Tulisan (yang menurut saya) bagus dari selingan Majalah Tempo.
Ternyata pelan tapi pasti kebenaran (akan) terkuak dan (semoga saja)
bersinar kuat.. Insya Allah..

CMIIW..

Wassalam,

=========

Kuasa Yahudi di Tanah Harapan

Lobi Yahudi di Amerika Serikat bukan lagi berita baru. Tetapi publik
gempar ketika belum lama ini John J. Mearsheimer dari Universitas
Chicago dan Stephen M. Walt dari Universitas Harvard menerbitkan
risalah mereka tentang dahsyatnya kekuatan lobi Yahudi di negara adidaya
itu.

London Review of Books pun bakal menggelar debat publik pada 28
September nanti. Mearsheimer akan dihadapkan dengan Salomo Ben-Ami,
mantan menteri luar negeri dan keamanan Israel. Politik luar negeri
AS yang pro-Israel akibat kuatnya lobi Yahudi atau pilihan Amerika
sendiri?

****

"Di negara ini (Amerika Serikat) orang takut mengatakan yang benar,"
ujar Uskup Desmond Tutu, peraih Hadiah Nobel untuk Perdamaian 1984
dari Afrika Selatan. "Lobi Yahudi terlalu kuat." Tutu mengatakan itu
kepada The Guardian, koran Inggris, empat tahun lalu, menyinggung
kebijakan luar negeri AS yang sangat pro-Israel.

Sebagian besar kelompok-kelompok berpengaruh di Amerika Serikat,
terutama kaum politisi, akademisi, bahkan media, lebih suka berdiam
diri. Lobi Yahudi seolah menjadi topik yang tabu dibicarakan di ranah
publik. Namun, 28 September nanti, persoalan ini bakal diaduk-aduk
dalam sebuah debat publik di Great Hall, Cooper Square, New York.

Acara yang diselenggarakan London Review of Books itu diharapkan
dapat menjawab pertanyaan benarkah politik luar negeri AS yang
pro-Israel itu akibat kuatnya lobi Yahudi? Atau, jangan-jangan,
seperti ditulis Ruth R. Wisse, profesor sastra Yahudi dari Harvard,
dukungan itu justru pilihan sadar AS demi sebuah simbiosis mutualisme
yang saling menguntungkan.

Debat publik tersebut akan menghadirkan Salomo Ben-Ami, mantan
Menteri Luar Negeri dan Keamanan Israel, yang juga penulis buku
Wounds of Peace: The Israeli-Arab Strategy, dan Martin Indyk,
Direktur Saban Center for Middle East Policy, salah seorang yang
disebut-sebut sebagai think-tank lobi Israel.

Tapi, bukan dua orang itu yang membuat debat publik tersebut menarik.
Profesor John J. Mearsheimer dari University of Chicago yang bakal
memanaskan adu pikiran tersebut. Bersama Stephen M. Walt dari Harvard
University, Mearsheimer menerbitkan kertas kerja berjudul "The Israel
Lobby and US Foreign Policy". Artikel itu dirilis di situs milik
Harvard John Kennedy School of Government, dengan Walt sebagai dekan
akademiknya, Maret lalu.

Keduanya sudah memanaskan persoalan ini dalam lima bulan terakhir.
Masyarakat Amerika Serikat yang selama ini enggan membicarakan lobi
Yahudi terkaget-kaget ketika dalam kertas kerja setebal 83 halaman
itu mereka menyimpulkan: meski populasi Yahudi di AS hanya tiga
persendari hampir 300 juta penduduk AS lobi mereka jauh lebih kuat
dibanding kelompok etnis atau religius mana pun!

Ini bagaikan upper cut yang menonjok Israel saat sedang kelimpungan
seusai perang melawan Hizbullah. Publik AS juga gelisah. Di Amerika
orang tabu bicara buruk soal Israel menjelang pemilu seperti
sekarang, apalagi tentang lobi Israel, meski sebenarnya ini bukan isu
baru. Maklum, kelompok Yahudi cukup berperan menggolkan ataupun
menjegal calon dari partai-partai.

Toh, debat seru terjadi juga. Ada yang mendukung, tapi lebih banyak
yang mengkritik. Dalam 15 tahun terakhir, tak ada naskah akademik
yang memicu debat sesengit ini setelah tulisan Samuel Huntington,
"The Clash of Civilization?" di majalah Foreign Affairs pada 1993.

***
Hubungan baik Israel-AS bermula seusai Perang Enam Hari pada 1967
kala Israel melawan Mesir, Yordania, Irak, dan Suriah. Terpikat oleh
kedigdayaan Israel, AS meminta negara itu menjadi wakilnya (proxy)
untuk membendung pengaruh Uni Soviet di Timur Tengah.

Selain "mempermalukan" klien Soviet, Mesir, dan Yordania, Israel juga
rajin mensuplai data-data intelijen penting tentang kekuatan Soviet
selama Perang Dingin.

Sebagai balas budi, menurut Mearsheimer dan Walt, Israel memperoleh
dukungan politik dan finansial yang "wow!", terutama sejak Perang
Oktober 1973 ketika negara itu melawan Mesir dan Suriah.

Saat itu AS menaburkan bantuan darurat militer senilai US$ 2,2 miliar
(hampir Rp 20 triliun) kepada Israel. Bantuan itu sempat dilawan oleh
Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC), antara lain dengan
melakukan embargo minyak yang menggoyahkan perekonomian Barat. Tapi
AS cuek, tak ambil pusing. Israel malah diberi akses membeli
helikopter Black Hawk dan jet tempur F-16.

Kini, setiap tahun Israel mendapat US$ 3 miliarsekitar seperlima
total bantuan luar negeri AS. "Buku hijau" Badan Amerika untuk
Pembangunan Internasional (USAID) mencatat, hingga 2003, total
pinjaman dan hibah yang diterima Israel lebih dari US$ 140 miliar
atau Rp 1.260 triliun, dua kali lipat anggaran Indonesia pada tahun ini.

Dukungan diplomatik pun tak surut. Sejak 1982, misalnya, AS telah
memveto 32 resolusi PBB yang menekan Israel. "Jumlah ini lebih besar
dari total veto yang pernah dilakukan semua anggota Dewan Keamanan,"
tulis Mearsheimer dan Walt.

Sikap manis AS bisa dipahami jika Israel memang benar-benar merupakan
kawan yang memberikan manfaat besar bagi Amerika Serikat. Sayangnya,
menurut keduanya, tak ada bukti meyakinkan Israel menguntungkan Abang Sam.

Dukungan selama perang dingin sudah jadi cerita basi. Malah, selama
perang Irak, Israel cuma menjadi penonton karena AS mengkhawatirkan
tanggapan buruk sekutu-sekutu Arabnya. Lalu mengapa Amerika jalan
terus? "Penjelasannya," tulis kedua profesor itu, "ada pada kekuatan
lobi."

Cuma, menurut mereka, tak banyak yang membicarakannya secara terbuka.
Takut dicap anti-Semit. Cap ini senjata ampuh bagi para pelobi untuk
menyerang pengkritik Israel. Soalnya di AS, "Anti-Semit tergolong
perilaku yang sangat buruk," kata Mearsheimer dan Walt. "Tak ada
orang terhormat yang mau dicap demikian."

Para pelobi juga menguasai media. "Komentator Timur Tengah (di AS)
didominasi oleh orang-orang yang tak mampu mengkritik Israel," kata
Eric Alterman, profesor Inggris di Brooklyn College yang juga
komentator media, di MSNBC.com, Maret 2002. Dia mensurvei 66
komentator; hanya lima yang berani mengambil posisi pro-Arab.

Lagi pula, gagasan-gagasan melawan Israel sulit muncul di media-media
besar. Mearsheimer dan Walt mengklaim, Wall Street Journal, The
Chicago Sun-Times, The Washington Times, bahkan New York Times,
secara rutin menulis tajuk pro-Israel.

Mantan editor eksekutif Times, Max Frankel, mengakui hal ini dalam
bukunya, The Times of My Life and My Life with the Times, 1999. "Saya
menulisnya dari perspektif seorang pro-Israel," kata Frankel mengenai
tajuknya.

***
David Duke adalah orang pertama yang mendukung Mearsheimer dan Walt.
"Sangat mengesankan," ujarnya kepada The New York Sun, 20 Maret lalu.
"Ada lembaga di universitas terkemuka di Amerika yang akhirnya bicara
dan mendukung gagasan yang sudah saya sampaikan sejak sebelum perang
(Irak)".

Duke adalah mantan anggota parlemen AS (House of Representatives)
dari Louisiana. Bagi dia, Amerika memerangi Irak karena Israel.
Dalangnya adalah para neokonservatif seperti Paul Wolfowitz, Richard
Perle, Daniel Feith, dan Elliot Abrams. "Para neokonservatif ini
gila," ujarnya kepada televisi Suriah, November lalu. "Mereka
orang-orang Yahudi yang fanatik, ekstremis, dan bukan manusia normal."

Tapi publik Amerika tak pernah menghiraukan Duke. Malah, kabarnya,
badan intelijen Amerika, CIA, kini mengawasi gerak-geriknya.
Media-media di negara itu pun tak banyak yang berminat pada gagasannya.

Merujuk karya yang menghebohkan itu, ada dua cara pendukung Israel
memainkan lobinya di AS. Pertama, mempengaruhi anggota Kongres dan
orang-orang pemerintahan. Kedua, menguasai opini publik dengan antara
lain mengulang-ulang mitos tentang Israel sebagai bangsa pilihan
Tuhan, dan memastikan pandangan pro-Israel unggul dalam setiap debat
publik.

Lobi Israel dilakukan oleh organisasi seperti American-Israel Public
Affairs Committee's (AIPAC) dan Conference of Presidents of Major
Jewish Organizations (CPMJO). Menurut riset National Journal pada
Maret 2005 dan Forbes pada 1997, dalam hal melobi Washington, AIPAC
hanya kalah oleh Asosiasi Pensiunan AS (lihat "Calo Politik di
Washington").

Mereka didukung tokoh-tokoh terkemuka Kristen Evangelis seperti Gary
Bauer, Jerry Falwell, Ralph Reed, Pat Robertson yang bernaung di
bawah bendera the American Alliance of Jews and Christians (AAJC).
Kelompok ini muncul pada Juli 2002 dipimpin Bauer dan Rabi Daniel
Lapin. "Prioritas utama saya dalam kebijakan luar negeri adalah
melindungi Israel," ujar Dick Armey, seorang Kristen Zionis, mantan
orang kuat di parlemen, dua bulan setelah AAJC berdiri.

George Sunderland, nama pena anggota Kongres AS, dalam situsnya,
www.counterpunch.org, menulis, lobi Israel di Kongres terus menguat
dari tahun ke tahun. Pemain utamanya AIPAC. "Bukan cuma karena uang
yang mereka berikan (kepada para politikus), mereka juga bisa
menghukum secara politis," tulisnya.

Gagalnya senator dari Illinois, Charles Percy, kembali ke Capitol
Hill pada 1984, misalnya, diduga karena lobi AIPAC. Mereka marah
gara-gara Percy mendukung penjualan pesawat pengintai Awacs kepada
Arab Saudi dan mengkritik Israel. Direktur Eksekutif AIPAC, Tom Dine,
mengisyaratkan itu dalam sambutannya di Toronto tahun yang sama.
"Semua orang Yahudi bersatu untuk menyingkirkan Percy," katanya. "Ini
pesan bagi para politisi Amerika."

Di pemerintahan, lobi Yahudi menancapkan kukunya dengan membantu
biaya kampanye kandidat baik dari Republik maupun Demokrat. Koran
Washington Post pada 2003 menghitung, 60 persen dari dana kampanye
para calon presiden Demokrat berasal dari pengusaha Yahudi.

Jerusalem Post pada 2000 melaporkan: Yahudi menyumbang 50 persen dana
kampanye Bill Clinton pada 1996! Jimmy Carter, menurut Mearsheimer
dan Malt, pun pernah dibuat "keder" oleh kelompok lobi. Carter
sebenarnya ingin mengangkat George Ball, yang kritis terhadap Israel,
sebagai Menteri Luar Negeri, tapi takut akan lobi Israel, dia
akhirnya hanya menjadikan Ball wakil Menlu.

Menurut J.J. Goldberg, editor harian Yahudi Forward di New York, kaum
Yahudi di Amerika sebenarnya cukup liberal, termasuk dalam isu
Israel. "Bagian terbesar orang Yahudi di AS menginginkan berdirinya
negara Palestina," katanya. Tapi AIPAC tak peduli pada aspirasi mayoritas.

Michael Massing di The New York Review of Book edisi 8 Juni 2006
menulis, kebijakan AIPAC sangat bergantung pada para direkturnya yang
dipilih berdasarkan kekayaan. Yang paling berpengaruh adalah Robert
Asher, Edward Levy, Mayer Mitchell, dan Larry Weinberg. Celakanya,
empat pengusaha kaya-raya yang dikenal sebagai "Gang of Four" ini,
menurut editor di Columbia Journalism Review itu, tak peduli terhadap
mayoritas Yahudi di AS yang cinta damai.

Selain memenangkan dukungan AS atas konflik Palestina, prestasi
terbesar lobi Isreal, menurut kedua peneliti itu, memaksa AS
menginvasi Irak. Perang itu, tulis Mearsheimer dan Walt, "Didorong
oleh niat menciptakan situasi lebih aman bagi Israel (di Timur
Tengah)." Keduanya, antara lain, mengutip Philip Zelikow, mantan
anggota badan penasihat presiden AS untuk urusan luar negeri.

Menurut Zelikow, Irak tak mengancam AS, melainkan Israel. Bukti lain,
tajuk mantan perdana menteri Ehud Barak dan Benjamin Netanyahu di
Wall Street Journal yang mendesak pemerintah Bush "menindak" Irak.
"Hampir tak diragukan, Israel dan lobilah yang mendorong perang."

Tentu saja, Mearsheimer dan Walt mendapat banyak kritik dan
caci-maki. Christopher Hitchens, seorang kolumnis terkenal di AS,
memaki tulisan itu: "bau", sementara Forward menggelarinya karya
"amatir yang menjijikkan".

Rekan Walt dari Harvard, Alan M. Dershowitz, seorang profesor hukum,
menilai naskah ilmiah itu "kacangan". "Mereka berdua adalah akademisi
berbobot," ujarnya kepada Jerusalem Post, "tapi telah melakukan
propaganda dangkal."

Bahkan Noam Chomsky, profesor linguistik dari MIT, yang secara
konsisten "menyerang" Israel sejak 1970-an, ikut mengkritik. Menurut
dia, Mearsheimer dan Walt perlu diacungi jempol untuk keberanian
mengambil posisi, mengingat di AS tak banyak yang nekat mengkritik
Israel. Takut dicap anti-Semit. Cuma, katanya, tesis keduanya kurang
meyakinkan.

Dia, misalnya, mempertanyakan: kenapa tulisan itu mengabaikan
pengaruh perusahaan minyak terhadap kebijakan AS dalam Perang Teluk?
Padahal, seperti yang dia tulis di Z Magazine, Maret lalu, aliansi
AS-Israel justru menguntungkan perusahaan-perusahaan energi AS-Saudi itu.

Sepakat dengan Chomsky, Michael Massing menambahkan, tulisan kedua
profesor itu lemah karena tak cukup data. Ketika bicara tentang
kemampuan AIPAC "menghukum" politisi, misalnya, keduanya mencontohkan
kasus Senator Percy. Padahal, itu kejadian 22 tahun lalu. "Penulis
hanya menggunakan data-data lama."

Haaretz, harian Israel yang liberal, lebih positif. Israel, katanya
dalam editorialnya, harus sadar bahwa dunia tak bisa menunggu
selamanya hingga mereka keluar dari Palestina. Dukungan AS pun bisa
berubah jika Israel tak segera mengubah diri. Jadi, media itu
menyimpulkan, "Tulisan itu tak perlu dicaci, melainkan harus diterima
sebagai sebuah peringatan."

Kritik juga datang dari Wisse, calon lawan debat keduanya. Membuka
kritiknya pada Mearsheimer dan Walt di Jewish World Review, Wisse
menceritakan pengalamannya saat naik taksi di Boston, awal 1980-an.
Ketika tahu dia orang Yahudi, si sopir taksi secara spontan berkata:
"Israel! Amerika akan selalu membelanya. Israel bertempur untuk kami
jauh lebih baik daripada yang bisa kami lakukan sendiri."

***
(Selingan Majalah Tempo, 10 September 2006)


Djayus Sunarso
Mail to : [EMAIL PROTECTED]
http: //www.schott.com





===================================================================
        Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
=================================================================== 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke