Bahasa Ibu, Bahasa Kalbu   
  Tak ada satu patah pun terucap dari bibirnya, pun tak terdengar suaranya. Ia 
hanya memainkan sedikit matanya untuk membuat kami mundur teratur beberapa 
langkah dan urung masuk ke dalam rumah. Rupanya, ibu tengah menerima beberapa 
orang tamu dan nampak sedang serius. Saya sempat berpikir, bahwa tamu-tamu itu 
hanya orang biasa, bukan orang penting yang tidak bisa diganggu sekian detik 
oleh kehadiran anak-anak kecil yang baru pulang sekolah. Saya juga tidak 
berniat mengganggu mereka, hanya sekadar mencium punggung tangan ibu beberapa 
detik, kemudian meluncur ke kamar. 
   
  Tapi maksud ibu berbeda, siapapun tamunya, penting atau tidak penting 
kedatangannya dan dari manapun datangnya tetap harus dihormati. Jadilah saya, 
abang dan adik-adik menunggu cukup lama di depan rumah. Tak berani masuk, 
apalagi memanggil-manggil ibu. Empat puluh menit sudah, si bungsu bahkan sudah 
terlelap di pojok teras rumah, keringatnya membasahi baju seragamnya yang 
kotor. Akhirnya, para tamu pun pamit pulang. “Eeh, baru pulang sekolah ya?” 
tanya mereka. Belum sempat kami menjawab, “Iya, baru sampai tuh,” sergah ibu. 
Sekali lagi, menjaga hati para tamu agar tak tersinggung. 
   
  Tak selalu begitu memang. Tapi dalam beberapa kesempatan, ibu sering 
mengajarkan kepada kami tentang sopan santun dan tatakrama. Maklum, 
sebelum-sebelumnya kami sering membuat ibu malu di hadapan tamunya dengan 
segala polah yang tak terkontrol. Yang minta minumlah, minta dibukakan sepatu, 
atau ini yang bikin ibu tambah malu, “Bu, belum masak ya? lapar nih...”
   
  ***
   
  Hari ibu tiba. Ini hari yang paling ditunggu oleh kami, karena hari ini 
adalah jadwal acara memasak bersama, tanpa ibu. Kami akan membiarkan ibu duduk 
mendampingi kami yang berjibaku dengan kompor dan peralatan masak. Sesekali 
saya menangkap wajah khawatir ibu saat saya menyalakan kompor minyak. Meski 
sudah sering dan bisa dibilang mahir saya melakukan pekerjaan itu, tetap saja 
mata ibu tak lepas dari tangan kecil ini yang menyulutkan api ke sumbu kompor. 
Begitu api menyala, cerialah wajahnya. Begitu juga ketika si bungsu 
memotong-motong wortel dan kentang dengan pisau yang ukurannya lebih besar dari 
tangannya. Maklum, si kecil itu teramat sering terluka jarinya oleh benda tajam 
itu. Setiap irisan wortel, setiap kali itu pula nafas ibu tertahan. Urusan 
barang pecah belah, ini urusan “orang gede”. Mulai dari mengambil dari rak 
piring, menatanya di meja makan, sampai mencucinya setelah pesta usai. Untuk 
satu hal ini, ibu harus merelakan beberapa benda kesayangannya benar-benar
 menjadi benda pecah-belah alias benar-benar pecah. 
   
  Hidangan pun tersaji, waktunya makan. Karena hari ibu, ibulah yang mendapat 
kehormatan sebagai orang pertama yang mencicipi masakan kami. Srrup... sesendok 
kuah sayur sup olahan kami pun diseruput ibu, dan... matanya menyeripit, 
bibirnya seperti menahan sesuatu, perlahan tenggorokannya terlihat seolah tak 
rela membiarkan kuah yang ada di lidahnya masuk ke perut. Seketika, lima wajah 
kami pun serempak mengerut, “kenapa?”
   
  “Sup ini... sup paling nikmat yang pernah ibu rasakan,” wajahnya kembali 
tenang dan ia pun mempersilahkan kami menikmati makan bersama hari itu. Namun 
sebelumnya, ibu mengajukan saran, “Sup ini sudah nikmat, tapi menurut ibu, 
kalau mau lebih nikmat airnya perlu ditambah ya.” Tangan terampil ibu pun 
mengolah kembali sup tersebut dengan menambah bumbu lainnya. Sepuluh menit 
berikutnya, barulah pesta sebenarnya dimulai. Sungguh, kami tak tahu apa yang 
terasa dilidah ibu dengan sup hasil olahan kami. 
   
  ***
   
  Suatu pagi, ibu mengaku kehilangan sejumlah uang belanjanya. Dikumpulkanlah 
lima anaknya untuk ditanya satu persatu. Meski ada orang lain selain kami, ibu 
tetap menganggap perlu untuk mengumpulkan anak-anaknya terlebih dulu. “Ibu 
menuduh kami?” tanya saya tergagap. “Bukan. Ibu hanya memberi tahu bahwa kita 
tidak masak hari ini, karena uang belanja ibu tidak ada,” ujar ibu lembut. 
   
  Kami pun berangkat sekolah dengan perasaan berat dan saling curiga, siapa 
yang tega mengambil uang ibu. Tidak sampai di situ, kami pun terbayang siang 
ini akan dilewati dengan perut lapar. Pulang sekolah, jangan harap ada makanan 
tersaji di meja makan. Saya sempat berpikir, akan saya pukul orang yang 
mengambil uang ibu. Karena dia akan menyebabkan semuanya kelaparan. 
   
  Kembali dari sekolah, aroma semur tahu kesukaan saya sudah tercium dari pagar 
depan rumah. Saya berlari ke dapur dan mendapati ibu sedang memasak. “Kok ibu 
masak? Uangnya sudah ketemu? Siapa yang mengambilnya?” pertanyaan beruntun saya 
dijawab ibu dengan senyum. “Siapapun dia, yang jelas dia sudah mengerti 
kepentingan keluarga lebih utama dari kepentingan sendiri,” jelas ibu. Saya 
tahu, ibu tak akan memberi tahu siapa orang dimaksud, karena ibu tak ingin kami 
membencinya. Apalagi memukulnya, seperti niat saya sebelumnya. 
   
  ***
   
  Ibu, rindu rasanya saya pada masa-masa indah seperti dulu. Semoga masih 
selalu ada waktu untuk kita mencipta terminal kenangan yang tak kalah indahnya 
dengan masa lalu. Sungguh, kadang ibu memang cerewet, tapi saya tahu semua itu 
adalah bahasa kalbu ibu yang selalu menyejukkan hati. 
   
  Happy mothers day, mom...
   
  Bayu Gawtama   





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/vbOolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

===================================================================
        Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
=================================================================== 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke