MAKHLUK DAN SANG PENCIPTA
   
  Ketika kita berbicara tentang wihdatul wujud, atau Tauhidul wujud -  
manunggaling kawula Ian gusti - kita tidak bisa melepaskan diri dari keberadaan 
dua tokoh terkenal: Husain bin Mansyur al Hallaj dan Syech Siti Jenar. Mereka 
adalah tokoh-tokoh yang dikenal sebagai penganut faham bersatunya makhluk 
dengan Tuhannya. Al Hallaj hidup pada abad ke 10 di Bagdad, sedangkan Syech 
Siti Jenar abad ke 16 di Pulau Jawa.
   
  Sampai akhir hayatnya dihukum oleh 'penguasa' pada zaman itu kedua tokoh 
tersebut tetap Istiqamah berpendapat bahwa Allah dan makhluk adalah satu 
kesatuan yang tidak terpisahkan.
   
  Lepas dari berbagai penyimpangan pemahaman dan kontroversi yang terjadi baik 
oleh para muridnya maupun periwayat konsep 'Bersatunya Tuhan & Makhluk' ini 
sangat menarik untuk dikaji.
   
  Benarkah Al Qur'an mengajarkan tentang 'bersatunya Tuhan dengan makhluk 
'ataukah tidak. Sebagai konsep Tauhid, tidak bisa tidak, kita harus 
mendiskusikannya agar memperoleh kefahaman yang holistik alias menyeluruh. 
Kefahaman Tauhid yang baik akan memberikan dasar yang kuat bagi seluruh proses 
beragama kita.
   
  Saya mengenal untuk pertama kalinya tentang Tauhidul wujud dari ayah saya. 
Waktu itu, saya masih sekolah SD, entah usia berapa. Ayah bertanya kepada saya, 
saat kami masih di meja makan usai makan malam: "tahu nggak kamu, Tuhan ada 
dimana?"
   
  Ayah memang biasa mengajak diskusi anak-anaknya. Atau kadang sekadar 
bercerita agama. Tidak ada waktu khusus. Beliau bisa bercerita atau mengajak 
diskusi kapan saja beliau mau. Kebanyakan, beliau mengajarkan ilmu tauhid 
kepada kami.
   
  Namun, diskusi di meja makan itu, agaknya telah menjadi 'provokasi' yang 
sangat mengesankan dalam pemahaman saya terhadap agama, yang kemudian teringat 
sampai kini. Provokasi itu telah menjelma menjadi inspirasi tiada henti dalam 
kehidupan saya.Yang kemudian, mengalir di tulisan-tulisan saya: Terus 'mencari' 
Allah lewat pendekatan empirik.
   
  Waktu itu, saya menjawab pertanyaan ayah sekenanya sebagai anak kecil. Saya 
katakan, Tuhan ada di Surga! Ayah saya bukan membenarkan atau menyalahkan, tapi 
malah bertanya lagi. ‘Kalau Tuhan di Surga, apakah di luar Surga tidak ada 
Tuhan?"
   
  Wah, sulit juga bagi anak kecil untuk menjawab pertanyaan itu! Secara spontan 
saya menjawab pertanyaan tersebut dengan mencari jawaban lain. Saya katakan, 
'kalau begitu, Tuhan pasti ada di langit' 
   
  Bayangan saya, langit begitu besarnya. Mungkin lebih besar dari surga. Dan 
saya sering melihat orang-orang berdoa menengadah ke langit. Pasti inilah 
jawaban yang benar, pikir saya.
   
  Tapi, lagi-lagi, ayah saya tidak membenarkan atau menyalahkan, melainkan 
menyodori pertanyaan berikutnya. "Kalau Tuhan berada di langit, apakah DIA 
tidak berada di Bumi bersama kita? Jauh sekall Tuhan dari kita?"
   
  Saya tidak mau menyerah begitu saja, meskipun saya menangkap nuansa bahwa 
jawaban saya tersebut dianggap ayah tidak tepat. Maka, saya lantas 'menebak' 
sekali lagi. "Kalau gitu, Tuhan bersama kita semua" sahut saya! Ayah saya 
tersenyum, tapi sambil bertanya terus: 'Kalau Tuhan bersama setiap manusia, 
apakah DIA itu banyak? Bukankah DIA cuma SATU?" Sampai di sini, buntulah akal 
saya. Menyerah. “Jadi, Tuhan ada di mana?ESergah saya setengah putus asa.
   
  Ayah lantas mengambil gelas yang berisi air teh di meja makan. Bukan 
menjawab, tapi masih terus bertanya. "Kamu lihat air teh yang berwarna 
kecoklatan ini. Dari mana warna tersebut?" Tentu saja saya jawab: "dari daun 
teh yang dicelupkan ke dalam air"
              
  Beliau lantas bertanya lagi:"apakah kamu bisa membedakan antara warna air 
dengan warna teh di dalam air teh ini?" Saya menggelengkan kepala. Karena, 
tentu saja, saya tidak bisa membedakan warna air dengan warna tehnya. Keduanya 
telah menyatu dalam 'air teh' yang berwarna kecoklat-coklatan.
   
  Begitulah keberadaan Tuhan terhadap makhluk-Nya. Tuhan ibarat air putih, 
sedangkan makhluk ibarat daun teh yang dicelupkan. Keduanya kini menjadi satu. 
Warna teh sudah larut ke dalam air putih, menjadi air teh yang berwarna 
kecoklat-coklatan."
   
  Saya manggut-manggut. Meskipun, sebenarnya tidak cukup mengerti dengan 
perumpamaan tersebut. Saya hanya menangkap kesan, bahwa ayah saya sedang ingin 
mengajarkan: Tuhan itu bersatu dengan makhlukNya tanpa dapat dipisahkan, 
bagaikan warna air putih dengan warna teh, yang telah menyatu ke dalam segelas 
air teh...
   
  Ketidakpahaman saya itu terus memprovokasi pikiran saya sampai dewasa. Dan 
baru menemukan bentuknya setelah saya cukup dewasa dalam berpikir, 
bertahun-tahun kemudian. Apalagi setelah saya membaca beberapa diskusi tentang 
konsep wihdatul wujud dan Tauhidul wujud yang diturunkan dari Al Hallaj dan 
Siti Jenar. Ketiganya memiliki kemiripan dalam mempersepsi kebersatuan antara 
Tuhan dengan makhlukNya.
   
  Konsep ini memang tidak mudah untuk dipahami. bahkan boleh dikata cukup 
rumit. Karena itu, tidak semua orang bisa memahami dengan tepat. Apalagi jika 
tidak pas dalam membuat perumpamaannya. Maka, saya lantas bisa mengerti kenapa 
banyak murid kedua tokoh itu, atau periwayat sejarah dan ajaran mereka, 
cenderung 'meleset' dalam memahami kebersatuannya dengan Allah.
   
  Saya pun baru menyadarinya belum lama ini. Setelah lebih banyak melakukan 
eksplorasi ayat-ayat tauhid dari dalam Al Qur’an. 
   
  Kesalahan yang paling mendasar dari kefahaman tauhidul wujud selama ini, 
agaknya terletak pada ‘menyamakan derajatEantara makhluk dengan Allah. 
Barangkali, ini dikarenakan sulitnya menjelaskan konsep manunggaling kawula lan 
gusti itu. Tidak ada perumpamaan yang bisa menjelaskan dengan persis, konsep 
tersebut.
   
  Ayah saya mengatakan, semakin paham kita tentang konsep tauhid, sebenarnya 
kita semakin tidak mampu untuk menjelaskan secara tepat. Bahasa manusia sudah 
tidak mencukupi lagi untuk menceritakan Eksistensi Allah.
   
  Namun, tidak bisa tidak, kita harus menceritakan sebagai pembelajaran. Agar 
kita memperoleh kepahaman. Disinilah problem utamanya.
   
  Ketika ayah saya mengambil air teh sebagai perumpamaan bersatunya makhluk 
dengan Allah, saya akui saya terjebak pada kesan bahwa Allah dan makhluk 
memiliki derajat yang sama. Ya, bagaikan warna air yang telah menyatu dengan 
warna teh.
   
  Saya terjebak pada kesan bahwa air memiliki volume yang sama persis dengan 
volume teh yang telah larut di dalam air. Yaitu, sama-sama 1 gelas! 
Keterjebakan ini dialami juga oleh para murid Siti Jenar   atau bahkan mungkin 
oleh Siti Jenar sendiri ketika mengatakan ‘dirinya adalah AllahE karena sudah 
bersatu denganNya. Padahal, bukan begitu maksud perumpamaan di atas. Ada juga 
yang mengumpamakan api dan kayu bakar, sama-sama terbakar.
   
  Sebenarnya, ayah saya ingin menegaskan bahwa warna teh telah larut ke dalam 
warna air. Atau dengan kata lain, eksistensi makhluk telah larut ke dalam 
eksistensi Allah, Tapi, tetap saja, warna teh bukanlah warna air, yang telah 
melarutkannya. Atau, to the point, makhluk bukanlah Allah. Dan Allah bukanlah 
makhluk!
   
  Dan yang kedua, dengan perumpamaan itu, beliau ingin mengatakan bahwa warna 
teh yang telah larut ke dalam warna air itu tidak bisa lagi dibedakan dari 
warna airnya. Kedua-duanya telah bersatu padu...
   
  Setelah dewasa, saya baru menyadari bahwa perumpamaan itu memang memiliki 
beberapa kelemahan dalam mewadahi konsep Tauhidul wujud. Karena bisa mengundang 
persepsi yang keliru. Bukan karena kesengajaan. Tetapi, sekadar karena kekurang 
tepatan dalam mengambil perumpamaan.
   
  Disinilah saya merasa perlu untuk melengkapi beberapa bagian yang saya anggap 
kurang pas. Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, saya melakukan berbagai 
eksplorasi terhadap konsep tauhid ini, dan ternyata saya tidak beranjak jauh 
dari apa yang diajarkan ayah saya sejak kecil.
   
  Bahwa makhluk memang tak mungkin berada di luar Allah. Tidak bisa tidak, 
makhluk mesti berasal dari Allah. Berada di dalam Nya & Bersatu denganNya.
   
  Tapi, barangkali sedikit berbeda dalam menguraikan masalah dan mengambil 
perumpamaannya. Karena, saya lebih banyak menjelaskan dari sudut pandang 
ilmu-ilmu empirik yang bertumpu pada rasio dan logika yang memang menjadi 
bahasa komunikasi masyarakat modern.
   
  Tentu saja, dengan satu harapan: jangan sampai pembaca menganggap dirinya 
sederajat dengan Allah, karena sudah merasa bersatu denganNya. Apalagi, lantas 
meninggalkan syariat ibadah yang diajarkan oleh Rasulullah saw!
   
  Semoga bermanfaat. Selamat berdiskusi...
   
   
  BENARKAH TUHAN ADA?
   
  Tidak semua kita yakin bahwa Tuhan benar-benar ada! Apalagi yakin tentang 
keberadaan Allah sebagai Tuhan satu-satunya di alam semesta. Kalau pun yakin, 
biasanya, tingkatnya tidak 'benar-benar yakin'. Cuma sekadar percaya! Lho, 
memang apa beda antara 'yakin' dengan 'percaya'? Dan apa pula bedanya Tuhan 
dengan Allah?
   
  Ada beberapa tingkatan orang ber keyakinan tentang keberadaan Tuhan. Tapi 
secara garis besar, kita bisa membaginya hanya dalam dua kelompok saja yaitu : 
mereka yang tidak percaya bahwa Tuhan ada, dan mereka yang mempercayai 
keberadaanNya. Masing-masing memiliki derajat ketidakpercayaan atau kepercayaan 
yang berbeda-beda.
   
  1. Tidak percaya bahwa Tuhan ada
  Dalam sejarah kemanusiaan, kita mengetahui ada sekelompok orang yang tidak 
percaya terhadap adanya Tuhan. Mereka sering kita sebut sebagai kelompok Atheis 
alias orang-orang yang tidak bertuhan.
   
  Mereka terdiri dari berbagai macam golongan masyarakat dan strata kecerdasan. 
Ada yang mampu secara ekonomi atau sebaliknya. Ada juga yang mampu secara 
intelektual dan sebaliknya. Sangat menarik untuk memahami bahwa mereka bisa 
mencapai kesimpulan tentang tidak adanya Tuhan. Lebih jauh, kalau dilihat latar 
belakangnya, mereka bisa dikelompokkan lagi ke dalam beberapa golongan.
  a. Orang yang tidak percaya kepada Tuhan karena kesombongan. Misalnya, mereka 
merasa tidak perlu bertuhan karena 'merasa' bisa mengatasi segala kebutuhannya 
sendiri.
  b. Orang yang tidak percaya kepada Tuhan, karena kebodohan dan 
ketidakmampuannya. Ini, tentu saja, sangat memprihatinkan. Karena biasanya 
mereka hanya menjadi korban dari orang-orang yang dianggapnya pintar dan 
memiliki otoritas tertentu.
  c. Orang yang tidak percaya kepada Tuhan, karena malas berpikir dan tidak mau 
repot karenanya. Bertuhan, menurut mereka malah dianggap sebagai kegiatan yang 
merepotkan saja. Karena, lantas harus melakukan upacara-upacara tertentu 
sebagai konsekuensi bertuhan. Jadi lebih baik tidak bertuhan saja.
   
  Namun, pada dasarnya, tidak ada seorang pun yang benar-benar tidak bertuhan. 
Dulu, kini maupun nanti. Sebab makna bertuhan, sebenarnya adalah menempatkan 
'sesuatu' menjadi pusat dan tujuan bagi kehidupan seseorang.
   
  Jadi, ketika kita menempatkan 'kekuasaan' sebagai 'pusat dan tujuan' hidup 
kita, maka kita sebenarnya telah bertuhan pada kekuasaan. Dan ini terjadi sejak 
zaman dulu, kini, maupun nanti.
   
  Diantaranya, yang diceritakan di dalam Qur'an adalah Fir'aun dengan 
kekuasaannya yang besar. Sehingga, dia lantas menuhankan dirinya. Ini adalah 
contoh dari tipikal orang yang sombong. Dia merasa dirinya mampu mengatasi 
berbagai macam hal dalam kehidupannya. Bahkan dia menjadi tempat bergantung 
orang lain. Maka, dia merasa menjadi penguasa atas segala yang ada di 
sekitarnya. Kekuasaannya telah mendorong dirinya untuk bertuhan kepada dirinya 
sendiri. Yang kemudian, justru membawanya kepada kehancuran.
   
  Yang semacam Fir'aun ini bukan hanya terjadi pada zaman dulu. Sekarang pun 
banyak terjadi di berbagai belahan bumi. Sampai kapan pun.
   
  Ketika seorang presiden dari sebuah negara adikuasa menempatkan diri dan 
negaranya sebagai penguasa tertinggi dalam kehidupan manusia, maka ia 
sebenarnya telah menempatkan dirinya sebagai Tuhan. Padahal, sebenarnya tidak 
ada hak sedikit pun bagi seorang manusia, atau kelompok, untuk menguasai orang 
lain dan kelompok lain. Sungguh, ia telah menjadi Fir'aun, dalam dunia modern.
   
  QS. A' A'raaf (7) : 54
  Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi 
dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arsy. Dia menutupkan malam kepada 
siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan 
dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah Nya. Ingatlah, 
menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta 
alam.
   
  Ayat di atas dengan sangat gamblang mengatakan itu. Bahwa menciptakan dan 
memerintah itu hanyalah hak Allah saja. Sedangkan manusia dengan manusia 
lainnya cuma saling mengingatkan dan berkoordinasi untuk membentuk kehidupan 
yang harmonis dan sejahtera, secara adil. Karena, setiap kita memang memiliki 
derajat yang sama. Tidak boleh ada yang merendahkan dan menghina satu sama lain.
   
  Jadi kembali kepada konsep bertuhan setiap manusia yang telah menempatkan 
'sesuatu' sebagai pusat orientasi kehidupannya, maka ia telah menciptakan Tuhan 
dalam kehidupannya. 
   
  Itu bisa berupa apa pun. Seseorang bisa bertuhan kepada diri sendiri, pada 
kekuasaan, pada harta benda, pada wanita cantik, pada kesenangan duniawi, dan 
berbagai orientasi kehidupan yang mungkin.
   
  Kalau begitu definisinya, maka bisa dipastikan tidak ada orang yang tidak 
bertuhan di dalam kehidupannya. Persoalannya tinggal, kepada apa atau siapa dia 
bertuhan ... !
   
  Namun demikian, banyak juga orang yang mengatakan tidak bertuhan karena tidak 
paham dengan definisi ini. Termasuk orang yang sombong tersebut. Mereka tidak 
mau bertuhan kepada sesuatu di luar dirinya, karena menganggap dirinya sudah 
cukup bisa mengatasi dan memenuhi berbagai kebutuhan dalam hidupnya. Ya, 
sebenarnya dia telah bertuhan kepada dirinya sendiri. 
   
  Atau ada juga, kelompok lain, yang malas bertuhan karena dianggap merepotkan 
saja. Maka, dia sudah bertuhan kepada kemalasannya. Atau, orang yang lain lagi, 
mereka yang tidak berpengetahuan dan lantas ikut-ikutan, maka mereka telah 
bertuhan kepada orang lain. Atau bahkan bertuhan pada 'kebodohannya'. Jadi 
sekali lagi, tidak ada orang yang tidak bertuhan. Karena setiap kita memiliki 
kepentingan dan orientasi kehidupan yang mendominasi. Dan itulah Tuhan kita...
   
  2. Mereka yang percaya keberadaan Tuhan.
  Sementara itu, kelompok yang lain adalah mereka yang mempercayai bahwa Tuhan 
ada. Tentu saja dengan berbagai alasan dan latar belakangnya. Yang jika 
dikelompokkan lagi, maka orang-orang yang percaya terhadap keberadaan Tuhan ini 
pun ada beberapa golongan.
  a. Orang yang percaya pada Tuhan karena doktrin. Sejak kecil ia telah 
didoktrin oleh sekitarnya, termasuk oleh orang tua dan guru-gurunya, bahwa 
Tuhan memang ada. Meskipun, boleh jadi dia tidak paham alasannya. Atau tidak 
mengerti maksudnya. Karena banyak orang di sekitarnya percaya Tuhan itu ada, 
maka ia pun sepantasnya percaya bahwa Tuhan memang ada.
  b.  Orang yang percaya kepada Tuhan karena logika dan rasio. Akalnya 
mengatakan Tuhan mesti ada. Inilah orang-orang yang mencari keberadaan Tuhan 
lewat kecerdasannya. Akalnya, justru tidak bisa menerima jika ada yang 
mengatakan bahwa Tuhan tidak ada dalam kehidupannya. Karena dia bisa 
benar-benar 'melihat' dan merasakan hadirnya 'Suatu Kekuasaan Super' dalam 
kehidupannya. Dan itulah Tuhan.
  c.  Orang-orang yang percaya kepada Tuhan karena merasa membutuhkan 
kehadiranNya. Yang tanpa kehadiranNya, mereka merasa tidak berdaya. Inilah 
orang-orang yang melakukan pendekatan kepada tuhannya menggunakan Kesadaran 
Spiritual. 
  d.  Orang-orang yang memperoleh kesimpulan bahwa Tuhan yang ada di alam 
semesta ini sebenarnya adalah Tuhan Yang Satu. Bukan bermacam-macam seperti 
yang dianut oleh berbagai agama. Kita harus mencari 'Siapakah' sebenarnya Tuhan 
yang Satu itu. Dimanakah Dia berada. Bagaimanakah Dia. Dan sebagainya. Inilah 
orang-orang yang menggunakan Kesadaran Tauhidnya untuk mencari eksistensi 
Ketuhanan. Sang Penguasa Tunggal Jagad Semesta Raya.
   
  Jadi, bagi orang-orang yang percaya terhadap keberadaan Tuhan pun, belum 
tentu ia telah bertuhan secara benar. Karena, memang latar belakangnya bisa 
sangat beragam. Setidak-tidaknya mereka memiliki tingkat-tingkat kualitas yang 
berbeda-beda di dalam mempersepsi dan berinteraksi dengan Tuhannya. 
   
  Ketika seseorang hanya ikut-ikutan dalam bertuhan kepada sesuatu yang 
dianggapnya Tuhan, maka kita patut mempertanyakan apakah ia telah bertuhan 
secara benar. Apakah ia telah memiliki persepsi yang juga benar tentang Tuhan 
yang diimajinasikannya. Atau lebih jauh, apakah ia telah berinteraksi secara 
benar pula dengan Tuhannya itu.
   
  Jika, mereka merasa risau dengan pertanyaan itu, barangkali akan terjadi 
stimulasi untuk mencari Tuhan. Baik dalam mempersepsi maupun dalam hal 
berinteraksi. Jika ini yang terjadi, maka kualitas bertuhan orang itu akan 
meningkat. Ia mulai berpikir dan menggunakan akalnya untuk mempersepsi Tuhan 
dan melakukan kontak-kontak denganNya.
   
  Pada tingkatan yang lebih tinggi, orang yang sudah percaya pada keberadaan 
Tuhan akan menemukan sosok Tuhan yang dia butuhkan. Pada tingkat ini ia akan 
melakukan interaksi lebih intensif. Apalagi, jika interaksi itu telah terasa 
terjadi dalam 2 arah: dialogis. Maka, ia telah menemukan Tuhannya!
   
  Puncaknya, orang yang demikian ini akan bertemu dengan Tuhan yang Satu. 
Dialah Tuhan yang menguasai segala yang ada di dalam semesta. Tuhan yang 
menciptakan sekaligus memelihara. Tuhan yang Maha mengasihi, Maha Menyayangi. 
Tuhan yang Penuh Kesempumaan dalam eksistensiNya...
   
  Jadi, pada bagian pertama ini, kita boleh membuat kesimpulan sementara bahwa 
Tuhan adalah sesuatu yang pasti ada dalam kehidupan seseorang. Tidak mungkin 
seseorang tidak bertuhan. Tinggal, kepada apa dan kepada siapakah seseorang itu 
bertuhan .
   
   
  PERLUKAH KITA BERTUHAN?
   
  Tidak semua kita menganggap perlu untuk bertuhan. Meskipun, ia termasuk orang 
yang percaya kepada adanya Tuhan. Banyak hal yang melatarbelakangi seseorang 
sehingga ia memilih tidak bertuhan. Sehingga, bisa jadi, muncul pertanyaan di 
dalam benak Anda: "Ya, sebenarnya perlukah kita bertuhan?".
   
  Sejarah peradaban manusia menunjukkan, bahwa hampir di seluruh penjuru bumi 
manusia memiliki kebergantungan kepada sesuatu yang supranatural. Coba saja 
datang ke berbagai suku primitif di seluruh dunia, pasti mereka memiliki agama 
atau semacam agama, yang mengajarkan adanya kekuatan-kekuatan supranatural di 
luar kuasa manusia.
   
  Itulah Tuhan mereka. Apa pun bentuknya. Ada yang bertuhan kepada nenek 
moyangnya. Atau bertuhan kepada patung-patung. Atau bertuhan kepada 'penghuni' 
pohon. Bertuhan kepada berbagai macam azimat. Dan lain sebagainya.
   
  Dan sebenarnya bukan hanya pada kalangan primitif, masyarakat modern pun 
tidak ada yang tidak bertuhan. Meskipun, sebagian mereka menyatakan bahwa 
mereka tidak percaya kepada adanya Tuhan alias atheis. Pada kenyataannya mereka 
seringkali meminta bantuan dan bahkan bergantung kepada sesuatu, yang 
dianggapnya jauh lebih kuat dari dirinya. Kenapa demikian? Karena setiap kita 
menyadari betapa manusia ini demikian lemah. Nah, ketika seseorang telah 
bergantung dan bersandar kepada 'Sesuatu yang Lebih Kuat' itulah sebenarnya dia 
telah mengakui ada dan perlunya bertuhan. Apa pun namanya.
   
  Boleh jadi, masyarakat modern menyebutnya sebagai faktor X, kekuatan 
supranatural, dewi keberuntungan, dan lain sebagainya. Tapi intinya, setiap 
kita memerlukan adanya Tuhan dalam kehidupan kita.
   
  Pada skala kecerdasan yang lebih tinggi pun, tidak sedikit orang yang mengaku 
tidak mempercayai Tuhan. Katakanlah para ilmuwan. Baik ilmu kealaman maupun 
ilmu ilmu sosial, atau filsafat sekali pun.
   
  Sebagiannya telah saya bahas dalam diskusi sebelum ini : ‘Jiwa & Ruh.EMereka 
adalah orang-orang yang terlalu bertumpu pada 'Kesadaran Inderawi'. Atau, 
sedikit lebih tinggi, adalah 'Kesadaran Rasional'.
   
  Orang-orang yang membangun kesadarannya hanya bertumpu pada keduanya, hanya 
akan memperoleh kesadaran yang bersifat materialistik alias lahiriah. Mereka 
tidak menyangka bahwa ada eksistensi yang bersifat batiniah, yang juga nyata. 
Tapi, mereka tidak mampu ‘menangkapnyaE
   
  Yang tertangkap olehnya hanya sebagian saja dari sifat ketuhanan: yang 
bersifat lahiriah. Dan mereka tidak menganggap itu sebagai Tuhan. Karena bagi 
mereka, Tuhan haruslah bersifat batiniah.
   
  Yang lebih jelek lagi, mereka malah menganggap Tuhan tidak perlu ada karena 
menurut mereka hukum alam ini sudah bisa berfungsi dengan sendirinya tanpa 
melibatkan eksistensi Tuhan.
   
  Padahal, Tuhan meliputi segala-galanya. Baik yang bersifat lahiriah maupun 
yang bersifat batiniah. Termasuk, hukum alam yang mereka sebut-sebut berjalan 
dengan sendirinya itu sebenarnya adalah perwujudan dari 'sebagian' sifat-sifat 
Ketuhanan yang bisa kita observasi secara lahiriah. Sedangkan secara holistik, 
eksistensi Ketuhanan itu meliputi yang lahir maupun yang batin.
   
  Hal ini akan kita bahas lebih jauh pada bab yang lain, ketika kita berusaha 
mengenal Allah, Tuhan paling sempurna yang disembah oleh manusia.
   
  Jadi, setiap kita sebenarnya telah mengakui keberadaan Tuhan, dan sekaligus 
membutuhkanNya. Karena, itu memang telah menjadi fitrah manusia. Hal itu, telah 
Dia firmankan di dalam KitabNya, Al Qur’an al Karim.
   
  QS. Al A'raaf : 172
  Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari 
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya 
berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan 
kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari 
kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang 
yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
   
  Jadi, jelas sekali, bahwa setiap manusia memiliki naluri ketuhanan. 
Persoalannya adalah, apakah mereka merasa membutuhkan kehadiranNya ataukah 
tidak. Dalam hal interaksi dengan Tuhan ini, mereka terdiri dari beberapa 
kelompok, yaitu :
  1. Orang yang tidak mau melakukan interaksi dengan Tuhan, karena merasa tidak 
butuh. Itulah orang-orang yang kafir alias ingkar. Mengakui keberadaanNya, 
tetapi tidak mau menjadikan sebagai Tuhannya. Begitulah sifat yang ditunjukkan 
oleh Iblis dalam kisah penciptaan manusia pertama : Adam dan Hawa.
  2. Orang yang malas berinteraksi denganNya. Mereka anggap bahwa bertuhan 
merepotkan saja. Mereka tidak paham tentang konsep ketuhanan, dan perlunya 
bertuhan dalam kehidupannya. Itulah orang-orang yang dalam istilah Qur'an 
disebut sebagai orang yang lalai dan bodoh. Mereka harus lebih banyak lagi 
membangun wacana kehidupan. Jangan sampai usianya habis, menemui ajalnya, tapi 
belum tahu makna kehidupan yang sesungguhnya.
  3. Orang yang melakukan interaksi dengah Tuhan secara terpaksa. Mereka 
menjalankan agama secara ikut-ikutan, dan menganggap Tuhan sebagai Dzat yang 
harus disembah. Yang kalau tidak disembah bakal menjatuhkan sanksi neraka. Dan  
           kalau disembah bakal memberikan surga. Inilah orang yang belum tahu 
makna agama dan makna ibadahnya. Kelompok inilah yang disinyalir oleh 
rasulullah saw sebagai orang-orang yang melakukan puasa tanpa memperoleh makna 
puasanya kecuali lapar dan dahaga. Atau seperti orang yang sudah mengerjakan 
shalat, tetapi disuruh mengulangi shalatnya, karena sesungguhnya dia tidak 
menegakkan shalat di dalam ritual shalat. Atau seperti orang-orang yang riya' 
alias pamer di dalam zakat dan infaqnya. Atau seperti orang yang berhaji tanpa 
memahami makna hajinya, kecuali sekadar tour ke tanah suci. Atau lebih mendasar 
lagi, bagaikan orang yang membaca syahadat tapi tidak pernah menyaksikan makna 
syahadat di dalam kesehariannya.
  4. Orang yang merasakan manfaat dalam berinteraksi dengan Tuhan. Ia menemukan 
bahwa Tuhan adalah 'Sesuatu' yang Hidup, Berkehendak, Berkuasa, Adil, Sangat 
Penyayang, Suka Memberi, dan Sumber Segala Kenikmatan. Maka ia selalu 
merindukan untuk bisa selalu berinteraksi denganNya. Orang yang demikian ini, 
akhirnya melakukan interaksi dengan Tuhannya secara suka rela dan bahkan 
mencintaiNya. Inilah orang yang disebut sebagai muslimuun, yang telah berserah 
diri dan bergantung sepenuhnya kepada Dzat Yang paling Sempurna, Penguasa alam 
semesta.
   
              




===================================================================
        Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
=================================================================== 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke