Mari belajar memahami proses perjalanan manusia, dari alam kandungan menuju 
alam akherat, namun harus mampir dulu di alam dunia.

Manusia lahir seorang diri, bertelanjang tanpa busana, dengan kebanyakan awal 
masuk ke alam dunia ini dimulai dengan tangisan. 
Lahir seorang diri. Kemudian orang-orang sekitarnya mengenalkan siapa ayah 
ibunya, siapa saudaranya, siapa temannya, dll. Perkenalan dan pergaulan dengan 
orang lain ini sering tanpa sadar membuat kita "merasa tidak sendiri lagi". Ini 
gambaran normal.
Ada juga manusia yang terlahir tanpa tahu siapa bapak ibunya. Dia terdampar dan 
dipelihara entah oleh siapa. Walaupun tidak ada status keterkaitan secara 
biologis, namun dapat pula tercipta hubungan orangtua-anak-saudara, asalkan 
semua itu mendapat kesepatakan bersama.

Adanya modal perasaan, membuat manusia mampu merasakan benci, cinta, cemburu, 
iri, dll, dengan manusia lainnya.
Adanya logika, membuat manusia bisa berhitung untung rugi, kepada siapa minta 
tolong, kepada siapa menyuruh, dll.

Ketika manusia di dunia, muncul pertanyaan, apa tujuanNYA menciptakan orangtua, 
saudara, pasangan, teman, dll. buat dirinya. Apakah sekedar untuk menikmati 
kebahagiaan, mengumbar hawa nafsu, dll. Ada yang menjawab dengan santun, bahwa 
semua itu dalam rangka ibadah. Tetapi ibadah apa? 
Kemudian banyak orang yang sedih, depresi, dan tidak ada gairah hidup manakala 
dia ditinggal mati oleh orang-orang terkasih (baca: yang mencurahkan 
kasihsayang kepadanya). Salahkah fenomena ini?

Sebenarnya, manusia itu diciptakan seorang diri, lahir seorang diri, dan akan 
menuju alam berikutnya juga seorang diri. Makna seorang diri adalah bahwa semua 
perbuatan harus dipertanggungjawabkan sendiri.

Sebenarnya, perjalanan panjang ini memerlukan 'barter' dengan Sang Pencipta 
berupa perbuatan amal kebaikan. Keberadaan orang lain (orangtua, saudara, 
teman, pasangan, dll.) secara hakekat hanyalah merupakan teman untuk berbarter. 
Kita berikan amal kebaikan ke mereka, maka Allah akan melapangkan perjalanan 
kehidupan lintas dunia.
JADI, kebaikan yang kita perbuat bukan KARENA MAKHLUK, tetapi semua berpulang 
pada alasan karenaNYA.
Dengan begitu, kita tidak terlalu ambil pusing dengan feedback (umpan balik) 
dari orang yang kita ajak barter, karena besarnya kebaikan bukan dinilai dari 
besarnya 'kembalian' dari mereka. Ukuran kebaikan hanyalah perjanjian kita 
denganNYA.

Ketika kita mencintai orang, bukan karena orang itu membalas cinta kita, karena 
cinta kita berikan itu atas 'barter' denganNYA. Sehingga cinta kita tidak perlu 
berubah jadi benci apabila gayung tidak bersambut.

Ketika orangtua mendidik anaknya, tentu ada harapan agar anaknya juga bisa 
berbakti pada kedua orangtuanya. Andaikan tidak terjadi, itu bukan alasan 
orangtua untuk berhenti menyayangi anaknya.

Ketika seorang anak berbakti pada orangtuanya, itu bukan karena orangtuanya 
memberikan materi atau kasihsayangnya. Kebaktian itu adalah 'barter' si anak 
dengan Sang Pencipta. Jadi apapun respon orangtua, si anak tetap tak bergeming 
untuk selalu mengedepankan baktinya.

Semakin besar harapan kita untuk mendapat imbalan dari makhluk,
Semakin besar pula rasa sakit dan kecewa yang akan dirasakan.
Bahkan banyak orang berujung pada upaya kefasikan (merusak diri sendiri). 
Karena dia sudah terjebak ucapan untukNYA dipersonifikasikan untuk manusia, 
seperti :
"Kaulah segalanya bagiku"
"Aku tak bisa hidup tanpamu"
"Dunia ini terasa hampa tanpa engkau di sisiku", dll.

Untuk itu, makna ke-SENDIRI-an bukan berarti memupuk keegoisan, tetapi lebih 
menyadarkan bahwa semua yang ada di dunia ini hanyalah saran untuk menuju 
langkah berikutnya.

Yogyakarta, Kamis, 13 Mei 2010 pukul 21.47 WIB

Ki Asmoro Jiwo 
http://mkundarto.wordpress.com








      

Kirim email ke