Kita dan Logika Hitam Putih Oleh : Reza Ervani http://groups.yahoo.com/group/rezaervani blog : rezaervani.blogspot.com [EMAIL PROTECTED]
Tiara Lestari dan Andi Sjarief Sepasang suami istri yang ditampilkan di talk show Kick Andy semalam, 19 April 2007 pukul 22.30 malam di Metro TV. Tiara Lestari tadinya adalah seorang model majalah Playboy. Bukan edisi Indonesia, tapi edisi luar negeri. Diakui sebagai model Indonesia yang paling berani dalam berpose. Suaminya, Andi Sjarief, adalah anak seorang Doktor pakar ASI Indonesia; dunia yang cukup jauh dari dunia artis dan gosip selebritis. Banyak potongan-potongan diskusi yang menjadi sangat berkesan bagi penulis. Ketika dengan nada yang bisa tertangkap ketulusannya, Tiara bercerita bahwa bayi yang kini dikandungnya ada dalam posisi bersujud, sehingga USG belum bisa menebak jenis kelamin sang bayi. Potongan lain, adalah ketika Andi Sjarief, sang suami, memaparkan mengapa ia bisa menerima Tiara menjadi istrinya. Titik utamanya adalah kesediaan Tiara meninggalkan segala yang sebelumnya menjadi pilihan hidup seorang model : kecemerlangan karir, kematangan finansial, hingga popularitas. Opsi yang sungguh tidak mudah. Kesan religi semakin mengental ketika ibunda sang Suami, mertua Tiara, diundang pula untuk berdialog. Kalimat mengesankan yang sempat terekam oleh penulis, adalah ketika sang bunda, sebagai seorang pakar ASI, ingin melihat kejadian pertama seorang bayi diadzankan oleh ayahnya dalam selang waktu 30 menit setelah dilahirkan diatas dada ibunya, setelah bayi tersebut secara natural melakukan proses inisiasi ASI. Dengan mengucap subhanallah, sang bunda dengan bangga mengatakan bahwa bayi itu insya Allah adalah cucunya yang pertama, anak yang kini sedang dikandung oleh Tiara. *** Kepiawaian Andi F. Noya dalam membaca dan membuat alur seperti ini begitu mengesankan. Seakan hendak mengatakan bahwa seorang model playboy sekalipun, bisa mengalami titik balik dalam hidupnya, menyesal sepenuhnya, dan meninggalkan total masa lalunya. Penulis ingin sedikit menggelitik para juru dawah. Pernahkah kita membaca dan mulai membuat alur seperti itu ? Atau semata logika hitam putih yang selalu kita gunakan dalam memandang objek dawah ? Jika tidak lurus, maka bengkok ? Jika tidak benar, maka salah ? Jika tak diketemukan nashnya, maka bidah ? Menciptakan ruang untuk tiap orang berkontemplasi tentang perjalanan hidupnya, itulah tugas dai. Bukan membangun tembok tebal dan tinggi, tanpa jendela, sehingga orang yang dicap sebagai pendosa tak bisa memandang keluar. Semakin parah lagi, karena ternyata para juru dawah ini pun tinggal di ruang dengan dinding tak kalah tinggi, sehingga tak terdengar lagi getaran-getaran kerinduan di berbagai penjuru. Sebaik-baik usia tiap orang adalah pada penghujungnya. Dan ketahuilah, bagi kita, ujung-ujung usia akan selamanya menjadi misteri, karena seringkali disanalah Allah memberikan kesudahan yang indah dari perjalanan taubat hambaNya. Ila Robbika Muntahaha. Innama Anta Mundziru Man Yaghsyaha Allahu Alam