di sana”.
“Kami merasa frustrasi dengan tanggapan Pemerintah Federal Australia
tentang krisis pencemaran minyak mentah di Laut Timor ketika mereka
mempertanyakan Otorita Keselamatan Maritim Australia atau Australia
Maritime Safety Authority (AMSA) dan Menteri Lingkungan Hidup Australia
pada 14 September 2009 di Senat Australia setelah melihat gambar dari
satelit NASA,” kata Twoney.

Tanoni yang juga mantan agen Imigrasi Kedutaan Besar Australia itu
menambahkan, pihaknya juga telah menyurati pimpinan Partai Oposisi
Australia (Partai Liberal) di Parlemen Australia untuk memberikan
dukungannya terhadap upaya pembentukan sebuah penyelidikan penuh di
Senat Australia terhadap dampak pencemaran di Laut Timor saat ini.

“Jika kita mencermati isi surat elektronik Chris Twomey, maka
tergambar jelas bahwa Pemerintah Federal Australia dan AMSA terkesan
menutup-nutupi kasus pencemaran minyak di Laut Timor,” kata penulis
buku Skandal Laut Timor Barter Ekonomi Politik Canberra-Jakarta itu.

Salah satu bukti dugaan tersebut adalah sesungguhnya Pemerintah
Federal Australia telah menghubungi Otoritas Indonesia dan menyampaikan
secara resmi bahwa tumpahan minyak dari ladang Montara telah memasuki
wilayah perairan Nusa Tenggara Timur (NTT) sejauh 51 mil atau sekitar
80 km tenggara Pulau Rote.

AMSA secara resmi juga telah mengundang pejabat dari Departemen
Perhubungan Indonesia mengunjungi Australia untuk melihat kondisi
pencemaran di Laut Timor. Namun, hasilnya tidak pernah diumumkan ke
publik hingga saat ini.

Menurut laporan jaringan YPTB dari Sydney Australia, kata Tanoni,
jumlah angka kebocoran minyak mentah, gas, dan kondesat yang telah
menyembur ke laut Timor setiap harinya hingga saat ini belum diketahui
secara persis.

Namun, di satu sisi, pihak Kementerian Lingkungan Hidup Australia
dan PTTEP Australasia mengatakan hanya 64.000 liter minyak mentah yang
menyembur ke Laut Timor setiap harinya.

Akan tetapi, laporan para pemerhati lingkungan di Australia yang
membuat penelitian terhadap pencemaran menunjukkan bahwa tidak kurang
dari 500.000 liter minyak mentah dimuntahkan setiap hari ke Laut Timor
dari ladang Montara yang bocor.

Sementara itu, juru bicara Kementerian Energi Australia menyebutkan
bahwa sekitar 2.000 barrel minyak, gas, dan kondensat menyembur ke Laut
Timor.

“Kita mengharapkan agar Departemen Perhubungan tidak menutup-nutupi
kasus pencemaran di Laut Timor saat ini karena apa pun juga alasannya
telah terbukti, masyarakat di pesisir selatan Pulau Timor, Rote Ndao,
dan Sabu telah merasakan dampak dari pencemaran tersebut,” kata Tanoni.

Menurut dia, pemerintah harus bersikap tegas terhadap Australia
sekaligus melakukan upaya-upaya antisipatif agar tumpahan minyak mentah
yang saat ini sudah mencemari wilayah perairan Indonesia segera
diatasi. Upaya tersebut untuk meminimalkan dampak kerugian yang dialami
para nelayan dan petani rumput laut.

sumber :
http://regional.kompas.com/read/2010/02/09/15243471/Zat.Timah.Kategori.Sangat.Berbahaya.Cemari.Laut.Timor

http://regional.kompas.com/read/2009/11/04/2200365/Australia.dan.Indonesia.Tak.Bicarakan.Kebocoran.Minyak..

http://regional.kompas.com/read/2009/10/28/13323441/Tidak.Ada.Solusi.bagi.Laut.Timor.yang.Tercemar.Minyak


Minyak Australia Bocor, Nelayan Rote Rugi
                                        Tumpahan minyak  mencemari sekitar 
16.420 kilometer persegi  di wilayah Laut Timor. 
VIVAnews - Kebocoran minyak terjadi pada 21 Agustus
2009 di Laut Timor, diduga berasal dari instalasi pengeboran minyak The
Montara Well Head Platform milik Australia.

Akibatnya, mata
pencaharian masyarakat Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur,
khususnya para petani rumput laut dan nelayan, terancam.

Untuk
memverifikasi jumlah kerugian yang diderita masyarakat, Staf Khusus
Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Wanggai
dalam minggu ini akan mengirimkan tim.

Data kerugian akan
diverifikasi dan akan diberikan kepada presiden, kementerian dan
lembaga terkait. "Apabila diperlukan, pemerintah dapat menjadikan data
tersebut sebagai salah satu bahan penyusunan klaim kerugian kepada
pihak yang menimbulkan pencemaran,” kata Velix Wanggai, dalam rilis
yang diterima VIVAnews, Senin 19 Juli 2010. 

Sebelumnya, telah ada data dan laporan kerugian dari Bupati Rote Ndao, Leonard 
Haning. 

Tumpahan
minyak  mencemari sekitar 16.420 kilometer persegi  di wilayah Laut
Timor yang tercakup dalam zona ekonomi eksklusif Indonesia. Selain
mengakibatkan kerusakan ekosistem laut dan kematian berbagai jenis
biota laut, ini juga menyebabkan anjloknya pendapatan nelayan dan
petani rumput.

Sebelum terjadinya pencemaran, petani rumput laut
di Rote Ndao dapat memproduksi 7.334 ton rumput luat kering per tahun.
Pada tahun 2009, atau setelah pencemaran terjadi, produksi turun hingga
1.512 ton. Bahkan, hingga Juni 2010, produksi rumput laut kering di
Rote baru mencapai 341,4 ton.

“Persoalan ekonomi yang dihadapi
petani dan nelayan harus segera dicarikan jalan keluarnya. Hal tersebut
mestinya berjalan seiring dengan upaya untuk membersihkan laut melalui
pemanfaatan teknologi,” ujar Velix.

Kabupaten Rote Ndao adalah
kabupaten paling selatan di NTT, yang berbatasan langsung dengan
wilayah Australia. Kabupaten hasil pemekaran ini masih memiliki
keterbatasan dalam melakukan penciptaan sektor lapangan kerja baru di
luar sektor pertanian dan perikanan.

http://nasional.vivanews.com/news/read/165580-minyak-australia-bocor--nelayan-rote-rugi



      

Kirim email ke