Pujian Amerika, Senyuman Musdah Mulia Jumat, 09 Maret 2007
Hidayatullah.com-Meronalah wajah Siti Musdah Muliah. Ia mengaku terperanjat mendengar namanya disebut-sebut Amerika. Bukan apa-apa, siapa tak kenal Amerika? Kampiun demokrari, sang polisi dunia yang sangat ternama. "Saya hanya diberi waktu satu hari untuk mengurus visa dan berbenah sebelum terbang ke Amerika," ujarnya dikutip Antara di Washington DC, sesaat sebelum menerima penghargaan dari Menteri Luar Negeri Amerika, Condoleezza Rice. Senang dan terkejut mungkin campur jadi satu. Apalagi ketika kedutaan Amerika Serikat di Jakarta menghubunginya dan mengatakan, dirinya dianggap terpilih menjadi satu-satunya wanita di Indonesia yang mendapatkan penghargaan dari Amerika Serikat. Ia, katanya dianggap sukses menyuarakan, membela dan mengembalikan hak perempuan di mata agama dengan cara melakukan 'pembaruan hukum Islam' -termasuk-- undang-undang perkawinan. Karena itulah, pada Hari Perempuan Dunia tanggal 8 Maret kemarin, Musdah menerima penghargaan International Women of Courage dari Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice di kantor kementerian luar negeri Amerika Serikat (AS), Washington. Tapi Musdah bukan satu-satunya penerima penghargaan. Masih banyak wanita lain menerimanya. Diantaranya dari kawasan Asia Pasifik. Ada yang dari Zimbabwe, Latvia, Arab Saudi, Argentina, Maladewa, dua orang dari Afganistan, dan dua dari Iraq. Penghargaan tahunan tersebut pertama kali diberikan pemerintah Amerika Serikat kepada perempuan dunia. Katanya, 'yang dianggap berani membuat perubahan demi kemajuan perempuan di negaranya'. Musdah, adalah salah satua dari 100 wanita yang terpilih dari 100 nama yang diusulkan di seluruh dunia. "Saya hanya ingin mengembalikan prinsip Islam, yang humanis dan ramah terhadap perempuan," kata Musdah seolah merendah. Dalam pidato sambutannya, Condoleezza Rice mengatakan, perjuangan untuk mendapatkan kesetaraan jender tidak mudah. Negara demokrasi, seperti, Amerika Serikat pun, membutuhkan waktu lebih dari 130 tahun untuk memberikan hak pilih bagi perempuan. Bergerilya Siti Musdah Mulia adalah salah satu tokoh Islam Liberal yang pernah bikin heboh di Indonesia ketika mengusulkan counter legal draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) sekitar tahun 2004. Counter Legal Draft (CLD) Kompilasi Hukum Islam ini dinilai banyak kaum Muslim 'melabrak' pemahaman tentang hukum perkawinan, waris, dan wakaf dalam Islam. Diantara teks-teks krusial yang diusulan Tim Musdah Mulia ketika itu antara lain; disebutkan bahwa pernikahan bukan ibadah, perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri, poligami haram, boleh nikah beda agama, boleh kawin kontrak, ijab kabul bukan rukun nikah dan anak kecil bebas memilih agamanya sendiri. Pendekatan gender, pluralisme, HAM dan demokrasi bukanlah pendekatan hukum Islam. Tentu saja bukan sepi masalah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyebut draft ini sebagai bid'ah (penyimpangan) dan taghyir (perubahan) dari hukum Islam. MUI menyebut CLD-KHI sebagai upaya memanipulasi nash-nash Al-Qur'an. Tak urung, kasus ini membuat Menteri Agama saat itu, Prof. DR. H. Said Agiel Al Munawar, menyampaikan teguran keras kepada Tim Penulis Pembaruan Hukum Islam, melalui suratnya tanggal 12 Oktober 2004, No.: MA/271/2004, untuk tidak lagi mengulangi mengadakan seminar atau kegiatan serupa dengan mengatasnamakan tim Departemen Agama dan semua Draft CLD-KHI agar diserahkan kepada Menteri Agama RI. Bahkan Menteri Agama RI yang baru, Maftuh Basyuni langsung membatalkan CLD-KHI pada tanggal 14 Februari 2005. Dan Siti Musdah Mulia sebagai Ketua Tim Penyusun CLD-KHI dilarang pemerintah menyebarluaskan gagasannya. Berhentikah Musdah? Tentu saja tidak. Ia bersama kawan-kawannya yang se ide-tentu saja dibantu The Asia Foundation lembaga donasi dari Amerika yang sering mendukung gagasan liberalisme-- terus mengasongkan gagasannya. Ia bahkan muncul kembali bersama para penulis buku Fiqih Lintas Agama. Yang oleh sebagian kaum Muslim dianggap banyak membuang makna teks dan menggunakan aspek konteks secara amburadul. Dengan pujian Amerika yang baru saja ia sandang, nampaknya menjadi spirit baru Musdah untuk terus bergerilya. Walau, ia sesungguhnya tau, dampaknya, ia harus berhadapan dengan kaum Muslim di Negerinya sendiri. "Pemahaman saya sering dicap terlalu kebarat-baratan dan saya tidak akan terkejut, sekembali dari Amerika Serikat, saya akan dicap sebagai antek Amerika," kata Musdah seolah telah siap dengan segala resikonya. Tenar Setelah "Menghujat" Kasus Musdah Mulia bukanlah hal baru. Khususnya Amerika dan Barat, pujian-pujian serupa ibarat permen yang akan terus diberikan disaat dibutuhkan. Sebelum Musdah, ada nama Salman Rusdie dengan The Satanic Verses nya. Juga Irshad Manji, seorang warga Muslim asal Kanada yang kini tinggal di Belanda. Namanya begitu tenar setelah gagasannya yang mengatakan, cendekiawan Barat seharusnya tidak takut lagi mengkritik Islam. Irsyad Manji adalah seorang aktivis yang juga penganut lesbianisme. Manji begitu tenar dan dipuja sebagai pahlawan di dunia Barat karena kritik agresif mereka terhadap Islam. Meski Manji begitu menyakit perasaan kaumnya sendiri, di dunia Muslim. Bagi pers asing, Manji dianggap 'seorang provokator berjalan untuk Islam tradisional'. Tahun 2003 ia mempublikasikan bukunya "The Trouble with Islam Today". Isinya banyak menghujat Islam. Sebelumnya ada nama Nasr Hamid Abu Zayd, intelektual muslim asal Mesir. Nasr Hamid Abu Zayd adalah pemikir liberal Mesir yang dihukumi 'murtad' oleh 2000 ulama Mesir atas beberapa pemikirannya yang cukup berbahaya. Ia kemudian lari di tampung di Negeri Belanda. Di sana, ia kemudian diberi puja-puji. Dan semakin liarlah pemikirannya. Tapi itu hanya permulaan, kata cendekiawan Muslim Adian Husaini. Sebab, masih akan banyak nama yang akan menerima penghargaan oleh Amerika dan Barat di masa depan. Mengutip pepatah Arab, Adian mengatakan, "Khaalif, tu'raf!." Jika ingin terkenal, gampang saja. Berfikirlah nyleneh!. Nah, boleh jadi Amerika juga akan mengundang Inul sebagaimana Musdah Mulia. [cholis akbar/hidayatullah.com] Source : http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content <http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=4376&Item id=1> &task=view&id=4376&Itemid=1 13/03/2007 08:49 WIB Rice Anugerahkan Woman of Courage pada Dr. Siti Musdah Mulia Nurul Hidayati - detikcom Musdah (kedua dari kiri) bersama Menlu Rice Jakarta - Siti Musdah Mulia bukanlah nama asing di Tanah Air. Perempuan bergelar profesor doktor ini bahkan menarik hati Menlu Condoleezza Rice. Musdah pun diganjar International Women of Courage Award. Dalam siaran pers Kedubes AS yang diterima detikcom, Selasa (13/3/2007), Musdah digambarkan sebagai perempuan yang berjuang untuk Islam maupun hak-hak kaum wanita, sebuah perjuangan yang telah menyulut kecaman dari sebagian masyarakat. Pada 1997, dia menjadi wanita pertama yang meraih gelar doktor bidang pemikiran politik Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Pada 1999, dia menjadi wanita pertama yang ditunjuk sebagai profesor riset oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pada 2004, Musdah dan sebuah tim beranggotakan 11 ahli menuntaskan sebuah proyek perdana -- Counter Legal Draft (CLD) -- yang bertujuan merevisi kitab undang-undang hukum Islam Indonesia. Dalam sebuah wawancara baru-baru ini dengan The Washington File, Musdah menjelaskan bahwa di antara revisi yang direkomendasikan adalah larangan poligami dan kawin paksa, serta menaikkan usia yang sah bagi wanita untuk menikah dari 16 menjadi 19 tahun. Menurut dia, revisi ini akan membantu mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dan penyiksaan terhadap anak. Rekomendasi yang diajukannya ini juga mengimbau diberikannya hak yang setara bagi suami dan istri. Musdah mengusulkan agar revisi CLD ini segera dibahas dan disahkan oleh parlemen Indonesia. Namun, tentangan dan protes keras memaksa Menteri Agama RI membatalkan pembahasannya. Namun badai protes tersebut tidak menyurutkan semangat Musdah mengemban misinya untuk memberikan pencerahan kepada kaum wanita. "Banyak wanita tidak menyadari hak-hak mereka," kata kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, pada 3 Maret 1958 ini. Kegigihan Mulia memperoleh pengakuan dari Amerika Serikat: Pada 7 Maret ia dianugerahi the International Women of Courage Award. Penghargaan baru ini merupakan buah dari keinginan Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice untuk memberikan apresiasi kepada wanita di seluruh dunia yang menunjukkan keberanian dan kepemimpinan luar biasa dalam memperjuangkan hak-hak serta kemajuan wanita. Musdah bersama sembilan wanita lainnya menerima penghargaan ini dalam sebuah upacara khusus di Departemen Luar Negeri A.S. Penerima penghargaan lainnya yang berasal dari Afghanistan, Argentina, Iraq, Latvia, Maladewa, Saudi Arabia dan Zimbabwe, dipilih dari 82 nominator yang diajukan oleh kedutaan besar A.S. di seluruh dunia. Musdah mengakui bahwa penghargaan yang diterimanya dari Pemerintah A.S. bisa menyulut kecaman dari kelompok Islam bahwa ia "terlalu kebarat-baratan". Tetapi ia menambahkan bahwa tradisi Islam mengakar dalam dirinya dan keluarganya, dia bersekolah di pesantren dan ayah serta ayah mertuanya adalah kiai. Ia mengatakan bahwa dengan memperoleh penghargaan dari A.S. ia punya kesempatan untuk menjelaskan kepada kelompok Islam dan masyarakat internasional mengenai perjuangannya untuk hak asasi manusia bagi kaum wanita. Sebagai informasi tambahan, buku karya Musdah antara lain berjudul 'Islam Menggugat Poligami' (Gramedia, 2004), 'Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Perspektif Islam' (LKAJ, 1998), 'Pedoman Dakwah Muballighat' (KP-MDI, 2000), 'Muslimah Reformis, Perempuan Pembaharu Keagamaan' (Mizan, 2005), dan 'Perempuan dan Politik' (Gramedia, 2005).(nrl/nvt) Source : http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/03/tgl/13/tim e/084921/idnews/753308/idkanal/10