Arti Sebuah Sepi

  Oleh Febty Febriani

  Malam itu untuk kesekian kalinya aku berada di tempat itu. Sebuah tempat yang 
jaraknya tidak cukup jauh dengan letak kantorku. Namun, karena rute angkot di 
kota Kembang, maka untuk menuju ke tempat itu tidak cukup hanya dengan 
menggunakan satu kali angkot, harus dua kali.

  Tidak sengaja awalnya aku berada di tempat itu, setiap seminggu sekali 
selepas jam kerja. Aku ke tempat itu tidak sendirian. Selalu berdua bersama 
teman kantorku, aku berkunjung ke tempat itu. Dialah yang pertama kali 
mengajakku untuk berada di tempat itu seminggu sekali, meluangkan waktu 
istirahatku sekitar dua jam dalam seminggu. Ketika dia pertama kali bercerita 
tentang tempat itu dan kemudian mengajakku untuk berkunjung rutin ke tempat 
itu, aku tertarik dengan ajakannya. Suatu kegiatan yang aku pikir bisa 
membuatku terbebas sejenak dari semua hal yang berbau rutinitas dan kepenatan.

  Biasanya, kami lebih suka menggunakan satu kali angkot saja. Konsekuensinya, 
perjalanan kami ke tempat itu harus di awali dengan berjalan kaki dulu. Tidak 
lama, kira-kira lima belas menit dengan berjalan santai. Hal ini bukan sebuah 
keterpaksaan untuk kami. Rasanya, pilihan berjalan kaki adalah sebuah pilihan 
yang bisa sekedar menggerakan otot-otot kaki kami. Pilihan yang sehat, bukan?

  Malam itu, sama seperti malam-malam yang lain pada minggu-minggu yang lalu, 
aku berada di sebuah ruangan yang cukup luas di tempat itu. Mungkin ruangan itu 
adalah ruangan semacam aula. Di sebuah pojok dari ruangan itu, aku bersama lima 
orang anak
  Pojok ruangan itu adalah tempat favorit kami berenam, sejak pertemuan pertama 
kami: empat orang anak putri, seorang anak laki-laki dan aku. Kelimanya berusia 
sekitar kurang lebih 12 tahun. Sekarang, semuanya duduk di kelas enam sekolah 
dasar. Di tempat itu, mereka sendirian. Terpisah dari orang-orang yang mereka 
cintai. Keluarga mereka. Kedua orang tua mereka. Adik dan kakak mereka. Bagi 
mereka, orang tua adalah para bapak dan ibu yang mengasuh mereka di tempat itu. 
Kakak mereka adalah saudara-saudari mereka yang juga berada di tempat yang 
berusia lebih tua dari mereka. Adik mereka adalah saudara-saudari mereka yang 
berusia lebih muda dari mereka. Sebuah keluarga yang mereka temukan ketika di 
usia belasan tahun.

  Biasanya, sekitar dua jam, kami akan belajar matematika, sebuah pelajaran 
yang mungkin masih menjadi momok bagi anak-anak seusia mereka. Kami sudah 
membuat kesepakatan bersama. Pokok bahasan matematika setiap pertemuan kami 
ditentukan oleh kelima anak itu secara bergiliran. Biasanya, mereka akan 
bertanya tentang hal-hal yang belum mereka mengerti. Dan tugasku mendampingi 
mereka untuk bisa mengerti pokok bahasan-pokok bahasan yang belum mereka 
mengerti secara detail. Walaupun, kegiatan ini tidak ada hubungannya sama 
sekali dengan pekerjaanku sehari-hari tapi kegiatan ini adalah kegiatan yang 
menyenangkan untukku. Bisa sejenak masuk ke dunia mereka yang senantiasa 
berwarna pelangi. Juga, sebuah sarana untuk belajar menjadi ibu dalam arti 
sesungguhnya.

  Malam itu tidak seperti malam-malam sebelumnya. Malam itu, kami hanya belajar 
dua soal matematika. Itupun soal-soal yang aku berikan sebagai bentuk pekerjaan 
rumah untuk mereka. Beberapa anak mulai menguap. Mungkin, mereka sedang capek. 
Atau juga, mungkin, mereka sedang bosan berhadapan dengan rumus-rumus yang 
njelimet.
  Kebosanan memang milik siapa saja, tidak mengenal umur. Pun juga, milik 
mereka.

  Akhirnya, sisa pertemuan malam itu, kami manfaatkan dengan dongeng bersama. 
Itupun mereka yang meminta. Mulailah aku mendongeng beberapa cerita yang masih 
berada di memoriku. Dongeng malam itu kuawali dengan dongeng sebuah cerita 
moral. Kemudian, suasana malam itu berjalan seperti air mengalir. Mereka yang 
meminta, aku yang mendongeng. Mereka meminta cerita Nabi Yunus a. S, akupun 
mulai bercerita. Mereka meminta cerita Nabi Musa a. S, akupun mulai memenuhi 
keinginan mereka. Dan akhirnya, mereka juga berani bercerita kepada 
kawan-kawannya sendiri. Suasana di pojok ruangan itu pada malam itu mulai 
hangat dan akrab.

  Tak terasa, malam sudah beranjak. Waktu pertemuan kami malam itu sudah hampir 
sekitar dua jam Dan acara mendongeng dan berceritapun selesai sudah.

  ***
  Mengingat mereka sering terfikir di benakku. Apakah mereka masih mengenal 
kasih yang yang utuh dari kedua orang tua mereka? Dari ibu kandung mereka? Dari 
bapak kandung mereka? Dari kakak atau adik kandung mereka? Seusia sekecil itu 
mereka sudah harus berpisah dari keluarga yang mungkin sangat mereka sayangi. 
Dengan jarak beratus-ratus kilometer, atau mungkin bahkan lebih.

  Mengingat mereka sering terfikir di benakku, seperti apakah wujud tangis 
kerinduan mereka pada ibu yang melahirkan mereka, pada bapak yang mengadzani 
dan mengiqamahi pada kedua telinga mereka, serta pada kakak dan adik yang 
memanggil mereka dengan panggilan sayang? Aku mengenal betul sebuah tangis 
kerinduan pada keluarga yang kita cintai. Tujuh tahun berpisah dengan 
orang-orang yang aku cintai, cukup sudah mengajarkan padaku sebuah kata yang 
bernama kerinduan. Aku bisa mengungkapkan tangis kerinduan itu dengan menelepon 
atau mengsms orang-orang yang aku cintai. Namun, untuk mereka dalam bentuk 
apakah wujud kerinduan itu harus terungkap?

  Mengingat mereka sering terfikir di benakku, seperti apakah wujud pembunuh 
rasa sepi yang mungkin senantiasa hadir di hari-hari mereka? Rasa sepi karena 
seusia sekecil itu mereka tidak lagi mendapatkan sentuhan kasih sayang dari 
tangan seorang ibu. Rasa sepi karena seusia sekecil itu mereka harus berpisah 
dengan bapak tercinta. Rasa sepi karena mereka harus berada jauh dari kakak dan 
adik mereka. Rasa sepi karena ketidakhadiran seorang ibu yang membangunkan 
mereka, menyiapkan baju sekolah, menyiapkan sarapan, mengantar mereka ke 
sekolah dengan lambaian tangan kasih sayang, menemani mereka belajar, dan 
mendongeng untuk mereka menjelang tidur. Juga rasa sepi karena ketidakhadiran 
seorang ayah yang mengajak mereka jalan-jalan, merayakan ulang tahun mereka, 
memberikan untuk mereka hadiah kenaikan kelas dan membelikan baju atau 
peralatan sekolah untuk mereka.

  Mengingat mereka sering terfikir di benakku, apakah ketika usia dewasa mereka 
juga akan mengenal konflik dengan kedua orang tua karena sesuatu hal yang 
terkadang disebabkan oleh keegoisan kita yang tidak mau mengalah sejenak pada 
kedua orang tua kita? Aku jadi teringat pada teman-teman yang sering bercerita 
tentang konflik yang mereka hadapi dengan kedua orang tua mereka. Dan 
sepertinya tidak ada yang menyalahkan diri sendiri karena konflik itu. Kita 
teramat sering mengarahkan telunjuk kesalahan itu kedua orang tua kita. Akupun 
juga tidak terbebas dari kondisi ini. Sekitar lima tahun yang lalu, aku juga 
menyalahkan kedua orang tuaku yang tidak mengizinkanku berjilbab, ketika aku 
memutuskan untuk mengenakannya. Keegoisanku juga yang membuat ada jarak antara 
diriku dengan kedua orang tuaku saat itu.

  Aku jadi teringat dengan perkataan seorang teman. Bersyukurlah masih punya 
orang tua. Jadi yatim piatu kayak aku gak enak lho. Sunyi. Itu kata-katanya 
padaku saat itu. Kata-kata itu mungkin hadir dari hatinya yang paling dalam, 
wujud kerinduannya pada kedua orang tuanya yang telah meninggalkannya lebih 
dahulu menuju ke rumah abadi. Rasanya, sekarang, aku pun juga sependapat dengan 
pendapatnya. Kita memang patut bersyukur pada Allah karena masih diberi 
kesempatan oleh-Nya melewati hari-hari kita bersama dengan orang-orang yang 
kita cintai. Kedua orang tua. Kakak kita. Adik kita. Keluarga besar kita. 
Ternyata, kesempatan itu tidak dimiliki oleh setiap orang. Kelima Â’adik 
kecilkuÂ’ di atas, contohnya.

  Bandung, Maret 2006


Yathie
(Ingati bila Sunyi, Rindui bila Jauh, Fahami bila Keliru, Nasehati bila Lalai 
dan Maafkan bila Terluka. Alangkah Indahnya ukhuwah bila sgalanya karena Allah 
SWT)


]

Kirim email ke