DUA NAMA YANG MELUMPUHKAN PERIH

  Ya Hayyu...Ya Qayyum...
  (Wahai Sang Maha Hidup Kekal...
  Wahai Sang Maha yang Senantiasa Mengurus Mahluk-Nya)

  Ia merintih. Ia memendam perih. Sebuah luka hampir saja meringkus jiwanya, 
melahap mimpi-mimpinya. Seorang laki-laki saleh nyaris luruh di dunia kuldesak, 
dunia ketika jalan terasa gelap dan buntu. Matanya begitu pedih. Sebuah 
penyakit -yang entah apa- mengendap di kelopaknya. Tiga bulan sudah penyakit 
itu bersetia mukim di satu biji matanya.

  Bila rasa sakit itu meradang, ia menjerit-jerit. Serupa jeruk nipis bercampur 
garam dan cuka masam meresap ke dalam matanya. Ia merintih-rintih seraya 
melafal-lafal asma Allah,  meminta belas kasih-Nya. Sudah sekian dokter ia 
datangi, telah  sekian pula berita nihil didapatnya. Para dokter itu tak mampu 
mendiagnosa penyakitnya. Ia merasa hidupnya dan mimpinya dan jiwanya, 
lamat-lamat akan tenggelam di pusara sakit mata. Ia pun akhirnya bisa berdoa 
dan memunajatkan hati kepadaNya.

  Hingga pada satu momen, ia mulai bangkit kembali. Ia pergi ke sebuah rumah 
sakit dan didiagnosis oleh seorang asisten dokter bernama dokter Muhriz. 
Ternyata, jalan menumpas perih yang menjelaga di matanya belum juga berakhir. 
Seminggu selepas diidentifikasi sang dokter, ia hanya diberi resep guna 
meringankan rasa sakit yang dideranya. Ia pun terpaksa melewati hari dalam 
jeri, dalam cemas yang kelam. Kala itu, yang bisa dilakukannya hanya berdoa dan 
menzikir-zikir nama Allah.

  Dua bulan setelah itu, dokter Thuwaihi, dokter berpangkat profesor di sebuah 
fakukas kedokteran, bersama segenap mahasiswanya menjumpainya. Ia bermaksud 
mendeteksi penyakitnya sekaligus mengajarkan kepada mahasiswanya itu ihwal 
metode penyembuhan penyakit yang sudah lama mengendap di matanya.

  Saat itulah, sang Profesor menuturkan petuah sakti yang memasygulkan 
batinnya. "Daya lihat mata yang menderita penyakit seperti ini telah hilang 
secara total. Karena itu, kehadiran kita di sini sekadar membatasi pengaruhnya 
agar penyakit ini tidak menyebar ke mata yang satunya lagi, mata yang masih 
bisa rnelihat..."

  Kesimpulan sang Profesor kepada mahasiswanya itu kontan saja, mengiris-iris 
kalbu lelaki saleh ini. Ia seperti dilesakkan ke palung bumi yang paling 
gulita. Ia merasa benar-benar sendiri dan sepi. Air mata berderai-derai di 
pelupuknya. Betapa tidak! Seorang yang dipikirnya mampu mengusir 'setan' di 
matanya. malah melukai jiwanya. Saat itu, gejolak batinnya tidak lagi berwarna 
kelabu, tapi hitam pekat dan kelam. Maka Allah-lah menjadi sahabat sejatinya, 
menjadi tempat dia menumpahkan perih dan pedih.

  Beberapa hari kemudian, si Profesor dan gerombolan mahasiswanya kembali 
mengunjunginya. Kali ini, Profesor itu meletakkan sebuah mikroskop di atas 
matanya. Memantau kembali kelopaknya. Dan, tiba-tiba, Profesor itu terperanjat. 
Ia geleng-geleng kepada. Ia terkagum-kagum. "Demi Allah! Ini adalah mukjizat. 
Apa yang Anda perbuat hingga hal ini bisa terjadi? Mata Anda yang kemarin 
rusak, kenapa sekarang bisa pulih?" tanya Profesor penasaran.

  "Saya tidak melakukan apapun. Saya hanya terpengaruh ucapan Anda kemarin, 
sehingga saya menangis cukup lama. Namun demikian, harapan saya kepada Allah 
tidak pernah hilang, sebab kesembuhan semata-mata berasal dari-Nya," jawab 
lelaki saleh itu penuh harap “Tampaknya, doa tulus Anda telah dikabulkan 
Allah…” Ujar Profesor penuh decak takjub.
  Begitulah, penuturan lelaki saleh bernama Ibrahim Muhammad Hasan Al-Jamal 
dalam bukunya yang bertajuk Al-istisyfaa' bid Du'a (Meraih Kesembuhan dengan 
Doa -versi terjemahannya). Saya sengaja menuturkan kisahnya lantaran doa yang 
senantiasa dibacanya bukanlah doa yang panjang dan sulit dikenang-kenang. Doa 
itu Cuma dua nama Ilahi, Ya Hayyu dan Ya Qoyyum; dua nama yang berfaedah selaik 
dua ‘mantra’ ajaib yang dapat melumpuhkan perih dan pedih.

  Dan Ibrahim sendiri, hingga kini, tak menduga bila dua nama yang dianjurkan 
syekhnya itu bakal sedahsyat melampaui dokter dan profesor hebat yang 
dilaluinya. Tak aneh, dalam sabda Nabi Muhammad saw, dua nama Ilahi itu 
dijuluki Ismullah al-A'dzham (Nama Allah yang Paling Agung). Begini bunyinya:
  Rasulullah saw bersabda, " Ismullah al-A'dzham yang jika digunakan untuk 
berdoa, maka Allah swt akan mengabulkan doanya, (yakni) yang terdapat dalam 
tiga surat Al-Qur’an: surat Al-Baqoroh, surat Al-Imron, dan surat Thoha (HR. 
Ibnu Majah, Hakim dan Thabrani)

              Setelah saya telusuri, tiga surat itu ada dalam ayat: Al-baqoroh 
ayat 255, Ali Imron ayat 2, dan Thoha ayat 111. khusus untuk ayat 255 surat 
Al-Baqoroh, dua nama Ilahi yang agung itu melekat dalam rangkaian bernama ayat 
Kursi, satu ayat yang saya yakin anda begitu fasih telah menghafalnya. Dan kita 
luput. Padahal bila ayat Kursi itu terasa panjang untuk dzikir-dzikir bibir, 
kita cukup menyebut-nyebut Ismullah al-A'dzham itu sebagai doa.

              Nah, ketika saya buka Tafsir Misbah, Prof. Dr. M Quraish Shihab 
seperti meneguhkan energi magis dua nama Allah yang agung itu.

              Bahwa tatkala membaca ayat Kursi, seseorang akan menyerahkan jiwa 
dan raganya kepada Allah swt. kepadaNya ia akan menghiba-hiba perlindungan. Dan 
saat itu, bisa jadi bisikan iblis melintas di dalam benaknya dan berkata “Yang 
dimohonkan pertolongan dan perlindungan itu memang dulu pernah ada, tetapi kini 
telah mati” Maka, penggalan ayat berikutnyalah yang meyakinkan ihwal kekeliruan 
bisikan makhluk terkutuk itu, yakni ayat berbunyi Al-Hayyu (yang Maha Hidup  
dengan kehidupan yang kekal). Namun imbuh Quraish, si iblis belum tentu 
menyerah begitu saja, ia bisa datang lagi guna menerbitkan waham dan prasangka 
seraya berkata, “Memang Dia hidup kekal, tetapi Dia pusing dengan urusan 
manusia, apalagi si pemohon”. Pada titik krusial itulah, sepenggal ayat 
berbunyi ‘Qayyum’ (Sang Maha yang senantiasa menjaga makhluk-Nya) menampik 
bisikan dusta iblis itu.

              Dari sini saya mahfum kenapa Rasulullah saw, akhirnya memuji Abu 
Mundzir. Beliau bertanya, “Hai Abu Mundzir, tahukah kau ayat Al-Qur’an yang 
menurutmu paling agung?” “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah saw 
bertanya lagi. “Hai Abu Mundzir, tahukah kamu ayat Al-Qur’an yang menurutmu 
paling agung?” Abu Mundzir menjawab, “Yaitu ayat,”Dia-lah Allah, Tiada Tuhan 
selain Dia, Yang Hidup, Yang Berdiri Sendiri (Al-Hayyu, Al-Qayyum)” Abu Mundzir 
kemudian berkata,” Kemudian Rasulullah saw menepuk dada saya seraya berkata, 
“Demi Allah, sungguh dalam ilmumu, wahai Abu Mundzir!”

              Karena itulah, mencermati dua nama agung tersebut, saya semakin 
yakin kenapa Ibrahim membacanya. Ia tahu bahwa perih yang mengendap di kelopak 
matanya bakal meringkus nafasnya. Maka, ia teringat nasehat gurunya untuk 
membaca Ismullah al-A'dzham itu. Pada dua nama inilah, cadangan asa yang 
dimilikinya menggeliat dahsyat: ya Hayyu dan ya Qayyum benar-benar serupa oase 
yang mempertahankan spirit hidupnya. Barangkali saat itu, Ibrahim sedang 
menghikmati apa yang dituturkan sufi Syekh Kabir bahwa “Nafas yang tidak 
menyebut-nyebut nama Allah adalah nafas yang sia-sia.”

              Dalam pada itu saya mencatat semangat penting ihwal sakit Ibrahim 
dan doa bernama Ismullah al-A'dzham ini.

              Suatu kali, filsuf masyhur bernama Socrates pernah berpesan: 
“Hidup yang tidak teruji adalah hidup yang tidak layak untuk dihidupi, hanya 
ada satu tempat di dunia ini dimana manusia terbebas dari segala ujian hidup, 
yakni kuburan. Tanda manusia masih hidup adalah ketika ia mengalami ujian, 
kegagalan, dan penderitaan.”

  Dan Ibrahim, juga kisah orang-orang shaleh berabad-abad silam yang pernah 
memendam perih, saya kira sudah begitu lama menyerap petuah sang filsuf 
tersebut. Baginya, semangat hidup harus terus menyala meski dalam kondisi 
apapun. Ia tidak menjamah putus asa walau kondisi genting tengah menghimpitnya.

               Bahkan, ketika sebuah vonis sang profesor merajam qolbunya, ia 
masih bisa mengumpulkan energi harapan dengan doa Ismullah al-A'dzham. 
Ternyata, Ya Hayyu…Ya Qayyum itu benar-benar memberi kehidupan baru, 
benar-benar tak luput untuk menjaga dari segenap perih. Peristiwa Ibrahim 
semakin meyakinkan saya bahwa harapanlah, seberapapun bentuknya, yang membuat 
rasa sakit yang kita alami semakin melumpuhkan atau menyembuhkan.

              Dan harapan kecil yang meliputi jiwa Ibrahim itu bersenyawa dalam 
doa yang acapkali membasahi bibir dan hatinya. Tak aneh bila beberapa 
penelitian ilmuan barat mengungkap bahwa ada korelasi antara spiritualitas 
(doa) dan kesehatan fisik seseorang. David Larson misalnya, mengeluarkan 
statistik luar biasa untuk meyakinkan orang tentang pentingnya mempertimbangkan 
dimensi keagamaan. “sebanyak 90% orang Amerika percaya bahwa Tuhan dan atau 
berdoa dapat membantu mereka untuk sembuh dari penyakitnya…sementara orang yang 
tidak berdoa besar kemungkinan untuk bunuh diri…”

              Wajar bila ST. Agustinus, filsuf yang pernah berkubang dalam 
dunia jadah itu dalam karya bertajuk Confession, menyadari bahwa semakin dekat 
dengan Tuhan, maka kesengsaraan dan penderitaan dapat dilenyapkan. “Karena 
kemanapun jiwa manusia berpaling, kecuali jika berpaling kepada-Mu, ia akan 
terpancang kesedihan,” tegas agustibus ketika bersimpuh di hadirat Tuhannya.

              Di luar itu semua, jauh-jauh hari, Rasulullah saw, telah 
mengingatkan bahwa seorang muslim yang sakit dan menderita sebetulnya tengah 
menikmati betapa welas asih dan kasihannya Allah azza wa jalla. Dia yang Hayyu 
dan Qayyum, kata Nabi, tengah membersihkan jiwa hamba-Nya yang pekat oleh dosa. 
Lebih lengkap begini bunyi pesan Rasulullah saw

              Suatu kali Abdullah bin Mas’ud berkata: “Aku berkunjung ke rumah 
Rasulullah saw, ketika beliau tengah dilanda sakit parah. Kuusapkan tanganku 
pada tubuhnya seraya bertanya, “Ya Rasulullah, Anda menderita sakit parah? 
Rasulullah menjawab, ‘Ya, aku menderita sakit berat seperti sakitnya dua orang 
diantara kalian’. Aku bertanya kembali: ‘Apakah itu karena Anda mendapat dua 
kali lipat pahala?’ Rasul pun menjawab ‘Ya’.” Lalu Rasulullah bersabda, 
”Tiadalah seorang muslim tertimpa rasa sakit melainkan dengan itu Allah 
menggugurkan dosa-dosanya sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya.”

              Dapatkah anda membayangkan betapa sang Nabi Pamungkas nan mulia 
–yang dijanjikan Allah bebas dosa itu- masih menyadari segugus dosa-dosanya? Ia 
yang ma’sum itu masih bermunajat pada ilahi agar perih yang sedang menjalar di 
tubuhnya adalah penggugur dosanya.

              Dan kita? Semoga kita segera menyimpan rapat-rapat petuah itu di 
lubuk benak kita, agar kelak bila ada perih yang meluruh di tubuh kita, bukan 
hanya Ismullah al-A'dzham yang membadahi hati kita, tapi juga nasehatnya yang 
indah.
]

Kirim email ke