http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=21398
010-07-21 Harga Melambung, Petani Tetap Gigit Jari SP/Charles Ulag Sejumlah petani terpaksa memanen padinya lebih awal karena terserang hama yang merusak padi mereka di Desa Majalaya, Kecamatan Cikalong Kulon, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Murti tak habis pikir, mengapa saat ini masyarakat mengeluhkan harga cabai yang melonjak hingga Rp 40.000- Rp 50.000 per kg. Padahal, sebagai petani cabai di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, dia menjual cabai hanya Rp 4.000 per kg. Anjloknya harga jual cabai di tingkat petani, akibat kualitas yang buruk dengan kadar air yang cukup tinggi. Alhasil, petani terpaksa menjualnya jauh di bawah harga normal di kisaran Rp 10.000 per kg. Kondisi tersebut akibat kelihaian tengkulak mempermainkan harga, memanfaatkan kondisi sektor pertanian yang tengah didera musibah menyusul dampak perubahan iklim. Menurut dia, untuk menyiasati hal tersebut, seluruh petani lahan pasir di Bantul melakukan sistem tanam tumpang sari. "Pertama, kami tanam bawang merah . Setelah berumur satu minggu, kami menanam cabai di sela-selanya," tuturnya. Biaya produksi menanam cabai cukup tinggi. Untuk lahan 1.400 meter persegi, dibutuhkan biaya pupuk sampai Rp 1,5 juta, dan biaya pestisida Rp 2 juta. Harga pupuk tanaman cabai jenis mutiara, misalnya, mencapai Rp 550.000 per sak isi 50 kilogram. Harga obat tanaman untuk hama juga cukup mahal mencapai jutaan rupiah. Meski sudah dilakukan pemupukan secara organik, namun Murti dan petani lain masih membutuhkan pestisida yang harganya cukup tinggi. "Kemarin sempat senang karena harga cabai bisa mencapai Rp 10 ribu di tingkat petani. Tetapi sekarang hanya Rp 6.000-an," ucapnya. Dia berharap, harga cabai pasca Lebaran mendatang akan lebih baik dari sekarang. Murti yang juga menanam biji bawang merah mengeluhkan menurunnya produksi, dai 14 ton untuk setiap hektare menjadi maksimal tujuh ton. Penyebabnya, kondisi cuaca yanga ekstrim, yakni terik saat di siang hari dan hujan lebat pada sorenya. Akibatnya, bawang merah mengering dan umbinya tidak mengembang optimal Harga bawang merah dari Bantul sempat anjlok menjadi Rp 5.000-6.000 per kilogram. Dengan harga jual itu, para petani tidak memperoleh keuntungan meski tidak sampai merugi. Ketua Kelompok Tani Lahan Pasir, Subandi mengakui, dia dan anggota kelompoknya mendapatkan sedikitnya 15 ton bawang merah per hektare saat panen. Jika harga jual bawang merah mencapai Rp 6.000 per kilogram saja, setiap hektare lahan bawang merah di sana menghasilkan pendapatan minimal Rp 90 juta. Namun, risiko kegagalan panen yang lebih besar di saat musim hujan bisa disiasati dengan penanaman saat kemarau. Saat kemarau, petani lahan pasir mampu memproduksi bawang merah lebih besar lagi, mencapai 22 ton per hektare, dari total luas lahan 125 hektare yang tersebar di pesisir pantai selatan. Sayuran Layu Lain lagi derita yang dialami Minaria Manihuruk (40), petani miskin di kawasan sentra pertanian sayur mayur di Palmerah, Jambi Selatan, Kota Jambi. Ketika ditemui, Selasa (20/7) sore, dia hanya duduk termangu memandangi tanaman sayurnya yang sudah layu dan membusuk. Menurut dia, musim yang tidak menentu mengakibatkan sayurnya sudah empat kali gagal panen sejak Mei lalu. Kegagalan panen tersebut telah menimbulkan kerugian ibu dari lima anak ini."Sekitar Rp 1 juta modal yang saya tanam tiga bulan ini tidak kembali karena sayuran gagal panen. Kerugian itu hanya untuk modal beli pupuk, pestisida dan beli bibit. Belum termasuk kerugian tenaga mengolah lahan dan sewa tanah," tuturnya. Kegagalan panen sayur tersebut juga membuat Minaria tidak mendapatkan penghasilan dari usaha taninya. Biasanya sekali panen dia bisa mendapatkan minimal Rp 1,5 juta. Namun kegagalan panen dalam dua kali musim tanam pada tiga bulan terakhir membuat dia kehilangan sumber tambahan pendapatan. "Selama tiga bulan ini keluarga saya hanya mengandalkan penghasilan suami sebagai buruh bangunan. Sumber pendapatan dari tanaman sayur tidak ada. Bahkan saya terpaksa nombok (berutang) untuk membayar biaya pemupukan," ucapnya lirih. Kegagalan panen petani di sentra sayuran di Kota Jambi juga berdampak terhadap usaha para penampung komoditas tersebut. Rometuah Purba (42), penampung sayuran di kawasan Mayang, Kota Jambi, mengakui, usahanya terganggu akibat kegagalan panen petani sayur. "Pasokan sayur dari petani selama sebulan ini berkurang rata-rata 25 persen. Petani banyak yang gagal panen karena tanaman sayur mereka rusak akibat iklim yang tidak menentu," jelasnya. Dia menyebutkan, setiap hari mendapat pasokan kacang panjang dan timun sedikitnya setengah ton. Namun selama satu bulan terakhir, pasokan sayuran dari petani hanya berkisar 300 kg. Kegetiran karena gagal panen yang disebabkan perubahan cuaca yang ekstrim juga mendera para petani di Bengkulu. "Sekarang ini petani di Bengkulu sering apes karena tanaman pertanian yang dikembangkan sering gagal panen. Akibatnya, perekonomian petani di Bengkulu sulit beranjak bangkit," kata Hamzah (43), anggota kelompok tani Sekotong, Kota Bengkulu, kemarin. Selain sering gagal panen, harga pupuk serta racun hama dan rumput terus meningkat. Ini membuat petani semakin sulit untuk bangkit karena biaya produksi tidak seimbang dengan pendapatan dari hasil panen. Menurut petani lainnya, Syarif (45), dengan pola tanam yang demikian, mereka dapat terhindar dari ancaman gagal panen. "Kami bersyukur sejak jenis tanaman yang dikembangkan disesuaikan dengan kondisi cuaca, jarang sekali petani di Bengkulu gagal panen. Pola tanam seperti ini akan terus dipertahankan agar pendapatan kami dari hasil panen meningkat," paparnya. Sementara itu, petani sayuran di Dusun Kemulan, Desa Tulusbesar, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, memperkirakan hasil panen pasca pertengahan tahaun ini bakal turun. Sujono (58), petani kubis di Dusun Kemulan mengungkapkan, pada musim panen lalu dia bersama kelompoknya dapat memanen 25 ton setiap hektare. "Tetapi untuk musim tanam mulai awal Juni lalu hingga sekarang, kami banyak merugi karena biaya perawatan sampai pertengahan musim tanam sudah mencapai Rp 11 juta. Ini akibat harga pupuk yang mahal di setiap musim tanam, juga bertambahnya biaya perawatan yang lebih intensif guna menyiasati cuaca yang tidak menentu dan serangan hama tanaman," papar Sujono sambil menyebutkan, keuntungan dari hasil panen kedua tahun ini akan menurun. [152/070/143/141]