Refleksi : Kalau lulus SMA menghadapi ketidakpastian maka tentu sekali bisa dipertanyakan: apa yang bisa diharapkan dari rezim SBY dan konco-konco berkuasanya yang mendesign dan menjalankan politik pendidikan dan penempatan tenaga kerja?
http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/lulusan-sma-menghadapi-ketidakpastian/ Selasa, 21 April 2009 01:04 Lulusan SMA Menghadapi Ketidakpastian Sedikitnya 2,2 juta siswa kelas tiga SMA di seluruh Indonesia dan sekolah Indonesia di 13 negara, mulai Senin (20/4) ini mengikuti ujian nasional (UN). Mereka berjuang agar lulus, kemudian setelah itu memasuki alam kesulitan. Teradang biaya masuk perguruan tinggi, sulit mencari lapangan pekerjaan dan berpeluang besar menjadi penganggur. Gambaran di atas terjadi berulang-ulang, dari tahun ke tahun. Setiap upaya untuk mengatasinya tak pernah berhasil, lantaran perbandingannya seperti penyu dengan lumba-lumba. Pemerintah telah meningkatkan anggaran pendidikan. Dari total anggaran belanja 2009 yang mencapai Rp 1.122 triliun, sejumlah 20% di antaranya diarahkan ke sektor pendidikan. Departemen Pendidikan Nasional memperoleh Rp 51,9 triliun, anggaran pendidikan Rp 69 triliun dan tambahan anggaran pendidikan Rp 46,1 triliun. Selain itu ditambah dengan anggaran dalam Dana Alokasi Umum (DAU) yang ada di setiap provinsi sebanyak Rp 20 triliun. Anggaran pendidikan yang diturunkan pada tahun pemilu itu, lebih tinggi ketimbang tahun lalu yang mencapai 15,6% dari total APBN 2008. Penambahan ini sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1945 yang menetapkan 20% dari total anggaran belanja. Penambahan itu sangat bermanfaat dan merupakan langkah maju. Penambahan ini menunjukkan pemerintah mulai menaruh perhatian besar, kendati bernuansa politis sebab merupakan pelipur lara di tengah kondisi sulit dan tahun pemilu. Pemerintah pun terbukti tak menyia-nyiakannya dengan membuat berbagai iklan tentang pendidikan gratis dan lain-lain. Perubahan sikap pemerintah memberi pengaruh yang sangat berarti terhadap sektor pendidikan, tetapi masih belum cukup sebab persoalan di sektor pendidikan sudah bertumpuk sejak belasan tahun lalu. Mengapa bisa jadi begitu? Beberapa rezim pemerintahan yang berkuasa memang memberi perhatian pada sektor pendidikan, namun kurang memadai. Pemerintah terjepit keharusan membayar cicilan bunga maupun utang pokok pinjaman, yang makin lama makin membesar hingga melampaui tingkat batas yang ditoleransi, dari 20% hingga melebihi 30%. Di lain pihak, sektor-sektor lain seperti infrastruktur juga memerlukan perhatian. Ironisnya, anggaran yang sudah menipis itu masih juga dikorupsi hingga yang terkadang hanya cukup untuk kegiatan rutin. Dalam kondisi seperti itu, pemerintah tidak memiliki dana khusus yang memadai buat anak didik yang berbakat dan cemerlang serta bermoral baik. Berbeda dengan kerajaan Malaysia, yang secara khusus menyediakan anggaran pendidikan untuk anak didik berprestasi. Alhasil, sekalian anak didik itu, dan direlakan pemerintah, mengambil beasiswa yang disediakan pihak swasta maupun pemerintah asing. Padahal, pihak asing bisa saja mempunyai agenda atau persyaratan sendiri yang belum tentu sesuai kepentingan nasional. Perbedaan kepentingan itu sudah menjadi isu nasional dan sangat memprihatinkan. Berbagai fakta menunjukkan, kebijaksanaan yang diterbitkan terkadang malah melemahkan potensi nasional. Hal ini terutama dapat dilihat dari iklim di sektor investasi yang sangat liberal. Atas nama globalisasi, investor asing leluasa menguasai sektor-sektor vital seperti pertambangan, telekomunikasi, perbankan bahkan hingga eceran. Memang pemerintah memperoleh pajak, tetapi berapa kerugian yang ditimbulkan akibat kebijaksanaan yang liberal itu. Begitulah, kita melihat ketimpangan yang mendasar. Para anak didik didorong untuk meraih angka kelulusan yang meningkat dari tahun ke tahun, namun setelah itu tidak mempunyai kepastian. Bila dilihat dalam bentuk piramida, mereka yang berada di tengah hingga ke puncak umumnya adalah anak orang tua yang diuntungkan dari strategi pembangunan yang berorientasi pertumbuhan. Sulit bagi anak lain untuk menerobos ke atas sebab tangga-tangga yang tersedia sedikit dan diperebutkan. Inilah ironi di tengah kegemaran berwacana. n