MAKHLUK DAN SANG PENCIPTA Ketika kita berbicara tentang wihdatul wujud, atau Tauhidul wujud - manunggaling kawula Ian gusti - kita tidak bisa melepaskan diri dari keberadaan dua tokoh terkenal: Husain bin Mansyur al Hallaj dan Syech Siti Jenar. Mereka adalah tokoh-tokoh yang dikenal sebagai penganut faham bersatunya makhluk dengan Tuhannya. Al Hallaj hidup pada abad ke 10 di Bagdad, sedangkan Syech Siti Jenar abad ke 16 di Pulau Jawa. Sampai akhir hayatnya dihukum oleh 'penguasa' pada zaman itu kedua tokoh tersebut tetap Istiqamah berpendapat bahwa Allah dan makhluk adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Lepas dari berbagai penyimpangan pemahaman dan kontroversi yang terjadi baik oleh para muridnya maupun periwayat konsep 'Bersatunya Tuhan & Makhluk' ini sangat menarik untuk dikaji. Benarkah Al Qur'an mengajarkan tentang 'bersatunya Tuhan dengan makhluk 'ataukah tidak. Sebagai konsep Tauhid, tidak bisa tidak, kita harus mendiskusikannya agar memperoleh kefahaman yang holistik alias menyeluruh. Kefahaman Tauhid yang baik akan memberikan dasar yang kuat bagi seluruh proses beragama kita. Saya mengenal untuk pertama kalinya tentang Tauhidul wujud dari ayah saya. Waktu itu, saya masih sekolah SD, entah usia berapa. Ayah bertanya kepada saya, saat kami masih di meja makan usai makan malam: "tahu nggak kamu, Tuhan ada dimana?" Ayah memang biasa mengajak diskusi anak-anaknya. Atau kadang sekadar bercerita agama. Tidak ada waktu khusus. Beliau bisa bercerita atau mengajak diskusi kapan saja beliau mau. Kebanyakan, beliau mengajarkan ilmu tauhid kepada kami. Namun, diskusi di meja makan itu, agaknya telah menjadi 'provokasi' yang sangat mengesankan dalam pemahaman saya terhadap agama, yang kemudian teringat sampai kini. Provokasi itu telah menjelma menjadi inspirasi tiada henti dalam kehidupan saya.Yang kemudian, mengalir di tulisan-tulisan saya: Terus 'mencari' Allah lewat pendekatan empirik. Waktu itu, saya menjawab pertanyaan ayah sekenanya sebagai anak kecil. Saya katakan, Tuhan ada di Surga! Ayah saya bukan membenarkan atau menyalahkan, tapi malah bertanya lagi. Kalau Tuhan di Surga, apakah di luar Surga tidak ada Tuhan?" Wah, sulit juga bagi anak kecil untuk menjawab pertanyaan itu! Secara spontan saya menjawab pertanyaan tersebut dengan mencari jawaban lain. Saya katakan, 'kalau begitu, Tuhan pasti ada di langit' Bayangan saya, langit begitu besarnya. Mungkin lebih besar dari surga. Dan saya sering melihat orang-orang berdoa menengadah ke langit. Pasti inilah jawaban yang benar, pikir saya. Tapi, lagi-lagi, ayah saya tidak membenarkan atau menyalahkan, melainkan menyodori pertanyaan berikutnya. "Kalau Tuhan berada di langit, apakah DIA tidak berada di Bumi bersama kita? Jauh sekall Tuhan dari kita?" Saya tidak mau menyerah begitu saja, meskipun saya menangkap nuansa bahwa jawaban saya tersebut dianggap ayah tidak tepat. Maka, saya lantas 'menebak' sekali lagi. "Kalau gitu, Tuhan bersama kita semua" sahut saya! Ayah saya tersenyum, tapi sambil bertanya terus: 'Kalau Tuhan bersama setiap manusia, apakah DIA itu banyak? Bukankah DIA cuma SATU?" Sampai di sini, buntulah akal saya. Menyerah. Jadi, Tuhan ada di mana?ESergah saya setengah putus asa. Ayah lantas mengambil gelas yang berisi air teh di meja makan. Bukan menjawab, tapi masih terus bertanya. "Kamu lihat air teh yang berwarna kecoklatan ini. Dari mana warna tersebut?" Tentu saja saya jawab: "dari daun teh yang dicelupkan ke dalam air" Beliau lantas bertanya lagi:"apakah kamu bisa membedakan antara warna air dengan warna teh di dalam air teh ini?" Saya menggelengkan kepala. Karena, tentu saja, saya tidak bisa membedakan warna air dengan warna tehnya. Keduanya telah menyatu dalam 'air teh' yang berwarna kecoklat-coklatan. Begitulah keberadaan Tuhan terhadap makhluk-Nya. Tuhan ibarat air putih, sedangkan makhluk ibarat daun teh yang dicelupkan. Keduanya kini menjadi satu. Warna teh sudah larut ke dalam air putih, menjadi air teh yang berwarna kecoklat-coklatan." Saya manggut-manggut. Meskipun, sebenarnya tidak cukup mengerti dengan perumpamaan tersebut. Saya hanya menangkap kesan, bahwa ayah saya sedang ingin mengajarkan: Tuhan itu bersatu dengan makhlukNya tanpa dapat dipisahkan, bagaikan warna air putih dengan warna teh, yang telah menyatu ke dalam segelas air teh... Ketidakpahaman saya itu terus memprovokasi pikiran saya sampai dewasa. Dan baru menemukan bentuknya setelah saya cukup dewasa dalam berpikir, bertahun-tahun kemudian. Apalagi setelah saya membaca beberapa diskusi tentang konsep wihdatul wujud dan Tauhidul wujud yang diturunkan dari Al Hallaj dan Siti Jenar. Ketiganya memiliki kemiripan dalam mempersepsi kebersatuan antara Tuhan dengan makhlukNya. Konsep ini memang tidak mudah untuk dipahami. bahkan boleh dikata cukup rumit. Karena itu, tidak semua orang bisa memahami dengan tepat. Apalagi jika tidak pas dalam membuat perumpamaannya. Maka, saya lantas bisa mengerti kenapa banyak murid kedua tokoh itu, atau periwayat sejarah dan ajaran mereka, cenderung 'meleset' dalam memahami kebersatuannya dengan Allah. Saya pun baru menyadarinya belum lama ini. Setelah lebih banyak melakukan eksplorasi ayat-ayat tauhid dari dalam Al Quran. Kesalahan yang paling mendasar dari kefahaman tauhidul wujud selama ini, agaknya terletak pada menyamakan derajatEantara makhluk dengan Allah. Barangkali, ini dikarenakan sulitnya menjelaskan konsep manunggaling kawula lan gusti itu. Tidak ada perumpamaan yang bisa menjelaskan dengan persis, konsep tersebut. Ayah saya mengatakan, semakin paham kita tentang konsep tauhid, sebenarnya kita semakin tidak mampu untuk menjelaskan secara tepat. Bahasa manusia sudah tidak mencukupi lagi untuk menceritakan Eksistensi Allah. Namun, tidak bisa tidak, kita harus menceritakan sebagai pembelajaran. Agar kita memperoleh kepahaman. Disinilah problem utamanya. Ketika ayah saya mengambil air teh sebagai perumpamaan bersatunya makhluk dengan Allah, saya akui saya terjebak pada kesan bahwa Allah dan makhluk memiliki derajat yang sama. Ya, bagaikan warna air yang telah menyatu dengan warna teh. Saya terjebak pada kesan bahwa air memiliki volume yang sama persis dengan volume teh yang telah larut di dalam air. Yaitu, sama-sama 1 gelas! Keterjebakan ini dialami juga oleh para murid Siti Jenar atau bahkan mungkin oleh Siti Jenar sendiri ketika mengatakan dirinya adalah AllahE karena sudah bersatu denganNya. Padahal, bukan begitu maksud perumpamaan di atas. Ada juga yang mengumpamakan api dan kayu bakar, sama-sama terbakar. Sebenarnya, ayah saya ingin menegaskan bahwa warna teh telah larut ke dalam warna air. Atau dengan kata lain, eksistensi makhluk telah larut ke dalam eksistensi Allah, Tapi, tetap saja, warna teh bukanlah warna air, yang telah melarutkannya. Atau, to the point, makhluk bukanlah Allah. Dan Allah bukanlah makhluk! Dan yang kedua, dengan perumpamaan itu, beliau ingin mengatakan bahwa warna teh yang telah larut ke dalam warna air itu tidak bisa lagi dibedakan dari warna airnya. Kedua-duanya telah bersatu padu... Setelah dewasa, saya baru menyadari bahwa perumpamaan itu memang memiliki beberapa kelemahan dalam mewadahi konsep Tauhidul wujud. Karena bisa mengundang persepsi yang keliru. Bukan karena kesengajaan. Tetapi, sekadar karena kekurang tepatan dalam mengambil perumpamaan. Disinilah saya merasa perlu untuk melengkapi beberapa bagian yang saya anggap kurang pas. Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, saya melakukan berbagai eksplorasi terhadap konsep tauhid ini, dan ternyata saya tidak beranjak jauh dari apa yang diajarkan ayah saya sejak kecil. Bahwa makhluk memang tak mungkin berada di luar Allah. Tidak bisa tidak, makhluk mesti berasal dari Allah. Berada di dalam Nya & Bersatu denganNya. Tapi, barangkali sedikit berbeda dalam menguraikan masalah dan mengambil perumpamaannya. Karena, saya lebih banyak menjelaskan dari sudut pandang ilmu-ilmu empirik yang bertumpu pada rasio dan logika yang memang menjadi bahasa komunikasi masyarakat modern. Tentu saja, dengan satu harapan: jangan sampai pembaca menganggap dirinya sederajat dengan Allah, karena sudah merasa bersatu denganNya. Apalagi, lantas meninggalkan syariat ibadah yang diajarkan oleh Rasulullah saw! Semoga bermanfaat. Selamat berdiskusi... BENARKAH TUHAN ADA? Tidak semua kita yakin bahwa Tuhan benar-benar ada! Apalagi yakin tentang keberadaan Allah sebagai Tuhan satu-satunya di alam semesta. Kalau pun yakin, biasanya, tingkatnya tidak 'benar-benar yakin'. Cuma sekadar percaya! Lho, memang apa beda antara 'yakin' dengan 'percaya'? Dan apa pula bedanya Tuhan dengan Allah? Ada beberapa tingkatan orang ber keyakinan tentang keberadaan Tuhan. Tapi secara garis besar, kita bisa membaginya hanya dalam dua kelompok saja yaitu : mereka yang tidak percaya bahwa Tuhan ada, dan mereka yang mempercayai keberadaanNya. Masing-masing memiliki derajat ketidakpercayaan atau kepercayaan yang berbeda-beda. 1. Tidak percaya bahwa Tuhan ada Dalam sejarah kemanusiaan, kita mengetahui ada sekelompok orang yang tidak percaya terhadap adanya Tuhan. Mereka sering kita sebut sebagai kelompok Atheis alias orang-orang yang tidak bertuhan. Mereka terdiri dari berbagai macam golongan masyarakat dan strata kecerdasan. Ada yang mampu secara ekonomi atau sebaliknya. Ada juga yang mampu secara intelektual dan sebaliknya. Sangat menarik untuk memahami bahwa mereka bisa mencapai kesimpulan tentang tidak adanya Tuhan. Lebih jauh, kalau dilihat latar belakangnya, mereka bisa dikelompokkan lagi ke dalam beberapa golongan. a. Orang yang tidak percaya kepada Tuhan karena kesombongan. Misalnya, mereka merasa tidak perlu bertuhan karena 'merasa' bisa mengatasi segala kebutuhannya sendiri. b. Orang yang tidak percaya kepada Tuhan, karena kebodohan dan ketidakmampuannya. Ini, tentu saja, sangat memprihatinkan. Karena biasanya mereka hanya menjadi korban dari orang-orang yang dianggapnya pintar dan memiliki otoritas tertentu. c. Orang yang tidak percaya kepada Tuhan, karena malas berpikir dan tidak mau repot karenanya. Bertuhan, menurut mereka malah dianggap sebagai kegiatan yang merepotkan saja. Karena, lantas harus melakukan upacara-upacara tertentu sebagai konsekuensi bertuhan. Jadi lebih baik tidak bertuhan saja. Namun, pada dasarnya, tidak ada seorang pun yang benar-benar tidak bertuhan. Dulu, kini maupun nanti. Sebab makna bertuhan, sebenarnya adalah menempatkan 'sesuatu' menjadi pusat dan tujuan bagi kehidupan seseorang. Jadi, ketika kita menempatkan 'kekuasaan' sebagai 'pusat dan tujuan' hidup kita, maka kita sebenarnya telah bertuhan pada kekuasaan. Dan ini terjadi sejak zaman dulu, kini, maupun nanti. Diantaranya, yang diceritakan di dalam Qur'an adalah Fir'aun dengan kekuasaannya yang besar. Sehingga, dia lantas menuhankan dirinya. Ini adalah contoh dari tipikal orang yang sombong. Dia merasa dirinya mampu mengatasi berbagai macam hal dalam kehidupannya. Bahkan dia menjadi tempat bergantung orang lain. Maka, dia merasa menjadi penguasa atas segala yang ada di sekitarnya. Kekuasaannya telah mendorong dirinya untuk bertuhan kepada dirinya sendiri. Yang kemudian, justru membawanya kepada kehancuran. Yang semacam Fir'aun ini bukan hanya terjadi pada zaman dulu. Sekarang pun banyak terjadi di berbagai belahan bumi. Sampai kapan pun. Ketika seorang presiden dari sebuah negara adikuasa menempatkan diri dan negaranya sebagai penguasa tertinggi dalam kehidupan manusia, maka ia sebenarnya telah menempatkan dirinya sebagai Tuhan. Padahal, sebenarnya tidak ada hak sedikit pun bagi seorang manusia, atau kelompok, untuk menguasai orang lain dan kelompok lain. Sungguh, ia telah menjadi Fir'aun, dalam dunia modern. QS. A' A'raaf (7) : 54 Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. Ayat di atas dengan sangat gamblang mengatakan itu. Bahwa menciptakan dan memerintah itu hanyalah hak Allah saja. Sedangkan manusia dengan manusia lainnya cuma saling mengingatkan dan berkoordinasi untuk membentuk kehidupan yang harmonis dan sejahtera, secara adil. Karena, setiap kita memang memiliki derajat yang sama. Tidak boleh ada yang merendahkan dan menghina satu sama lain. Jadi kembali kepada konsep bertuhan setiap manusia yang telah menempatkan 'sesuatu' sebagai pusat orientasi kehidupannya, maka ia telah menciptakan Tuhan dalam kehidupannya. Itu bisa berupa apa pun. Seseorang bisa bertuhan kepada diri sendiri, pada kekuasaan, pada harta benda, pada wanita cantik, pada kesenangan duniawi, dan berbagai orientasi kehidupan yang mungkin. Kalau begitu definisinya, maka bisa dipastikan tidak ada orang yang tidak bertuhan di dalam kehidupannya. Persoalannya tinggal, kepada apa atau siapa dia bertuhan ... ! Namun demikian, banyak juga orang yang mengatakan tidak bertuhan karena tidak paham dengan definisi ini. Termasuk orang yang sombong tersebut. Mereka tidak mau bertuhan kepada sesuatu di luar dirinya, karena menganggap dirinya sudah cukup bisa mengatasi dan memenuhi berbagai kebutuhan dalam hidupnya. Ya, sebenarnya dia telah bertuhan kepada dirinya sendiri. Atau ada juga, kelompok lain, yang malas bertuhan karena dianggap merepotkan saja. Maka, dia sudah bertuhan kepada kemalasannya. Atau, orang yang lain lagi, mereka yang tidak berpengetahuan dan lantas ikut-ikutan, maka mereka telah bertuhan kepada orang lain. Atau bahkan bertuhan pada 'kebodohannya'. Jadi sekali lagi, tidak ada orang yang tidak bertuhan. Karena setiap kita memiliki kepentingan dan orientasi kehidupan yang mendominasi. Dan itulah Tuhan kita... 2. Mereka yang percaya keberadaan Tuhan. Sementara itu, kelompok yang lain adalah mereka yang mempercayai bahwa Tuhan ada. Tentu saja dengan berbagai alasan dan latar belakangnya. Yang jika dikelompokkan lagi, maka orang-orang yang percaya terhadap keberadaan Tuhan ini pun ada beberapa golongan. a. Orang yang percaya pada Tuhan karena doktrin. Sejak kecil ia telah didoktrin oleh sekitarnya, termasuk oleh orang tua dan guru-gurunya, bahwa Tuhan memang ada. Meskipun, boleh jadi dia tidak paham alasannya. Atau tidak mengerti maksudnya. Karena banyak orang di sekitarnya percaya Tuhan itu ada, maka ia pun sepantasnya percaya bahwa Tuhan memang ada. b. Orang yang percaya kepada Tuhan karena logika dan rasio. Akalnya mengatakan Tuhan mesti ada. Inilah orang-orang yang mencari keberadaan Tuhan lewat kecerdasannya. Akalnya, justru tidak bisa menerima jika ada yang mengatakan bahwa Tuhan tidak ada dalam kehidupannya. Karena dia bisa benar-benar 'melihat' dan merasakan hadirnya 'Suatu Kekuasaan Super' dalam kehidupannya. Dan itulah Tuhan. c. Orang-orang yang percaya kepada Tuhan karena merasa membutuhkan kehadiranNya. Yang tanpa kehadiranNya, mereka merasa tidak berdaya. Inilah orang-orang yang melakukan pendekatan kepada tuhannya menggunakan Kesadaran Spiritual. d. Orang-orang yang memperoleh kesimpulan bahwa Tuhan yang ada di alam semesta ini sebenarnya adalah Tuhan Yang Satu. Bukan bermacam-macam seperti yang dianut oleh berbagai agama. Kita harus mencari 'Siapakah' sebenarnya Tuhan yang Satu itu. Dimanakah Dia berada. Bagaimanakah Dia. Dan sebagainya. Inilah orang-orang yang menggunakan Kesadaran Tauhidnya untuk mencari eksistensi Ketuhanan. Sang Penguasa Tunggal Jagad Semesta Raya. Jadi, bagi orang-orang yang percaya terhadap keberadaan Tuhan pun, belum tentu ia telah bertuhan secara benar. Karena, memang latar belakangnya bisa sangat beragam. Setidak-tidaknya mereka memiliki tingkat-tingkat kualitas yang berbeda-beda di dalam mempersepsi dan berinteraksi dengan Tuhannya. Ketika seseorang hanya ikut-ikutan dalam bertuhan kepada sesuatu yang dianggapnya Tuhan, maka kita patut mempertanyakan apakah ia telah bertuhan secara benar. Apakah ia telah memiliki persepsi yang juga benar tentang Tuhan yang diimajinasikannya. Atau lebih jauh, apakah ia telah berinteraksi secara benar pula dengan Tuhannya itu. Jika, mereka merasa risau dengan pertanyaan itu, barangkali akan terjadi stimulasi untuk mencari Tuhan. Baik dalam mempersepsi maupun dalam hal berinteraksi. Jika ini yang terjadi, maka kualitas bertuhan orang itu akan meningkat. Ia mulai berpikir dan menggunakan akalnya untuk mempersepsi Tuhan dan melakukan kontak-kontak denganNya. Pada tingkatan yang lebih tinggi, orang yang sudah percaya pada keberadaan Tuhan akan menemukan sosok Tuhan yang dia butuhkan. Pada tingkat ini ia akan melakukan interaksi lebih intensif. Apalagi, jika interaksi itu telah terasa terjadi dalam 2 arah: dialogis. Maka, ia telah menemukan Tuhannya! Puncaknya, orang yang demikian ini akan bertemu dengan Tuhan yang Satu. Dialah Tuhan yang menguasai segala yang ada di dalam semesta. Tuhan yang menciptakan sekaligus memelihara. Tuhan yang Maha mengasihi, Maha Menyayangi. Tuhan yang Penuh Kesempumaan dalam eksistensiNya... Jadi, pada bagian pertama ini, kita boleh membuat kesimpulan sementara bahwa Tuhan adalah sesuatu yang pasti ada dalam kehidupan seseorang. Tidak mungkin seseorang tidak bertuhan. Tinggal, kepada apa dan kepada siapakah seseorang itu bertuhan . PERLUKAH KITA BERTUHAN? Tidak semua kita menganggap perlu untuk bertuhan. Meskipun, ia termasuk orang yang percaya kepada adanya Tuhan. Banyak hal yang melatarbelakangi seseorang sehingga ia memilih tidak bertuhan. Sehingga, bisa jadi, muncul pertanyaan di dalam benak Anda: "Ya, sebenarnya perlukah kita bertuhan?". Sejarah peradaban manusia menunjukkan, bahwa hampir di seluruh penjuru bumi manusia memiliki kebergantungan kepada sesuatu yang supranatural. Coba saja datang ke berbagai suku primitif di seluruh dunia, pasti mereka memiliki agama atau semacam agama, yang mengajarkan adanya kekuatan-kekuatan supranatural di luar kuasa manusia. Itulah Tuhan mereka. Apa pun bentuknya. Ada yang bertuhan kepada nenek moyangnya. Atau bertuhan kepada patung-patung. Atau bertuhan kepada 'penghuni' pohon. Bertuhan kepada berbagai macam azimat. Dan lain sebagainya. Dan sebenarnya bukan hanya pada kalangan primitif, masyarakat modern pun tidak ada yang tidak bertuhan. Meskipun, sebagian mereka menyatakan bahwa mereka tidak percaya kepada adanya Tuhan alias atheis. Pada kenyataannya mereka seringkali meminta bantuan dan bahkan bergantung kepada sesuatu, yang dianggapnya jauh lebih kuat dari dirinya. Kenapa demikian? Karena setiap kita menyadari betapa manusia ini demikian lemah. Nah, ketika seseorang telah bergantung dan bersandar kepada 'Sesuatu yang Lebih Kuat' itulah sebenarnya dia telah mengakui ada dan perlunya bertuhan. Apa pun namanya. Boleh jadi, masyarakat modern menyebutnya sebagai faktor X, kekuatan supranatural, dewi keberuntungan, dan lain sebagainya. Tapi intinya, setiap kita memerlukan adanya Tuhan dalam kehidupan kita. Pada skala kecerdasan yang lebih tinggi pun, tidak sedikit orang yang mengaku tidak mempercayai Tuhan. Katakanlah para ilmuwan. Baik ilmu kealaman maupun ilmu ilmu sosial, atau filsafat sekali pun. Sebagiannya telah saya bahas dalam diskusi sebelum ini : Jiwa & Ruh.EMereka adalah orang-orang yang terlalu bertumpu pada 'Kesadaran Inderawi'. Atau, sedikit lebih tinggi, adalah 'Kesadaran Rasional'. Orang-orang yang membangun kesadarannya hanya bertumpu pada keduanya, hanya akan memperoleh kesadaran yang bersifat materialistik alias lahiriah. Mereka tidak menyangka bahwa ada eksistensi yang bersifat batiniah, yang juga nyata. Tapi, mereka tidak mampu menangkapnyaE Yang tertangkap olehnya hanya sebagian saja dari sifat ketuhanan: yang bersifat lahiriah. Dan mereka tidak menganggap itu sebagai Tuhan. Karena bagi mereka, Tuhan haruslah bersifat batiniah. Yang lebih jelek lagi, mereka malah menganggap Tuhan tidak perlu ada karena menurut mereka hukum alam ini sudah bisa berfungsi dengan sendirinya tanpa melibatkan eksistensi Tuhan. Padahal, Tuhan meliputi segala-galanya. Baik yang bersifat lahiriah maupun yang bersifat batiniah. Termasuk, hukum alam yang mereka sebut-sebut berjalan dengan sendirinya itu sebenarnya adalah perwujudan dari 'sebagian' sifat-sifat Ketuhanan yang bisa kita observasi secara lahiriah. Sedangkan secara holistik, eksistensi Ketuhanan itu meliputi yang lahir maupun yang batin. Hal ini akan kita bahas lebih jauh pada bab yang lain, ketika kita berusaha mengenal Allah, Tuhan paling sempurna yang disembah oleh manusia. Jadi, setiap kita sebenarnya telah mengakui keberadaan Tuhan, dan sekaligus membutuhkanNya. Karena, itu memang telah menjadi fitrah manusia. Hal itu, telah Dia firmankan di dalam KitabNya, Al Quran al Karim. QS. Al A'raaf : 172 Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", Jadi, jelas sekali, bahwa setiap manusia memiliki naluri ketuhanan. Persoalannya adalah, apakah mereka merasa membutuhkan kehadiranNya ataukah tidak. Dalam hal interaksi dengan Tuhan ini, mereka terdiri dari beberapa kelompok, yaitu : 1. Orang yang tidak mau melakukan interaksi dengan Tuhan, karena merasa tidak butuh. Itulah orang-orang yang kafir alias ingkar. Mengakui keberadaanNya, tetapi tidak mau menjadikan sebagai Tuhannya. Begitulah sifat yang ditunjukkan oleh Iblis dalam kisah penciptaan manusia pertama : Adam dan Hawa. 2. Orang yang malas berinteraksi denganNya. Mereka anggap bahwa bertuhan merepotkan saja. Mereka tidak paham tentang konsep ketuhanan, dan perlunya bertuhan dalam kehidupannya. Itulah orang-orang yang dalam istilah Qur'an disebut sebagai orang yang lalai dan bodoh. Mereka harus lebih banyak lagi membangun wacana kehidupan. Jangan sampai usianya habis, menemui ajalnya, tapi belum tahu makna kehidupan yang sesungguhnya. 3. Orang yang melakukan interaksi dengah Tuhan secara terpaksa. Mereka menjalankan agama secara ikut-ikutan, dan menganggap Tuhan sebagai Dzat yang harus disembah. Yang kalau tidak disembah bakal menjatuhkan sanksi neraka. Dan kalau disembah bakal memberikan surga. Inilah orang yang belum tahu makna agama dan makna ibadahnya. Kelompok inilah yang disinyalir oleh rasulullah saw sebagai orang-orang yang melakukan puasa tanpa memperoleh makna puasanya kecuali lapar dan dahaga. Atau seperti orang yang sudah mengerjakan shalat, tetapi disuruh mengulangi shalatnya, karena sesungguhnya dia tidak menegakkan shalat di dalam ritual shalat. Atau seperti orang-orang yang riya' alias pamer di dalam zakat dan infaqnya. Atau seperti orang yang berhaji tanpa memahami makna hajinya, kecuali sekadar tour ke tanah suci. Atau lebih mendasar lagi, bagaikan orang yang membaca syahadat tapi tidak pernah menyaksikan makna syahadat di dalam kesehariannya. 4. Orang yang merasakan manfaat dalam berinteraksi dengan Tuhan. Ia menemukan bahwa Tuhan adalah 'Sesuatu' yang Hidup, Berkehendak, Berkuasa, Adil, Sangat Penyayang, Suka Memberi, dan Sumber Segala Kenikmatan. Maka ia selalu merindukan untuk bisa selalu berinteraksi denganNya. Orang yang demikian ini, akhirnya melakukan interaksi dengan Tuhannya secara suka rela dan bahkan mencintaiNya. Inilah orang yang disebut sebagai muslimuun, yang telah berserah diri dan bergantung sepenuhnya kepada Dzat Yang paling Sempurna, Penguasa alam semesta.
=================================================================== Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar =================================================================== Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/