http://www.mediaindonesia.com/read/2010/08/18/162815/70/13/Menyoal-Keputusan-Mahkamah-Konstitusi


Menyoal Keputusan Mahkamah Konstitusi 


Rabu, 18 Agustus 2010 00:00 WIB      
DI negeri ini, boleh percaya boleh tidak, ada satu lembaga negara yang 
keputusannya bagaikan sabda Tuhan. Dia adalah Mahkamah Konstitusi, yang 
keputusannya final dan mengikat. 

Sebagai perbandingan, terhadap keputusan Mahkamah Agung masih terbuka peluang 
melakukan peninjauan kembali (PK), yang menunjukkan seagung-agungnya hakim 
agung, tetaplah ia manusia biasa. Bila ada bukti baru, PK dapat dilakukan. 

Padahal, perkara baru sampai ke Mahkamah Agung umumnya setelah melewati dua 
pengadilan sebelumnya, yaitu pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Dengan 
kata lain, hakim agung bukan yang pertama, tapi hanya yang terakhir dalam 
memutus suatu perkara. 

Berbeda halnya dengan Mahkamah Konstitusi, yang merupakan pengadilan yang 
pertama dan sekaligus yang terakhir, yang putusannya bersifat final dan 
mengikat dalam empat perkara. Pertama, dalam menguji undang-undang terhadap 
Undang-Undang Dasar. Kedua, dalam memutus sengketa kewenangan lembaga negara. 
Ketiga, dalam memutus pembubaran partai politik. Dan keempat, dalam memutus 
perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 

Akan tetapi, keputusan yang bagaikan sabda Tuhan itu sekarang harus digugat 
karena tidak sedikit putusan Mahkamah Konstitusi yang layak diragukan, yang 
tidak patut untuk dipercaya. Putusannya dicibirkan, bahkan secara terbuka 
dituding sebagai keputusan yang 'masuk angin'. 

Lebih memprihatinkan lagi, putusan Mahkamah Konstitusi dianggap manipulatif 
lantaran mencantumkan kesaksian orang yang tidak pernah menunjukkan batang 
hidungnya di persidangan. Aneh bin ajaib, tapi itu fakta, bukan cerita fiksi. 

Keputusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan pemilihan kepala daerah cenderung 
menjadi bagian dari persoalan, bukan solusi. Penyebab utamanya ialah mahkamah 
tidak lagi patuh pada ketentuan perundang-undangan yang memerintahkan hanya 
mengadili perselisihan penghitungan suara. 

Kenyataannya, dalam memutus sengketa pemilihan kepala daerah, Mahkamah 
Konstitusi sering menambah sendiri kewenangannya yang tidak tertera dalam 
undang-undang. Penambahan kewenangan itu memunculkan konflik kepentingan, 
dengan menjadikan hakim konstitusi sebagai bagian dari pihak yang 
berkepentingan. 

Konflik kepentingan itulah yang dirisaukan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD 
yang secara terang-terang mengaku pernah dicoba disuap. Tak tanggung-tanggung, 
ia pernah ditawari hak pengelolaan hutan. 

Agar publik tahu, tarif suap hakim konstitusi, untuk satu perkara saja, ada 
orang yang rela merogoh kantong hingga Rp5 miliar dan untuk perkara pemilihan 
kepala daerah berkisar Rp500 juta. 

Seyogianya hakim konstitusi adalah orang pilihan, negarawan yang diasumsikan 
tidak mempan disuap. Akan tetapi, jika menilik berbagai keputusannya menyangkut 
pemilihan kepala daerah, haruslah dikatakan bahwa mereka hanyalah manusia 
biasa. Mereka bukan malaikat, apalagi Tuhan. 

Itulah sebabnya harus ada lembaga yang mengawasi Mahkamah Konstitusi. Bahkan, 
perlu dipikirkan ulang, apakah bijaksana tetap mempertahankan keputusan 
Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Bukankah absolute power 
corrupts absolutely? 



Reply via email to