Episode Memperbaharui Cinta

Oleh Bahtiar HS

10 Jul 06 06:59 WIB

 

Sudah pukul 19.00 malam. Saatnya aku berangkat untuk mengejar pesawat 
ke Jakarta pukul 20.30. Traveling-bag sudah disiapkannya sejak pagi.

 

"Pergilah," katanya memandang mataku. "Ini belum waktunya. 
Kontraksinya bukan di fundus, tetapi di bagian bawah. Mungkin … sakit 
biasa."

 

Aku pun mengangguk berusaha yakin. Bagaimanapun ia seorang dokter. 
Dan, ia pun sudah aku bekali dengan alamat, no telp, dan ancar-ancar 
ke rumah bidan itu. Aku bahkan sudah meninggalkan pesan ke teman 
sekantor, jika sewaktu-waktu saat itu tiba, ia siap membantu.

 

Keningnya segera kucium setelah tanganku diciumnya mesra. Dan tas itu 
sudah kuangkat untuk kugelandang ke pintu depan. Tangannya menyuruhku 
pergi, tetapi kutahu matanya tidak. Ia bahkan tidak beranjak dari 
tempatnya karena sakit yang tak terperikan itu. Apakah ini sudah 
waktunya? Tanya batinku mencari kepastian. Bukankah perkiraannya masih 
9-10 hari lagi?

 

Kulihat kini mata itu basah.

 

Sedetik kemudian aku putuskan, "Kayaknya lebih baik aku tak jadi 
pergi." Begitulah kata-kataku meluncur dan tas kuletakkan kembali.

 

Ia terkesima. "Nggak papa, ta, Mas?" tanyanya, sembari mengusap sembab 
matanya. "Aku nggak papa, kok. Kalaupun nanti ke bidan sendiri, aku 
bisa."

 

"Nggak. Aku bisa tunda acara di Jakarta besok."

 

Ia memelukku dalam isak.

 

"Coba kita lihat sampai besok, " bisikku. "Jika sakit itu mereda, aku 
bisa ke Jakarta petangnya."

 

Ia mengangguk. Aku segera memapahnya berbaring.

 

Kukontak teman seperjalanan. Dan kukatakan padanya keadaanku. Ia bisa 
mengerti. Segera aku ke kantor yang hanya 5 menit dari rumah untuk 
menitipkan data agar diserahkan ke anggota timku di Jakarta.

 

Belum selesai mengcopy ini-itu, sebuah SMS masuk ke mailbox HP-ku. 
"Mas, jangan lama-lama, ya?" begitu isinya. Dari isteriku. Secepat 
kilat kuserahkan data yang belum lengkap itu ke teman seperjalananku. 
Aku segera balik ke rumah.

 

Ternyata benar. Tak menunggu menit berlalu, ia sudah mengeluarkan 
tanda-tanda itu. Kontraksi di bawah perut yang semakin menguat 
membuatnya nyaris tak kuat berdiri, bahkan beringsut. Sepercik cairan 
merah atau coklat, aku tak tahu pasti, semakin menambah keyakinan 
bahwa saatnya telah tiba. Maju dari perkiraan.

 

Kutelpon temanku yang mau meminjami mobil. Segera aku berbenah. Cepat. 
Tak ada waktu menunggu. Dua potong jarit, setumpuk popok, stagen, 
pakaian ganti luar dalam, softtex, minyak but-but, spirulina. Semua 
kumasukkan asal-asalan dalam tas kuning yang sudah disiapkannya jauh 
hari.

 

Mobil pinjaman teman segera datang. Dan ia pun kubawa pergi. Sementara 
aku mengatakan padanya untuk tenang dan terus bertahan, aku sendiri 
menyumpah-serapahi mobil-motor di depanku yang tak segera beranjak 
ketika lampu lalu-lintas sudah kuning berkelip-kelip menuju hijau. 
Sementara aku katakan padanya sebentar lagi sampai di tempat tujuan, 
aku sendiri tegang: penginnya ngebut karena tujuan masih jauh, tapi 
tak mungkin.

 

Ketika akhirnya sampai di tujuan, hujan turun gerimis dan dia sudah 
buka 10! Bu Is, bidan kami, segera beraksi. Suntikan, tabung oksigen, 
selimut, sarung tangan, botol-botol cairan. Lampu-lampu dinyalakan. 
Celemek dipakaikan. Sementara ia, yang telah menyiapkan tasku sejak 
pagi, meringis menahan sakit di atas pembaringan. Bu Is menyuntik 
seraya memegang-megang perut buncitnya. Asistennya menyiapkan ember.

 

Aku menggenggam tangannya. Aku memegang keningnya. Peluh bercucuran.

 

Dan kami semua menunggu detik-detik itu.

 

Tak berapa lama, ia mengejan. Bu Is memberi aba-aba. Aku menggenggam 
lebih erat tangannya. Ia mengambil napas panjang. Ia mengejan lagi. 
Suaranya seperti ingin menghentakkan sesuatu yang sangat berat. 
Wajahnya pias bertaburan keringat. Aku komat-kamit berdoa sambil 
mengusap titik-titik air yang terus mengalir di seluruh wajahnya.

 

Ia berhenti sejenak lagi, mengambil napas panjang lagi, dan mengejan 
lagi! Bu Is memberi aba-aba. Aku pucat. Kudengar kemudian suara 
seperti karet yang teregang begitu kuat, melewati batas maksimal 
regangannya. Seperti mau putus. Dan kulihat kepala itu. Perlahan, di 
sela riuh aba-aba Bu Is, ejanan dan erangan dirinya, dan suaraku 
sendiri yang menguatkannya untuk terus mendorong. Terus! Dorong! Kini 
kulihat perlahan leher, lalu punggung, tangan, dan akhirnya kaki 
keluar cepat diikuti … byoorrr! Ketuban mengalir laksana air bah. 
Putih. Bening seperti air beras.

 

Ia terengah serupa habis mengangkat beban ribuan karung. Terkulai 
pucat-pasi. Lelah tiada tara. Kemudian terdengar oek-oek memecah 
malam. Hujan gerimis di luar terdengar jelas menusuki atap genting.

 

"Laki-laki, Mas," Bu Is memberi kabar seperti angin sejuk mengaliri 
padang gersang. Isteriku tersenyum, dan sepertinya semua yang 
dialaminya seketika hilang, tergantikan dengan kegembiraan yang tak 
tergambarkan. Aku tersenyum padanya. Laki-laki, bisikku padanya 
mengulang. Ia menggenggam erat tanganku.

 

"Aku capek sekali, " katanya.

 

Tapi kutahu, sinar matanya menyiratkan suka-cita.

 

Alhamdulillah! Allahu Akbar! Laki-laki, sama denganku. 3,8 kg. Lahir 
per vaginam. 12 Pebruari 2006 jam 21.00 WIB.

 

Seketika nyawaku saat itu serasa menjadi rangkap!

 

***

 

Persalinan merupakan peristiwa besar penuh misteri. Peristiwa 
berdarah-darah.

 

Ia seperti sebuah garis batas yang mengkhawatirkan. Tak jarang 
mengerikan. Barang siapa melaluinya seperti halnya melewati batas 
antara hidup dan mati. Ia harus dilakoni bukan oleh seorang pria 
gagah-perkasa, melainkan seorang wanita dengan segala kelemahannya. 
Saking beratnya episode ini, Rasul menimbangnya sebagai sama dengan 
jihad di medan peperangan.

 

Pernahkah Anda mengalami keadaan ini. Isteri sudah berkontraksi penuh. 
Bidan lalu memecah ketuban untuk memperlancar persalinan. Tetapi 
ketika memeriksa, ia seperti berteriak histeris, "Bu, ini bukan 
kepala! Bayinya sungsang! Saya tidak berani. Tunggu, tahan dulu! Saya 
akan panggilkan dokter!"

 

Ia lalu menelepon dokternya setengah berteriak-teriak seakan-akan 
seekor anjing galak sudah bersiap menggigit kakinya. Sementara Anda, 
seorang laki-laki perkasa yang hanya bisa bengong dan tak tahu harus 
berbuat apa melihat isteri Anda tersiksa begitu rupa. Di saat itulah 
Anda akan merasakan betapa bayang kematian terasa di depan mata dan 
Anda betapapun perkasanya seperti tiada berguna. Betapa kekhawatiran 
akan kehilangan seseorang, detik itu, menghantui diri Anda.

 

Saya pernah mengalaminya saat kelahiran anak saya kedua.

 

Ini kali keempat saya mendampingi isteri melewati garis batas itu. 
Tetapi, rasanya seperti mendampingi proses kelahiran anak yang 
pertama, kedua, dan ketiga. Selalu saja timbul pertanyaan itu: akankah 
masih bisa menjumpai senyumnya setelah episode ini?

 

Melihatnya meringis menahan sakit, menggenggam tangannya ketika 
mengejan, melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana ia mengeluarkan 
buah hati kami, sungguh merupakan episode yang menggetarkan. Dan, 
sehabis itu, cinta ini seperti semakin tumbuh. Menjulang. Apakah 
memang cinta justru akan menemukan titik puncaknya ketika dihadapkan 
pada situasi antara hidup dan mati? Di saat kemungkinan hidup sama 
tipisnya dengan kemungkinan tidak menjumpainya lagi?

 

Karena sebab ini pulalah, saya berupaya untuk selalu mendampinginya 
pada peristiwa berdarah-darah itu. Melihatnya bergulat maut, membuat 
saya tidak akan pernah tega melukai hatinya. Apalagi memukulnya. 
Sungguh, apa yang saya sandang, apa yang saya kerjakan sejak keluar 
pagi dan pulang petang untuk mereka yang di rumah, tidaklah sepadan 
dengan apa yang harus dialami wanita perkasa itu.

 

Wahai! Betapa benar sabda Rasul SAW bahwa sebaik-baik suami adalah 
yang terbaik akhlaknya kepada isterinya. Dengan membandingkan 
pengorbanan pada peristiwa persalinan ini saja, rasanya, Anda, para 
suami tidak ada apa-apanya jika dibandingkan wanita yang anak-anak 
Anda memanggil padanya ibu.

 

Karenanya, mendampinginya bersalin adalah sebuah terapi jiwa, 
sekaligus episode pembaharuan cinta padanya. Jadi, jika rasanya cinta 
saya padanya sedikit terdegradasi, barangkali sudah waktunya bagi saya 
mendampinginya lagi untuk bersalin.

 

Ha ha ha. Sepertinya senda-gurau. Tetapi percayalah, ini serius. Dan 
satu hal yang selayaknya diingat adalah bahwa yang dibutuhkannya pada 
saat genting itu bukanlah ibu ataupun mertua Anda. Ia hanya 
membutuhkan genggaman tangan Anda. Jadi, sudahkah Anda melakukannya?

 

Wa Allahu a'lam.

 

***

 

Bahtiar HS

http://bahtiarhs.multiply.com










------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Yahoo! Groups gets a make over. See the new email design.
http://us.click.yahoo.com/XISQkA/lOaOAA/yQLSAA/vbOolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

===================================================================
        Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
=================================================================== 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke