Memukul Anak

sumber : http://www.asysyariah.com
Al-Ustadzah Ummu 'Abdirrahman Anisah Bintu 'Imran

Anak tak selamanya harus disikapi lembut. Terkadang kita perlu menghukumnya 
karena kenakalan atau kesalahan mereka. Tentunya semua itu dalam bingkai 
pendidikan. Sehingga tidak bertindak berlebihan yang justru mempengaruhi 
kejiwaan si anak.

 Anak, bagaimanapun juga tak terlepas dari berbagai macam tingkah dan polahnya. 
Beragam perilaku dapat kita saksikan pada diri mereka. Masing-masing anak dalam 
satu keluarga pun seringkali berbeda perangainya. Terkadang di antara mereka 
ada yang nampak amat patuh dan sangat mudah diatur. Sedangkan yang lain, 
demikian bandel atau sering melakukan berbagai pelanggaran.
 Yang demikian ini tentu tak boleh dibiarkan. Mau tak mau, orang tua harus 
mengetahui seluk-beluk mengarahkan anak. Haruskah segala keadaan dihadapi 
dengan kelemahlembutan dan penuh toleransi? Atau sebaliknya, selalu diatasi 
dengan hardikan dan wajah yang garang?
 Selayaknya orang tua mengetahui sisi-sisi yang perlu dipertimbangkan ketika 
hendak menghukum anak, karena setiap keadaan menuntut sikap yang berbeda. Orang 
tua perlu meninjau, apakah permasalahan yang terjadi merupakan sesuatu yang 
betul-betul tercela atau tidak? Apakah si anak yang melakukannya mengetahui 
akan kejelekan dan bahaya hal tersebut, ataukah dia dalam keadaan tidak 
mengerti tentang hal itu maupun hukumnya?
 Pada dasarnya, orang tua perlu menyertakan kelemahlembutan dalam mengarahkan 
anak-anaknya. Demikianlah contoh yang dapat ditemukan dari sosok Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mengarahkan dan membimbing umat beliau. 
Bahkan demikianlah sifat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang 
disebutkan dalam Kitabullah:

 فَبِمَا 
رَحْمَةٍ 
مِنَ اللهِ 
لِنْتَ 
لَهُمْ 
وَلَوْ 
كُنْتَ 
فَظًّا 
غَلِيْظَ 
الْقَلْبِ 
لاَنْفَضُّوا
 مِنْ 
حَوْلِكَ

 “Maka karena rahmat Allah-lah engkau bersikap lembut terhadap mereka. 
Seandainya engkau bersikap kaku dan keras hati, tentu mereka akan menjauhkan 
diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran: 159)
 Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu mengatakan: “Ini adalah akhlak Muhammad 
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang Allah Subhanahu wa Ta'ala utus dengan 
membawa akhlak ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/106)
 Bukankah termasuk kewajiban terbesar dan perkara terpenting bagi seseorang 
untuk meneladani akhlak beliau yang mulia ini? Serta bergaul dengan manusia 
sebagaimana beliau bergaul, dengan sikap lembut, akhlak yang baik dan 
melunakkan hati mereka, dalam rangka menunaikan perintah Allah Subhanahu wa 
Ta'ala dan memikat hati hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk mengikuti 
agama-Nya? (Taisirul Karimir Rahman, hal. 154)
 Begitu banyak anjuran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk bersikap 
lemah lembut. Di antaranya disampaikan oleh istri beliau, ‘Aisyah radhiallahu 
'anha, ketika beliau bersabda:

 يَا 
عَائِشَةُ! 
إِنَّ اللهَ 
رَفِيْقٌ 
يُحِبُّ 
الرِّفْقَ، 
وَيُعْطِي 
عَلَى 
الرِّفْقِ 
مَا لاَ 
يُعْطِي 
عَلَى 
الْعُنْفِ 
وَمَا لاَ 
يُعْطِي 
عَلَى مَا 
سِوَاهُ

 “Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan menyukai kelembutan. 
Allah memberikan pada kelembutan apa yang tidak Dia berikan pada kekerasan dan 
apa yang tidak Dia berikan pada yang lainnya.” (HR. Muslim no. 2593)
 Maknanya, Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan pahala atas kelembutan yang 
tidak Dia berikan pada yang lainnya. Al-Qadhi mengatakan bahwa maknanya, dengan 
kelembutan itu akan dapat meraih berbagai tujuan dan mudah mencapai apa yang 
diharapkan, yang tidak dapat diraih dengan selainnya. (Syarh Shahih Muslim, 
16/144)
 Demikian pula ‘Aisyah radhiallahu 'anha mengisahkan bahwa Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memerintahkan kepadanya:

 عَلَيْكِ 
بِالرِّفْقِ،
 فَإِنَّ 
الرِّفْقَ 
لاَ يَكُوْنُ 
فِي شَيْءٍ 
إِلاَّ 
زَانَهُ، 
وَلاَ 
يُنْزَعُ 
مِنْ شَيْءٍ 
إِلاَّ 
شَانَهُ

 “Hendaklah engkau bersikap lembut. Karena tidaklah kelembutan itu ada pada 
sesuatu, kecuali pasti memperindahnya. Dan tidaklah kelembutan itu tercabut 
dari sesuatu, kecuali pasti memperjeleknya.” (HR. Muslim no. 2594)
 Maksudnya, hendaklah engkau bersikap lembut dengan berlemah lembut kepada 
siapa pun yang ada di sekitarmu, sederhana dalam segala sesuatu dan menghukum 
dengan bentuk yang paling ringan dan paling baik. (Faidhul Qadir, 4/334)
 Dalam riwayat dari Jarir bin Abdillah radhiallahu 'anhu, Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

 مَنْ 
يُحْرَمِ 
الرِّفْقَ، 
يُحْرَمِ 
الْخَيْرَ

 “Barangsiapa yang terhalang dari kelembutan, dia akan terhalang dari 
kebaikan.” (HR. Muslim no. 2592)
 Oleh karena itu, apabila orang tua ingin memperbaiki keadaan anaknya, 
hendaknya menggunakan kata-kata yang lembut dan berbagai bentuk anjuran. 
Apabila tidak memungkinkan menggunakan kata-kata yang baik, maka dapat 
digunakan ucapan yang mengandung hardikan, juga ancaman sesuai dengan kesalahan 
dan perbuatan dosa yang dilakukan. Apabila hal itu tidak dapat dilakukan dan 
tidak memberi manfaat, maka saat itulah dibutuhkan pukulan.
 Namun bagaimanapun, keadaan setiap anak berbeda. Demikian pula tabiat mereka. 
Di antara mereka ada yang cukup dengan pandangan mata untuk mendidik dan 
memarahinya, dan hal itu sudah memberikan pengaruh yang cukup mendalam serta 
membuatnya berhenti dari kesalahan yang dilakukannya. Ada anak yang bisa 
mengerti dan memahami maksud orang tua ketika orang tua memalingkan wajahnya 
sehingga dia berhenti dari kesalahannya. Ada yang cukup diberi pengarahan 
dengan kata-kata yang baik. Ada pula anak yang tidak dapat diperbaiki kecuali 
dengan pukulan. Tidak ada yang memberi manfaat padanya kecuali sikap yang 
keras. Saat itulah dibutuhkan pukulan dan sikap keras sekedar untuk memperbaiki 
keadaan si anak dengan tidak melampaui batas. Ibarat seorang dokter yang 
memberikan suntikan kepada seorang pasien. Suntikan itu memang akan terasa 
sakit bagi si pasien, namun itu hanya diberikan sesuai kadar penyakitnya. 
Sehingga boleh seseorang bersikap keras terhadap anak-anaknya manakala melihat
 mereka lalai atau mendapati kesalahan pada diri mereka. (Fiqh Tarbiyatil 
Abna`, hal. 170-171)
 Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan orang tua untuk memukul 
anaknya apabila mereka enggan menunaikan shalat ketika telah berusia 10 tahun. 
Demikian yang disampaikan Abdul Malik bin Ar-Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya dari 
kakeknya, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

 مُرُوا 
الصَّبِيَّ 
بِالصَّلاَةِ
 إِذَا بَلَغَ 
سَبْعَ 
سِنِيْنَ، 
وَإِذَا 
بَلَغَ 
عَشْرَ 
سِنِيْنَ 
فَاضْرِبُوْهُ
 عَلَيْهَا

 “Perintahkanlah anak untuk shalat ketika telah mencapai usia tujuh tahun. Dan 
bila telah berusia sepuluh tahun, pukullah dia bila enggan menunaikannya.” (HR. 
Abu Dawud no. 494, dan dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi 
Dawud: hasan shahih)
 Banyak contoh yang dapat dilihat dari para pendahulu kita yang shalih. Di 
antaranya dikisahkan oleh Nafi’ rahimahullahu, maula (bekas budak) Abdullah bin 
‘Umar radhiallahu 'anhuma:

 أَنَّ عَبْدَ 
اللهِ بْنَ 
عُمَرَ كَانَ 
إِذَا وَجَدَ 
أَحَدًا مِنْ 
أَهْلِهِ 
يَلْعَبُ 
بِالنَّرْدِ،
 ضَرَبَهُ 
وَكَسَرَهَا

 “Bahwasanya Abdullah bin ‘Umar radhiallahu 'anhuma apabila mendapati salah 
seorang anggota keluarganya bermain dadu, beliau memukulnya dan memecahkan dadu 
itu.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 1273. Asy-Syaikh Al-Albani 
rahimahullahu berkata dalam Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul isnad mauquf)
 Begitu pula Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiallahu 'anha, sebagaimana penuturan 
Syumaisah Al-’Atakiyyah:

 ذُكِرَ 
أَدَبُ 
الْيَتِيْمِ 
عِنْدَ 
عَائِشَةَ 
رَضِيَ اللهُ 
عَنْهَا 
فَقَالَتْ: 
إِنِّي 
لأَضْرِبُ 
الْيَتِيْمَ 
حَتَّى 
يَنْبَسِطَ

 “Pernah disebutkan tentang pendidikan bagi anak yatim di sisi ‘Aisyah 
radhiallahu 'anha, maka beliau pun berkata, ‘Sungguh, aku pernah memukul anak 
yatim yang ada dalam asuhanku hingga dia telungkup menangis di tanah.” (HR. 
Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 142, dan dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani 
rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul isnad)
 Akan tetapi, ada yang perlu diperhatikan dalam hal ini. Orang tua tidak 
diperkenankan memukul wajah. Hal ini secara umum dilarang Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dalam hadits Abi Hurairah 
radhiallahu 'anhu:

 إِذَا 
قَاتَلَ 
أَحَدُكُمْ 
فَلْيَجْتَنِبِ
 الوَجْهَ

 “Apabila salah seorang di antara kalian memukul, hendaknya menghindari wajah.” 
(HR. Al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612)
 Para ulama mengatakan bahwa ini adalah larangan memukul wajah secara tegas. 
Karena wajah merupakan sesuatu yang lembut yang terkumpul padanya seluruh 
keindahan. Anggota-anggota tubuh yang ada di wajah demikian berharga, dan 
sebagian besar penginderaan seseorang diperoleh dengan anggota tubuh tersebut. 
Sehingga terkadang pukulan di wajah bisa menghilangkan atau mengurangi fungsi 
anggota tubuh itu, terkadang pula menjadikan wajah cacat. Sementara cacat di 
wajah itu sendiri demikian buruk karena nampak jelas dan tidak mungkin 
ditutupi. Dan pada umumnya pukulan di wajah itu tidak lepas dari kemungkinan 
timbulnya cacat. Termasuk pula dalam larangan ini seseorang yang memukul istri, 
anak, ataupun budaknya dalam rangka mendidik, hendaknya dia hindari wajah. 
(Syarh Shahih Muslim, 16/164)
 Hal lain yang perlu diperhatikan pula, pukulan pada si anak adalah semata-mata 
dalam rangka mendidik. Yang dimaksud dengan pukulan yang mendidik adalah 
pukulan yang tidak membahayakan. Sehingga tidak diperkenankan seorang ayah 
memukul anaknya dengan pukulan yang melukai, tidak boleh pula pukulan yang 
bertubi-tubi tanpa ada keperluan. Namun bila dibutuhkan, misalnya sang anak 
tidak mau menunaikan shalat kecuali dengan pukulan, maka sang ayah boleh 
memukulnya dengan pukulan yang membuat jera, namun tidak melukai. Karena 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan orang tua untuk memukul 
bukan untuk menyakiti si anak, melainkan untuk mendidik dan meluruskan mereka. 
(Syarh Riyadhish Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/123-124)
 Semua ini perlulah kiranya untuk diketahui oleh orang tua yang hendak 
mengarahkan anak-anak mereka, mengingat tanggung jawab yang dibebankan ke 
pundak mereka, manakala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

 أَلاَ 
كُلُّكُمْ 
رَاعٍ 
وَكُلُّكُمْ 
مَسْئُوْلٌ 
عَنْ 
رَعِيَّتِهِ 
فَاْلأَمِيْرُ
 الَّذِي 
عَلىَ 
النَّاسِ 
رَاعٍ وَهُوَ 
مَسْئُوْلٌ 
عَنْ 
رَعِيَّتِهِ،
 وَالرَّجُلُ
 رَاعٍ عَلىَ 
أَهْلِ 
بَيْتِهِ 
وَهُوَ 
مَسْئُوْلٌ 
عَنْهُمْ، 
وَالْمَرْأَةُ
 رَاعِيَةٌ 
عَلَى بَيْتِ 
بَعْلِهَا 
وَوَلَدِهِ 
وَهِيَ 
مَسْئُوْلَةٌ
 عَنْهُمْ، 
وَالعَبْدُ
 رَاعٍ عَلَى 
مَالِ 
سَيِّدِهِ 
وَهُوَ 
مَسْئُوْلٌ 
عَنْهُ، 
اَلاَ 
فَكُلُّكُمْ 
رَاعٍ 
وَكُلُّكُمْ 
مَسْئُوْلٌ 
عَنْ 
رَعِيَّتِهِ

 “Ketahuilah, setiap kalian adalah penanggung jawab dan akan ditanyai tentang 
tanggung jawabnya. Seorang pemimpin yang memimpin manusia adalah penanggung 
jawab dan kelak akan ditanya tentang mereka. Seorang laki-laki adalah 
penanggung jawab atas keluarganya dan kelak dia akan ditanya tentang mereka. 
Seorang istri adalah penanggung jawab rumah tangga dan anak-anak suaminya, dan 
kelak akan ditanya. Seorang hamba sahaya adalah penanggung jawab harta tuannya 
dan kelak dia akan ditanya tentangnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah 
penanggung jawab dan kelak akan ditanyai tentang tanggung jawabnya.” (HR. 
Al-Bukhari no. 5188 dan Muslim no. 1829)
 Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

---------------------------------
Cheap Talk? Check out Yahoo! Messenger's low PC-to-Phone call rates.

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to