http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=63296:video-mesum-dan-pendidikan-tanpa-karakter&catid=78:umum&Itemid=131


      Video Mesum dan Pendidikan (Tanpa) Karakter        
      Oleh : Fritz Hotman Syahmahita Damanik 


      Beberapa minggu belakangan, masyarakat Indonesia dibuat geger dan 
gunjang-ganjing. Namun, bukan karena hal membanggakan, seperti kemenangan para 
pelajar di ajang olimpiade IPTEK tingkat internasional, tuntasnya penanganan 
luapan lumpur Lapindo, 

      keberhasilan memberantas mafia hukum, atau lejitan prestasi tim nasional 
PSSI hingga tiba-tiba mampu berprestasi gemilang di kancah internasional, 
melainkan dipicu oleh beredarnya video mesum yang pelakunya diduga adalah para 
pesohor papan atas negeri ini, yakni NI, LM, dan CT. Begitu bersemangatnya 
adegan mesum yang ditampilkan hingga beberapa produser film porno dan bintang 
porno mancanegara kabarnya menaruh minat untuk melibatkan mereka dalam film 
porno berkaliber internasional. Walaupun diembel-embeli kata 'internasional', 
kali ini sama sekali tidak terasa membanggakan, malahan sangat memalukan.

      Terlepas dari analisis sejumlah pakar politik yang menganggap bahwa heboh 
peredaran video mesum ini hanyalah upaya pengalihan perhatian masyarakat dari 
isu-isu krusial semisal penuntasan skandal Bank Century, penanganan kasus-kasus 
yang telah diangkat ke permukaan oleh sang whistle blower Komjen (Pol.) Susno 
Duadji, seleksi calon pimpinan KPK, hingga polemik seputar dana aspirasi yang 
diusulkan sebesar 15 miliar rupiah per tahun untuk setiap anggota DPR, tapi tak 
urung kasus peredaran video mesum yang menyita hampir seluruh perhatian publik 
tersebut menimbulkan keprihatinan mendalam.

      Sejumlah kelompok masyarakat lantas bersikap reaktif dengan melakukan 
aksi demonstrasi mengutuk para pesohor yang diduga sebagai pelaku video mesum 
itu. Berbagai hujatan sebagai teroris moral dan perusak moral anak bangsa pun 
ditujukan kepada mereka. Seolah belum merasa puas, aksi berlanjut dengan 
melakukan penyegelan terhadap rumah maupun tempat usaha milik sang artis. 
Beberapa kepala daerah, berbekal arogansi layaknya raja-raja kecil pada era 
otonomi daerah, bahkan terang-terangan menolak keberadaan NI, LM, dan CT di 
daerahnya.

      Sementara itu, pihak Kepolisian dituding lamban karena hingga kini masih 
memeriksa NI, LM, dan CT sebatas sebagai saksi. Yang menjadi tuntutan sebagian 
kalangan adalah agar NI, LM, dan CT secepatnya ditahan serta diajukan ke meja 
hijau. Tapi tentunya, pihak Kepolisian memiliki pertimbangan tersendiri hingga 
tidak bertindak gegabah dan asal menuruti desakan tersebut. 

      Sebuah pertanyaan mungkin selanjutnya mengemuka di benak banyak orang. 
Tepatkah reaksi dan sikap yang ditujukan kepada para pesohor tadi, dengan 
asumsi memang benar mereka adalah pelaku video mesum yang luas beredar? Jika 
pertanyaan tersebut ditujukan kepada saya, tanpa keraguan sedikit pun saya akan 
menjawab tegas, "Tidak !"

      Mengapa tidak tepat ? Karena, baik tindakan pihak Kepolisian maupun aksi 
reaktif sejumlah kelompok masyarakat, semata-mata hanya mempersepsikan NI, LM, 
dan CT sebagai pelaku tindak kejahatan. Padahal, bila mau mengkaji lebih 
mendalam, sesungguhnya mereka adalah korban yang harus dilindungi dan diberikan 
dukungan untuk memperbaiki dirinya. Sekali lagi, dengan asumsi bahwa memang 
benar mereka adalah pelaku dalam video mesum itu.

      LM dan CT jelas adalah korban. Sebagai perempuan, mereka harus menghadapi 
standar ganda yang berlaku dalam masyarakat patriarkhi. Dalam moralitas 
masyarakat patriarkhi, umumnya memang perempuan dituntut untuk menjaga 
"kesuciannya", bersikap menerima (submissive) dan rela berkorban lebih banyak. 

      Bila seorang perempuan diketahui melakukan hubungan seks di luar nikah 
dengan satu atau lebih laki-laki maka ia akan langsung dicap sebagai perempuan 
murahan atau 'piala bergilir'. Dan manakala seorang penjahat dapat dilupakan 
kesalahannya setelah menjalani hukuman 1 atau 2 tahun penjara, maka perempuan 
yang dihujat moralitasnya akan menerima sanksi sosial jauh lebih mengenaskan. 
Sebaliknya, jika laki-laki yang melakukannya, maka akan dianggap hebat, jantan, 
dan penakluk perempuan, seperti tokoh Cassanova yang dikagumi oleh banyak 
lelaki.

      Namun jangan salah, NI juga adalah korban. Ia mungkin saja tidak 
menyadarinya, tapi begitulah kenyataannya. Memang, seorang seksolog 
menengarainya sebagai pelaku penyimpangan seksual yang gemar merekam dan 
menyaksikan 'aktivitas pribadinya', tapi tidak boleh dilupakan bahwa salah satu 
penyebab penyimpangan adalah situasi anomi dalam masyarakat. Situasi anomi 
merujuk pada keadaan dimana ada tekanan yang sedemikian kuat dari berbagai 
penjuru sehingga individu mungkin menyalurkannya dengan melakukan penyimpangan. 

      Dalam kasus NI, tekanan mungkin berupa desakan untuk terus menghasilkan 
karya-karya musik demi memenuhi tuntutan dari perusahaan rekaman, semakin 
terbatasnya ruang gerak pribadi akibat peliputan secara terus-menerus oleh 
jurnalis infotainment, hingga tuntutan masyarakat agar selalu tampil sempurna 
dan tanpa cela.

      Lebih jauh lagi, kita semua adalah korban pula. Korban dari pendidikan 
tanpa karakter. Korban dari sistem pendidikan yang hanya mampu menghasilkan 
individu-individu cerdas dan berkompeten secara intelektual maupun akademis, 
namun gagal mengarahkan manusia pada pengenalan akan realitas diri dan 
dunianya, tidak berhasil menyulut keberanian, penalaran dan kreativitas, serta 
masih jauh dari terciptanya manusia Indonesia seutuhnya (mencakup aspek-aspek 
moral, akhlak, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan, kesehatan, seni dan 
budaya).

      Akibatnya, lahirlah kaum intelektual yang gemar membual dan menggunakan 
kepandaiannya untuk mengelabui orang lain. Mereka menganggap dirinya benar, 
tanpa pernah mau menerima bahwa ada kebenaran lain di luar apa yang 
diyakininya. Mereka merasa dirinya paling bermoral, padahal apa yang 
dilakukannya justru bertentangan dengan nilai-nilai moral mendasar. Mereka ini 
juga dengan mudahnya menghujat dan mengutuk, namun tak mampu memberikan solusi. 

      Buah dari pendidikan tanpa karakter ini juga tampak jelas dari mudahnya 
seseorang berperilaku tidak bermoral atau menyebut orang lain tak bermoral. 
Dalam konteks dimaksud, tindakan membuat maupun mengedarkan video mesum harus 
diakui merupakan tindakan amoral. Namun, menghakimi dan menuduh orang lain tak 
bermoral secara gegabah tanpa melalui proses yang adil adalah juga sama tak 
bermoralnya. 

      Bukan hanya itu, proses pendidikan tanpa karakter yang selama ini 
dilakukan di sekolah-sekolah nyata-nyata juga telah menghasilkan 
individu-individu yang abai terhadap komitmen moral. Buktinya, pada jam 
istirahat atau sepulang sekolah, para siswa/i sibuk bertukar video mesum mirip 
NI, LM, dan CT via bluetooth telepon genggam. Yang kebetulan tidak memiliki 
telepon genggam dengan fasilitas multimedia berlomba-lomba mengakses internet, 
mencari tautan yang dapat mengantarkan mereka untuk menyaksikan video mesum 
tersebut. 

      Video mesum mirip NI, LM, dan CT dalam sekejap telah menjelma menjadi 
trend yang mewabah. Sedemikian mewabahnya, mengutip hasil pemantauan Internet 
Monitoring Nasional ID-SIRTII, pada seminggu belakangan ini konsumsi bandwidth 
Indonesia telah meningkat hingga mencapai 360 terabyte per jam. Hampir semua 
orang dengan device internet seperti telepon genggam, modem GSM, cable modem, 
ataupun fix cable ingin segera mendapatkan video mesum mirip NI, LM, dan CT 
tersebut atau ingin update berita terakhir via media online.

      Di tengah segala hiruk-pikuk tadi, tentunya sulit untuk mencari secuil 
kejernihan. Mengusut pelaku yang menggugah video mesum tersebut memang harus 
tetap dilakukan. Menyelidiki apakah benar NI, LM, dan CT yang menjadi pelaku 
dalam video mesum boleh saja diteruskan. Namun, penerapan pendidikan karakter 
lebih mendesak untuk mencegah terus merosotnya moralitas generasi penerus 
bangsa. Di tengah kebangkrutan moral bangsa, pendidikan karakter yang 
menekankan dimensi etis-religius menjadi relevan untuk diterapkan.

      Pendidikan Karakter 

      Apakah sesungguhnya yang dimaksud dengan pendidikan karakter ? Pendidikan 
karakter merupakan keseluruhan proses pendidikan yang dialami peserta didik 
sebagai pengalaman pembentukan kepribadian melalui memahami dan mengalami 
sendiri nilai-nilai, keutamaan-keutamaan moral, nilai-nilai ideal agama, 
nilai-nilai moral Pancasila, dan sebagainya. Agar penerapan pendidikan karakter 
dapat berlangsung efektif dan utuh, maka mesti disertakan tiga basis desain 
dalam pelaksanaannya. Tanpa tiga basis itu, program pendidikan karakter hanya 
menjadi wacana semata (Doni Koesoema, 2010). 

      Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis 
pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. 
Dalam konteks ini, guru menciptakan suasana dialogis sehingga siswa/i dapat 
mempelajari keutamaan moral dan menegaskan komitmen moralnya melalui diskusi 
atau telaah kasus yang mampu menyadarkan mereka tentang pentingnya mencegah 
kebangkrutan moral demi mempertahankan integritas kepribadian bangsa.

      Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini 
mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik 
dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan 
terbatinkan dalam diri siswa. Untuk menanamkan nilai moral tidak cukup hanya 
dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik atau melakukan razia 
terhadap telepon genggam milik mereka untuk mencegah mereka memiliki dan saling 
bertukar video mesum, melainkan mesti diperkuat dengan penciptaan kultur yang 
mengedepankan moralitas melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan 
konsisten terhadap setiap perilaku tidak bermoral. Perilaku tidak bermoral ini, 
misalnya, berciuman di sekolah ataupun bentuk-bentuk perbuatan lainnya yang 
belum pantas dilakukan oleh anak didik.

      Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam penerapan 
pendidikan karakter, sekolah tidak berjuang sendirian. Pihak-pihak di luar 
lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga 
memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam 
konteks kehidupan anak didik. Keluarga berperan menanamkan nilai moral sejak 
dini sehingga mendasari perkembangan moralitas anak selanjutnya. 

      Keluarga juga berperan melakukan pengendalian sosial demi mencegah 
perilaku menyimpang sedini mungkin. Masyarakat umum tidak ketinggalan 
diharapkan mampu mengembangkan suatu tatanan nilai dan norma yang tidak 
semata-mata tunduk pada proses perubahan, namun tetap berusaha mempertahankan 
keutamaan moral. Sedangkan negara harus berdaya dalam penegakan hukum. Ketika 
mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara 
telah berkontribusi menciptakan warga-warga yang tidak menghargai makna tatanan 
sosial bersama.

      Meski proses penerapannya mungkin berliku dan terjal, namun pendidikan 
karakter diyakini mampu menghindarkan bangsa ini dari kebangkrutan moral. Oleh 
sebab itu, semua pihak harus bersedia memikul tanggung jawab masing-masing 
dalam membangun pendidikan karakter. Hanya dengan demikian, pendidikan dapat 
dijadikan lokomotif menuju terciptanya masyarakat yang beradab dan bermoral. 
Semoga ini bukan utopia.***

      Penulis adalah Sosiolog, alumni Jurusan Sosiologi FISIP USU. Staf 
Pengajar Mata Pelajaran Sosiologi SMA Harapan Mandiri, Medan.


     

Kirim email ke