Tafsir Ayat Kursi: Memahami Keagungan Kursi Allah
  Oleh: DR. Attabiq Luthfi, MA

  “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang Hidup 
Kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk)Nya, tidak mengantuk dan tidak pula 
tidur. MilikNya segala apa yang ada di langit dan di bumi. Tiada yang dapat 
memberi syafa’at di sisi Allah tanpa seizinNya. Allah Mengetahui apa-apa yang 
ada di hadapan dan di belakang mereka. Sedangkan mereka tidak mengetahui 
apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakiNya. Kursi Allah luasnya 
meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya dan 
adalah Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung”.

  Ayat di atas yang masyhur dengan nama ayat kursi terdapat di dalam surah 
Al-Baqarah ayat 255. Penamaan ayat ini bukan ijtihad para ulama, tetapi 
Rasulullah sendiri yang menamakannya. Tersebut dalam salah satu riwayat bahwa 
ketika Rasulullah saw ditanya oleh salah seorang sahabatnya tentang “ayat apa 
yang paling agung dari kitabullah?” Beliau menjawab, “Ayat Kursi”, kemudian 
Rasulullah membaca ayat ini. (Hadits riwayat Imam Ahmad dan Nasa’i). Dan 
memang, kata ”kursi” sendiri terdapat di dalam ayat ini yang menjadi salah satu 
argumen penamaan ayat ini seperti juga penamaan surah-surah Al-Qur’an yang lain.

  Ayat kursi sangat kental dengan nuansa akidah, terutama akidah kepada Allah 
swt, yaitu akidah akan sifat-sifat Allah yang berbeda dengan sifat seluruh 
makhlukNya. Kejelasan akan sifat-sifat Allah sangatlah penting untuk 
menghindari dominasi khurafat, mitos dan syubhat yang kerap kali menutupi hati 
dan pandangan manusia. Justru Islam datang untuk menyelamatkan dan membersihkan 
hati manusia dari timbunan kotoran yang demikian berat, serta dari kesesatan 
dan kebingungan dalam kegelapan. Sehingga secara korelatif dijelaskan pada ayat 
setelahnya: ”Tidak ada paksaan dalam beragama”, bahwa akidah yang dibawa oleh 
Islam adalah akidah yang berdasarkan kerelaan hati setelah mendapat keterangan 
dan penjelasan yang terang benderang, bukan berdasarkan pemaksaan dan tekanan.

  Menurut Ibnu Athiyah, yang dimaksud dengan kursi, berdasarkan hadits-hadits 
Rasulullah saw, adalah makhluk Allah yang agung yang berada di antara Arsy 
Allah swt, sedangkan Arsy Allah tentunya lebih besar berbanding kursiNya. 
Perbandingan antara keduanya seperti yang dituturkan oleh Rasulullah dalam 
sebuah hadits riwayat Abu Dzar, “Bukanlah kursi Allah yang berada di Arsy Allah 
itu melainkan hanya seperti sebuah lingkaran besi yang dilemparkan di salah 
satu penjuru bumi”.

  Penyebutan kata “kursi” yang secara fisik inderawi bisa digambarkan layaknya 
kursi tempat duduk manusia, begitu juga ungkapan ”dan Allah tidak merasa berat 
memelihara keduanya” sememangnya menurut Sayyid Qutb adalah untuk memudahkan 
manusia memahami dan menggambarkan keagungan dan luasnya kekuasaan Allah yang 
meliputi langit dan bumi, “Luasnya Kursi Allah meliputi langit dan bumi”. 
Ungkapan dalam kalimat deskripsi inderawi seperti ini akan memberikan kesan 
yang kuat dan mendalam serta mantap di dalam hati mengenai hakikat yang 
dimaksud.

  Berdasarkan analisa bahasa yang dikemukakan oleh Az-Zamakhsyari bahwa 
penyebutan sifat-sifat Allah yang terkandung dalam ayat kursi ternyata tidak 
menggunakan kata penghubung (wau athaf) yang biasa digunakan dalam susunan 
kalimat bahasa Arab untuk menghubungkan antara satu kata dengan kata lainnya. 
Redaksi yang demikian ini menunjukkan kekuatan bayan (penjelasan) pada seluruh 
sifat-sifat Allah swt yang tersebut dalam ayat ini. Paling tidak terdapat empat 
penjelasan tentang sifat-sifat Allah dalam ayat kursi, yaitu: pertama, 
penjelasan akan keesaan Allah dalam mengatur seluruh makhlukNya. Kedua, 
penjelasan bahwa Allah adalah Raja atas seluruh makhluk yang diaturNya. Ketiga, 
penjelasan akan luasnya ilmu Allah yang mencakup seluruh makhlukNya, sampai 
kepada mereka yang diridhoi dan berhak mendapat syafa’atNya dengan mereka yang 
tidak berhak mendapatkannya. Dan keempat, penjelasan tentang pengetahuan Allah 
akan seluruh maklumat yang tersebar di langit dan bumi.

  Wajar jika Ibnu Katsir menyimpulkan bahwa ayat kursi merupakan ayat yang 
paling agung dalam Al-Qur’an (A’dlomu ayatin fil Qur’an) dan memiliki kedudukan 
dan keutamaan yang banyak. Di antara keutamaan ayat kursi seperti yang 
ditegaskan dalam beberapa hadits Rasulullah diantaranya: pertama, ayat kursi 
merupakan pelindung dan benteng dari godaan syetan. Kedua, nilai ayat kursi 
setara dan sebanding dengan seperempat Al-Qur’an.

  Sebuah kisah yang diutarakan oleh ayah Abdullah bin Ubay bin Ka’ab menjadi 
bukti nyata akan keampuhan ayat kursi sebagai pelindung. Ia menceritakan bahwa 
pada suatu malam ketika melihat-lihat kebun kurma miliknya, tiba-tiba ia 
terserempak dengan seekor hewan yang mirip dengan seorang anak yang baru 
menginjak usia baligh. Maka ayah Abdullah bin Ubay bin Ka’ab mengucapkan salam 
yang langsung dijawab oleh anak itu. Kemudian dengan nada penasaran ia 
bertanya, “Siapakah kamu? Apakah kamu dari golongan jin atau manusia?”. Dengan 
singkat anak itu menjawab, “Dari golongan jin”. Akhirnya ia meminta jin itu 
untuk mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Ternyata ketika disentuh, 
tangannya seperti tangan anjing dan juga bulunya. Maka aku bertanya, “Apakah 
demikian jin diciptakan?”. Jin itu menjawab, “Bahkan ada yang lebih hebat dari 
ini”. “Apakah yang mengundang kamu datang kemari?”. Ayah Abdullah bin Ubay 
kembali bertanya. “Telah sampai berita kepadaku bahwa engkau adalah
 seorang yang sangat dermawan. Aku ingin mendapatkan sedekahmu”. “Jika memang 
demikian, aku ingin bertanya, apa yang dapat melindungi kami dari godaanmu?”. 
Pinta Abdullah bin Ubay. Dengan tegas, jin itu menjawab, “Ayat kursi”. Keesokan 
harinya, Ayah Abdullah bin Ubay menceritakan kepada Rasulullah apa yang 
dialaminya tadi malam. Maka Rasulullah bersabda, “Apa yang dikatakan oleh jin 
itu benar, tetapi dia tetap makhluk yang kotor”. (Diriwayatkan oleh Al-Hakim).

  Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dijelaskan kedudukan 
ayat kursi yang senilai dengan seperempat Al-Qur’an. Anas bin Malik 
menceritakan bahwa Rasulullah saw pernah bertanya kepada salah seorang 
sahabatnya, “Wahai fulan, sudahkan kamu menikah?”. Sahabat itu menjawab, “Saya 
tidak memiliki apapun untuk menikah”. Rasulullah bertanya kembali, “Bukankah 
bersama engkau (hafal) Al-Ikhlash?”. Ia menjawab, “Benar wahai Rasulullah”. 
Rasulullah menjelaskan, “Ia sebanding dengan seperempat Al-Qur’an”. Rasulullah 
terus bertanya pertanyaan yang sama sampai terakhir Rasulullah bertanya, 
“Bukankah bersama engkau (hafal) ayat kursi?”. Ia menjawab, “Benar ya 
Rasulullah”. Maka Rasulullah bersabda, “Ia senilai dengan seperempat Al-Qur’an”.

  Keagungan ayat kursi semakin jelas karena ayat ini secara terperinci 
mengandungi penjelasan akan sifat-sifat dzat Allah swt; dari sifat Wahdaniyah 
yang dinyatakan oleh Allahu La Ilaha Illah Huwa”, Sifat Maha Hidup yang 
berkekalan (Al-Hayyu), sifat Maha Kuasa dan berdiri sendiri (Al-Qayyum), bahkan 
sifat Qayyum Allah diperkuat dengan penafian akan segala yang mengarah kepada 
kelemahan, seperti “Tidak mengantuk dan tidak tidur”. Begitu juga dengan sifat 
memiliki yang berkuasa untuk melakukan apa saja terhadap makhluk yang 
dimilikiNya. Sifat iradah (berkehendak) yang ditunjukkan oleh kalimat 
“mandzalladzi yasyfa’u…”, dan iradah Allah di sini adalah pada urusan yang 
paling besar, yaitu syafa’at yang tidak dimiliki oleh siapapun kecuali atas 
izin Allah swt. Juga sifat “Ilm yang dinyatakan oleh “ya’lamu ma baina…..”. 
Terakhir sifat-sifat dzatiyyah Allah ditutup dengan sifat yang menunjukkan 
ketinggian dan keagunganNya, “Wahuwal Aliyyul Adzim”. Ibnu Abbas menuturkan, 
“Yang
 sempurna dalam ketinggian dan keagunganNya”.

  Inilah sifat penutup bagi ayat kursi untuk menetapkan ke-Esa-an Allah pada 
kebesaran dan ketinggianNya. Alif Lam Ma’rifah yang digunakan dalam kedua sifat 
terakhir ”Al-Aliyyu Al-Adzimu” sesungguhnya untuk membatasi sifat itu hanya 
milik Allah Yang Maha Suci, tanpa ada yang bersekutu denganNya. Bahkan tidak 
ada seorang hamba pun yang berusaha mencapai posisi kebesaran dan ketinggian 
seperti ini melainkan Allah akan mengembalikannya kepada kehinaan dan 
kerendahan di akhirat kelak Allah swt berfirman, ”Negeri akhirat itu Kami 
jadikan bagi orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di 
(muka) bumi..” (Al-Qashash: 83)

  Demikianlah ayat kursi hendaknya dijadikan prinsip dan acuan dalam 
berinteraksi dengan Allah dan dengan seluruh makhlukNya. Hanya Allah Pemilik 
segala sifat kesempurnaan, sedangkan manusia tidak layak memakai pakaian 
kebesaran Allah. Keyakinan yang mendalam akan seluruh sifat-sifat Allah akan 
mampu melahirkan perasaan khauf (takut) akan murka dan azab Allah jika kita 
melanggar aturanNya. Begitu juga akan mampu melahirkan sifat raja’ (penuh 
harap) kepada kasih sayang dan rahmat Allah swt.

  www.dakwatuna.com

Kirim email ke