T = Salam kenal Bung Leonardo Rimba, Ada beberapa hal yang mengganjal terkait posting-posting bung. Soal kebebasan yang sepertinya menjadi perspektif penulisan opini bung yang menggunakan metode mirip Arswendo dalam kolom wawancara imajinernya dengan Soekarno (?). J = Salam kenal juga. Wawancara imajiner dengan Bung Karno ditulis oleh Christianto Wibisono, senior saya di Jurusan Ilmu Politik FISIP UI. T = Pertanyaannya, apakah kebebasan ala Bung Leonardo benar-benar tiada batasnya? Jika YA dimana sisi kemanusiaan sebagai mahluk sosial? Jika tidak, apa indikator-indikatornya? J = Setahu saya, HAM Kebebasan Berpendapat (Free Speech) itu tidak ada batasnya. Anda bebas untuk berpendapat apa saja dan mengucapkan atau menuliskannya. Apa yg anda ucapkan atau tuliskan merupakan pendapat pribadi anda saja dan sebenarnya juga tidak harus selalu ada hubungannya dengan pendapat orang lain. Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia, pasal 19, menuliskan sbb: "Setiap orang berhak atas kebebasan beropini dan berekspresi; hak ini meliputi kebebasan untuk memiliki opini tanpa intervensi serta untuk mencari, menerima, dan mengungkapkan informasi serta gagasan melalui media apapun dan tidak terikat garis perbatasan." So, anda bisa saja berpendapat saya menganut pergaulan bebas, for instance, atau anda bisa juga berpendapat kebalikannya, yaitu bahwa saya terlalu konservativ in sexual matters. Lalu, apakah pendapat itu harus mengakibatkan saya jadi kebakaran jenggot? Tentu saja tidak. Pendapat anda is pendapat anda. Anda bisa berpendapat apapun tentang apapun, termasuk tentang saya. Kalau pendapat anda logis dan rasional, orang akan respek terhadap anda. Dan kalau pendapat anda ngawur, orang akan tertawa. Just that and no more. Opinions only. Yg tidak boleh dilakukan adalah memaki-maki orang lain dan melakukan diskriminasi. Diskriminasi is membedakan perlakuan terhadap orang lain berdasarkan kriteria tertentu yg, di Indonesia, biasanya berupa agama dan jenis kelamin. Bisa juga berupa ras, etnik, dan orientasi seksual. Kalau saya memaki-maki anda sebagai orang yg dilaknat Allah karena anda tidak pakai jilbab, maka artinya saya melakukan perbuatan yg tidak menyenangkan, dan itu bukan HAM Kebebasan Berbicara melainkan maki-makian semata. Saya tidak pernah memaki orang. Saya bilang jilbab is a choice, mao pake jilbab kek, mao pake bikini kek, I don't care. Dan menurut saya jilbab bukan kriteria kesholehan seseorang walaupun orang itu ngotot dan mencak-mencak minta diakui kesholehannya dengan bukti memakai jilbab bertahun-tahun. Kalau saya tidak menerima anda bekerja di perusahaan saya karena anda tidak pakai jilbab, namanya itu diskriminasi. Di AS dan negara-negara maju lainnya, diskriminasi itu illegal. Di Indonesia masih banyak yg mempraktekkan diskriminasi, termasuk dengan mensyaratkan jilbab dan kemampuan mengaji sebagai kriteria untuk diterima bekerja. Berarti, kalau saya memaki-maki mereka yg mempraktekkan diskriminasi, namanya bukan HAM Kebebasan Berpendapat lagi, melainkan perbuatan tidak menyenangkan. Saya tidak pernah memaki mereka yg mempraktekkan diskriminasi, saya cuma bilang bahwa mereka mempraktekkan diskriminasi, membedakan perlakuan terhadap orang lain. Dan menurut saya diskriminasi itu SARA. Berpendapat bahwa praktek tertentu itu SARA merupakan HAM Kebebasan Berpendapat, dan memaki-maki orang yg mempraktekkan SARA bukan merupakan HAM Kebebasan Berpendapat melainkan kelakuan yg tidak sopan, impolite. Berpendapat bahwa orang beragama itu banyak yg munafik tidak sama dengan memaki-maki orang beragama yg kita anggap munafik. T = Saya membaca kebebasan sebagai hak dan kewajiban. Hak serta kewajibannya sebagai manusia untuk bebas dari sistem nilai sosial serta sistem nilai budaya. Jika demikian, sebagai mahluk sosial, manusia selalu tergantung satu sama lain. Dalam konteks ini, kebebasan siapa perlu didahulukan atau membiarkan kebebasan itu muncul sehingga pada akhirnya saling berbenturan? Bagaimana mengatur kebebasan itu agar tidak saling berbenturan? Jika sudah diatur apakah masih bisa dikatakan bebas? J = HAM Kebebasan Berpendapat tidak perlu berbenturan. Kita semua bisa berpendapat dan pendapat kita pribadi tidak perlu membuat orang lain kebakaran jenggot. Agama-agama itu isinya apa kalau bukan pendapat-pendapat saja? Semuanya orang bisa saja berpendapat dan tidak perlu berbenturan secara fisik. Benturan pendapat secara fisik bisa dikategorikan sebagai kriminal atau pidana. Balik tentang pendapat-pendapat, ada yg bilang Allah adanya di Arab, ada juga yg bilang Allah adanya di Israel. Ada yg bilang Allah adanya di Gunung Lawu, di Monas, any place you could name. Tapi, apakah pendapat-pendapat itu harus mengakibatkan perbenturan fisik? Tentu saja tidak. Yg bisa mengakibatkan perbenturan fisik adalah kelakuan sebagian orang yg belum tercerahkan, yg mau memaksakan agar semua orang sependapat bahwa Allah adanya di Gunung Kidul, for instance. Bisa juga ditambahkan bahwa Allah itu kawin dengan Nyai Roro Kidul, dan setelah itu melahirkan banyak Allah, antara lain yg tinggal di Arab. Kalau ada agama yg mau memaksakan pendapat seperti di atas dengan cara kekerasan fisik, tentu saja terjadi perbenturan. Tetapi kita memiliki hukum, dan kita sudah lihat sendiri betapa personil FPI, Amrozi Cs, Abubakar Baasyir, dan banyak orang lain lagi yg mau memaksakan pendapat mereka secara fisik menggunakan kekerasan sudah masuk bui. Mereka masuk bui karena mau memaksakan pendapat mereka dengan cara fisik, dan bukan karena pendapat mereka. Pendapat mereka itu sah, bahkan pendapat dari rekan-rekan FPI itu sah saja. Itu namanya HAM Kebebasan Berpendapat yg ada di diri mereka. Tetapi merupakan hal lain lagi kalau pendapat mereka mau diwujudkan dengan paksa secara fisik, yg bisa masuk dalam kategori dari perbuatan tidak menyenangkan sampai perbuatan merusak milik orang lain. Itu kategori-kategori perbuatan pidana atau kriminal. T = Umumnya HAM dikonsepsikan ala barat yang dalam prakteknya sering tereduksi (direduksi?) kepentingan tertentu seperti lembaga di Indonesia yang memperjuangkan HAM sedemikian kerasnya HANYA jika terjadi di daerah-daerah tertentu yang mayoritas agama tertentu, sebaliknya melempem saat bicara Aceh, Lampung, Banyuwangi, Tasikmalaya bahkan Trisakti. Maaf, apakah kebebasan ala ini yang coba Bung Leonardo perkenalkan? J = Tentu saja tidak. T = Jika tidak, bisa bung jelaskan kebebasan dalam mengintepretasikan kenabian (dan keimanan) apakah benar-benar terbebas dari nilai-nilainya termasuk kepentingan politik dan ekonomi? Apa jaminannya dan apa indikatornya? Karena saya menemukan kontradiksi. Beberapa opini bung tentang sesuatu yang salah dalam perspektif kebebasan selalu mengkaitkan dengan ajaran Islam sebagai acuan. Perda Syariat bung katakan SARA. Kenapa tidak bung sertakan Perda KOTA INJIL Manokwari yang melarang Perempuan berjilbab, Adzan, dan Pembangunan masjid dll tahun 2007 terlepas dari jadi-tidaknya diimplementasikan karena substansinya adalah aturan yang (akan) membelenggu manusia. J = PERDA Syariat itu termasuk Syariat Kristen, Buddha, Hindu, dll. Saya tidak pernah membatasi diri untuk bilang bahwa yg namanya syariat itu cuma syariat Islam. Apakah PERDA Syariat Kristen itu SARA? Jelas SARA. Jelas diskriminasi. Semua PERDA yg didasarkan kepada syariat adalah SARA, dan syariat itu bisa berasal dari any agama, bukan Islam saja. Dan SARA artinya membedakan perlakuan terhadap sesama warganegara, atau mempraktekkan diskriminasi, berdasarkan Suku, Agama, Ras, Golongan, Usia, Jenis Kelamin, dan Orientasi Seksual. Saya bahkan bilang UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 itu SARA. Kenapa SARA? Karena membedakan perlakuan terhadap mereka yg mau menikah. Apa dasar perbedaan perlakuan? Agama. Jadi UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 mempraktekkan diskriminasi terhadap warganegara Indonesia berdasarkan agama. Dan itu SARA. T = Memang ada Perda Syariat di Aceh, Garut, dan lain-lain tapi implementasinya dibantah sebagai bukan SARA justru oleh nonmuslim. Kata Yorris Raweyai: “……di Aceh yang menerapkan syariat Islam, tetap ada gereja,'' katanya (Republika, 30 Maret 2007). Jika indikasi-indikasi itu benar atau sedikitnya benar, apakah menjadi ironi dengan kebebasan yang seharusnya bebas nilai termasuk perspektif agama seperti tulisan-tulisan bung? J = Tentu saja setiap orang bisa berpendapat apa saja. Dan kita tidak perlu membedakan latar belakang orang. Kalau kita membedakan orang berdasarkan latar belakangnya, namanya SARA. So, semua orang bisa berpendapat tentang PERDA Syariat. Ada yg bilang PERDA Syariat tidak mempraktekkan diskriminasi. Ada pula, seperti saya, yg bilang PERDA Syariat mempraktekkan diskriminasi berdasarkan Agama, Jenis Kelamin, dll. Lalu bagaimana? Lalu tentu saja kita akan mengamati, membandingkan, dan mengevaluasi. Apakah benar PERDA Syariat itu membedakan perlakuan terhadap sesama warganegara berdasarkan Agama, Jenis Kelamin, dsb. Kalau ternyata tidak membedakan, maka artinya PERDA Syariat itu tidak SARA. Kalau ternyata membedakan perlakuan atau mempraktekkan diskriminasi terhadap sesama warganegara, maka artinya PERDA Syariat itu benar SARA. Bandingkan saja, simpulkan saja apakah benar ada praktek diskriminasi yg dilakukan oleh berbagai PERDA Syariat. Jadi kita tidak perlu memilah-milah manusia berdasarkan agamanya seperti yg anda baru saja tuliskan di atas. Untuk apa memilah manusia berdasarkan agama? Mau diskriminasi lagi? T = Intepretasi terhadap kebebasan membuat kartun Nabi Muhammad SAW berpeci sambil pegang bom apakah benar-benar bebas sistem nilai sosial-budaya-ekonomi-politik? Padahal kita semua marfhum, kartun itu dibuat saat serentetan aksi teroris mengatasnamakan Islam (sekali lagi substansinya adalah kebebasan bukan benar-salahnya tindakan teroris) sehingga Islam sedang dijadikan musuh bersama dengan semboyan tongkat atau wortel? J = Saya sendiri tidak perduli dengan kartun apapun. Orang mau berpendapat apapun merupakan HAM Kebebasan Berbicara yg ada di orang itu. Bisa pendapat orang itu sama dengan pendapat saya, bisa juga beda. Orang mau menjadikan Islam sebagai musuh bersama atau teman bersama juga bukan merupakan urusan saya, so? T = Kenapa pula OBAMA tak berani mengutuk Gaza tapi malah bela Israel dengan menyalahkan roket HAMAS padahal di sisi lain dunia (dengan fakta tentunya) mengutuknya? Bebaskah ia dari sistem nilai yang sedang 'berkuasa'? J = Obama benar, yg salah itu HAMAS. HAMAS itu teroris, tidak bisa dikontrol oleh apapun, bahkan tidak bisa disuruh untuk stop oleh Pemerintah Palestina sendiri. Walaupun kita semua menyesali kebrutalan Israel dalam mengejar HAMAS di Jalur Gaza, banyak dari kita juga maklum bahwa yg Israel lakukan cuma membela diri saja. Apakah anda akan diam saja ketika ada teroris bersembunyi di dalam rumah tetangga anda dan menembaki rumah anda dengan roket? T = Bagi saya, agama sebagai pengalaman menjadi kategori yg lebih penting daripada agama sebagai rumusan atau pemahaman, pemahaman tanpa amalan hanya akan menjadi filsafat kosong, sebab ujung dari suatu keyakinan adalah tindakan. Tidak bertindak berarti tidak yakin. Pelangi keberagamaan jauh lebih indah dari agama itu sendiri. Saya punya tiga analogi. Pertama, saya bebas berpendapat menolak bergabung dengan kerja bhakti di lingkungan er te karena saya punya hak untuk kebebasan saya dan juga punya kewajiban menolak karena sebagai manusia yang menjunjung HAM saya bebas untuk tidak ikut. Tetangga kiri saya juga punya argumen. Tetangga kanan saya juga punya argumen, depan belakang akhirnya sarana dan prasarana yang sedianya akan diperbaiki sama-sama karena jika pake tenaga ahli gak ada modal, tidak jadi. Banjir karena got mampet, lingkungan kumuh karena sampah menumpuk, DBD merebak karena nyamuk akibat sampah dan got mampet, dsb dsb dsb. Kedua, saya bebas berpendapat menolak bergabung dengan kerja bhakti di lingkungan er te karena saya punya hak untuk kebebasan saya dan juga punya kewajiban menolak karena sebagai manusia yang menjunjung HAM saya bebas untuk tidak ikut. Tetapi tetangga kiri-kanan-depan-belakang-atas (ada gitu di atas?) ikutan kerja bhakti bersihkan got, sampah, timbun jalan yang bolong-bolong karena Sang Ahli belum menurunkan ilmu keahliannya (khusus untuk Jakarta ). Selesai. Konsekuensinya, saya dibebaskan dari kerja-kerja bhakti berikutnya, iuran-iuran er te, acara-acara er te, dan juga dibebaskan hak dan kewajibannya untuk minta bantuan jika terjadi apa-apa terhadap saya dan keluarga karena jika saya minta hak dan kewajiban saya sebagai warga er te jelas bertentangan dengan hak dan kewajiban saya sebagai manusia yang (seharusnya) bebas dari kerja-kerja bhakti, iuran-iuran, acara-acara…. Ketiga, hak saya tidak mau ikut tetapi sebagai mahluk sosial kewajiban saya untuk bersosialisasi dan berinteraksi akhirnya saya ikut. Konsekuensinya, saya kehilangan hak dan kewajiban terhadap kebebasan untuk berfikir dan bertindak. Kira-kira menurut Bung Leo, mana yang baik, lebih baik, atau tidak ada sama sekali? J = I agree with you to say that pelangi keberagaman jauh lebih indah daripada agama itu sendiri. On the other hand, kalau kerja bakti kan untuk kepentingan bersama. As long as pengaturan kerja bakti itu adil, maka merupakan kewajiban kita untuk ikut atau, bisa juga diganti dengan uang. Kalau ada yg tidak adil, maka kita bisa protes dan menolak untuk partisipasi. Lebih baik dibicarakan bersama saja, karena apa yg anda tulis itu tentang kegiatan di komunitas lingkungan tempat tinggal anda sendiri. Kalau ada yg anda rasa keterlaluan atau overdosis dan anda tidak mau partisipasi, ya tidak usahlah. Contoh overdosis adalah pemaksaan oleh sebagian lingkungan tetangga untuk ikut arisan. Kalau ada arisan lingkungan, saya langsung akan menolak. Not interested, tidak tertarik. Tapi iuran-iuran lingkungan yg dibebankan dengan merata kan harus dibayar juga, and I have no problem with that. T = Terakhir (boleh jawab atau tidak tapi mohon dijawab karena saya juga punya hak dan kewajiban untuk bertanya dan mendapat jawaban), apakah bung juga tergabung dalam warga_hijau? Apakah Bung Leonardo yang juara menulis lingkungan di HOKI 2008 lalu? Saya kira, alangkah naifnya upaya menyelamatkan hutan jika nilai-nilai yang melingkupi perspektif bung ternyata bebas nilai karena di basis akar rumput, dalam realitas yang sepahit-pahitnya, peran agama sangat dominan berbarengan dengan ekonomi pasar ciptaan Max Weber. Tapi mohon maafnya jika keliru. J = Saya tidak bergabung dengan warga_hijau dengan alasan bahwa konotasi nama saya sendiri sudah terlalu hijau. I am Rimba, warnanya forest green. T = Saya jadi ingat pemeo, banyak orang bercita-cita dan berkhayal untuk mengubah dunia tapi hanya sedikit yang punya keinginan mengubah dahulu dirinya sendiri. J = Kita membantu merubah dunia dengan cara merubah diri kita sendiri terlebih dahulu. Let's do it! Leo @ Komunitas Spiritual Indonesia <http://groups.yahoo.com/group/spiritual-indonesia>. New Email names for you! Get the Email name you've always wanted on the new @ymail and @rocketmail. Hurry before someone else does! http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/aa/