http://www.mediaindonesia.com/read/2010/08/10/160908/68/11/Republik-KLB


Republik KLB 


Selasa, 10 Agustus 2010 00:01 WIB    
Pemberitaan di beberapa media menyebutkan masyarakat di sejumlah daerah di 
Indonesia mulai menghadapi kondisi terancam rawan cadangan pangan atau 
mengalami kesulitan akibat ulah sejumlah pengusaha atau tengkulak yang 
mempermainkan harga-harga. Di saat bersamaan, Ramadan segera tiba sehingga 
harga bahan-bahan pangan semakin 'mencekik' atau kian tak terkendali.Momentum 
Ramadan dijadikan sebagai 'kondisi luar biasa' (KLB) bagi pengusaha dan 
tengkulak untuk mengail keuntungan yang berlapis-lapis, meski pada akhirnya 
menciptakan kondisi penderitaan berlapis-lapis pula pada masyarakat. 

Pemberitaan tersebut sepertinya biasa-biasa saja, tetapi sebenarnya tergolong 
istimewa, terutama bagi kalangan masyarakat bawah. Standar utama kebutuhan 
masyarakat bawah (lower community) adalah tercukupi atau terpenuhi-tidaknya 
kebutuhan pangannya. Jika kebutuhan pangannya tidak terpenuhi, kondisi itu 
tergolongan sebagai ancaman serius bagi ketahanan dan keberlanjutan hidup 
mereka. 

Kekurangan pangan akan membuat masyarakat miskin itu dihadapkan kepada berbagai 
bentuk kesulitan yang menimpa mereka, seperti kelaparan, kekurangan gizi, rawan 
penyakit, hingga meninggal dunia. Tidak sedikit masyarakat mengidap rawan gizi 
(malagizi) dan menemui ajal akibat kelaparan yang gagal ditangani dengan 
segera. 

Ada kondisi buruk yang hingga kini masih dipertahankan bahwa seolah-olah kalau 
yang malagizi, terjangkit penyakit, dan meninggal dunia karena faktor kelaparan 
baru beberapa orang, belum dianggap sebagai KLB atau masih ditempatkan sebagai 
kondisi biasa-biasa saja. Padahal, berapa pun orangnya yang dihadapkan kepada 
situasi itu seharusnya tetaplah dalam kategori KLB. 

Kesehatan dan hak untuk hidup (right for life) manusia merupakan hak istimewa. 
Keberlanjutan hidup seorang manusia adalah keberlanjutan hidup manusia sedunia 
dan kematian hidup seorang manusia adalah kematian manusia sedunia. Nurcholish 
Madjid (1999) menyebut menghidupi seorang manusia sama dengan menghidupi 
manusia sejagad dan membunuh (membiarkan terbunuh) seorang manusia sama dengan 
membunuh manusia sejagad. 

Pikiran itu sebenarnya mengingatkan komitmen kita terhadap hak pangan manusia 
yang berkorelasi dengan hak keberlanjutan hidupnya. Selama hak pangan 
masyarakat bisa dipenuhi, pemenuhan ini sama artinya dengan menjaga keberdayaan 
dan keberlanjutan hidup manusia. Sebaliknya, mengabaikan hak pangan manusia 
sehingga terancam kerawanan berarti menyerahkan manusia ke dalam kondisi 
ketidakberdayaan dan kepunahan. 

Dalam Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 disebutkan bahwa setiap orang 
berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. 
Dalam ayat (2) ditegaskan, setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, 
bahagia, dan sejahtera lahir dan batin. Ketentuan tersebut sebenarnya 
mengingatkan kita bahwa selain hak mendasar berupa 'hak hidup', manusia juga 
punya hak mempertahankan dan meningkatkan kehidupannya. Kalau manusia hanya 
punya hak hidup, sementara hak melanjutkan dan mengembangkan kehidupannya 
dinihilkan, ia hanya bernyawa, asal ada di dunia, asal diketahui kehadirannya 
di masyarakat, dan asal bisa makan. Kondisi yang menimpa sebagian masyarakat 
kita ternyata bisa lebih parah daripada itu, yakni bukan asal bisa makan, 
melainkan mengalami kemiskinan cadangan pangan, mengidap kerawanan gizi, dan 
kalaupun masih ada yang bisa dimakan, tergolong membahayakan kesehatan dan 
keselamatan nyawa. 

Jika berpikir bijak dan bening, KLB tidak bisa menggunakan takaran 
banyak-sedikitnya masyarakat atau daerah yang terancam kerawanan pangan dan 
tidak pula menunggu berapa banyaknya yang jatuh korban, tetapi cukup 
menggunakan tolok ukur tanda-tanda kesulitan masyarakat dalam memenuhi hak 
pangan mereka. Realitasnya, salah satu tanda akan makin sulitnya masyarakat 
mencukupi hak pangan mereka ini adalah kemiskinan. 

KLB yang sebenarnya adalah kondisi kemiskinan masyarakat. Ketika masyarakat 
kita semakin banyak yang hidup miskin, semakin banyak pula yang sedang berada 
di titik nadir keberdayaan mereka karena mereka sedang mengidap 'miskin' 
(krisis) sumber daya fundamental yang menentukan aspek-aspek kehidupan mereka, 
termasuk kebutuhan pangan. Sayangnya, kondisi paradoks masih tetap kita 
pertahankan. Di saat sebagian masyarakat kita sedang menghadapi problem berat 
kesulitan pangan, kita diberi pertunjukan mengenai keluarnya berbagai kebijakan 
yang mengistimewakan elite politik berupa tunjangan berlimpah dan fasilitas 
mewah, sementara di sisi lain, masyarakat (kecil) semakin kehilangan 
keberdayaan (empowerless) dan keberjayaan. 

Pantaskah itu diterima komunitas elite politik kita, yang lebih sering bolos 
sidang, miskin kreativitas yang mendukung aspirasi masyarakat, atau hanya sibuk 
jadi broker, atau setidaknya sudah hidup berkecukupan, sementara di hadapan 
mereka membentang tanggung jawab kerakyatan yang terbengkalai atau baru 
setengah hati mereka perjuangkan? 

Dalam agama digariskan bahwa setiap orang yang mengabaikan dalam memberikan 
(memperhatikan) anak yatim dan mencukupi kebutuhan pangan orang miskin adalah 
pendusta-pendusta agama (QS Al-Maun: 1-3). Pengabaian terhadap hak pangan orang 
miskin merupakan akar perbuatan yang menjerumuskan seseorang menempati 
identitas sebagai pendusta agama. 

Pendusta agama merupakan julukan yang jelek sekali. Pasalnya dalam dirinya 
melekat stigma sebagai seseorang yang mendustai ajaran agamanya sendiri. Agama 
sebatas diperlakukan sebagai kebutuhan simbolis dan bukan ajaran yang 
mengikatnya untuk menjalankan misi profetisnya. Agama sekadar menjadi kendaraan 
yang membuatnya diakui komunitasnya meski di mata Tuhan tidak lebih dari 
pengkhianat-pengkhianat. 

Kalau komunitas elite yang sudah dimanjakan pendapatan dan tunjangan berlimpah 
itu gagal mengatasi kerawanan pangan di masyarakat, mereka pun layak 
ditempatkan dalam jajaran terdepan sebagai pendusta-pendusta agama mengingat 
selain mereka bisa menikmati fasilitas kemewahan hidup dengan atas nama rakyat, 
mereka sudah berjanji di hadapan konstituen mereka untuk menjadi pengabdi atau 
pelayan-pelayan rakyat dengan maksimal. 

Pelayan rakyat merupakan pelayan yang menentukan pembumian agama kemanusiaan, 
jika kualitas layanan yang ditunjukkan benar-benar difokuskan untuk memuaskan 
(membahagiakan) kebutuhan lahir dan batin masyarakat. Ketika masyarakat yang 
dilayani hidup dalam derita kerawanan pangan, sementara diri mereka bisa sekali 
makan dengan jutaan rupiah, apa yang mereka lakukan itu terbilang layanan yang 
mendustai agama. 

Kampanye pelayanan publik yang sedang digalakkan rasanya juga perlu menjadikan 
problem rawan pangan sebagai bagian dari dakwah empiris supaya hak fundamental 
masyarakat di bidang pangan tetap menjadi respons semua pihak, khususnya 
pimpinan daerah. Komunitas elite di daerah ini merupakan kumpulan pejabat yang 
digaji untuk selalu melakukan investigasi kemaslahatan publik di daerah mereka. 

Khalifah Umar bin Khattab, misalnya, di suatu malam (saat menjalankan sidak) 
mengetahui ada seorang penduduk atau warganya mengeluh kesulitan pangan. Dengan 
tergesa-gesa Umar menuju gudang pangan negara dan mengangkatnya sendiri ke 
rumah penduduknya. Sahabat yang mendampinginya bermaksud menawarkan bantuan 
mengangkatnya, tetapi ditolak dengan kalimat, "Yang akan menanggung beban dosa 
nanti adalah aku jika aku gagal memenuhi kebutuhan pangan rakyatku ini." Kalau 
elite politik atau kekuasaan di negeri ini bisa meniru gaya kepemimpinan Umar 
saja, barangkali kita tidak akan perlu menemukan berita memilukan dan memalukan 
tentang kerawanan pangan. Kerawanan pangan yang mengancam sebagian rakyat Jatim 
adalah sinyal yang menggugat atau mempertanyakan, apakah nantinya komunitas 
elite politik akan lebih banyak yang pendusta agama ataukah tidak? 

Julukan pendusta agama merupakan label sangat buruk bagi manusia beragama. Ia 
boleh saja disebut ahli agama yang paham dengan norma-norma yang mengajarkan 
pemanusiaan manusia, tetapi ia tetap pantas diberi gelar pendusta jika agama 
sebatas jadi ilmu yang digagalkan membumi dan menyejarah. 

Oleh M Bashori Muchsin, Guru Besar dan Pembantu Rektor II Universitas Islam 
Malang





Reply via email to