Ramadhan Pertama di Lereng Senduro

Sabtu, 29 September 2007

Teh manis dan kopi panas menandai puasa pertama sekitar 227 muallaf
lereng gunung Senduro, Lumajang, Jawa Timur. Bagaimana Ramadhan mereka
ke depan?

Hidayatullah.com--Sore itu, Ahad, 16 September, suasana alam lereng
gunung Senduro begitu cerah. Di lokasi yang terletak di ketinggian
lereng gunung, berjarak sekitar 8 km dari gunung Bromo nampak seperti
biasa. Di ufuk Barat, tak terlihat rona merah mega senja yang berarak
mengiringi mentari. Rona alam Senduro kala itu hanya diselimuti kabut
putih. Sejauh mata memandang hanya hamparan putih yang terlihat.Tak
ketinggalan, hawa dingin pun menyeruak menusuk kulit, seolah-olah tiga
lapis kain pun tak cukup untuk melindungi badan dari sengatanya.

Adzan Magrib segera berkumandang. Beberapa orang tua-muda juga anak-anak
nampak mengelilingi meja kecil dan sebuah tikar. Tepat di dekat meja dan
tikar itu menyala tungku api. Suasa nampak hangat.

"Bismillahirrahmaanirahiim", ujar Natoyo (40), warga Desa
Argosari, Senduro, Lumajang, segera menyeruput teh panas.
"Alhamdulillah," ucapnya. Beberapa orang nampak mengikutinya.
Suasana jadi riuh dan ramai.

Jangan keliru, ini, adalah suasana Ramadhan pertama bagi warga lereng
gunung Senduro. Tepatnya, warga dari tiga desa, yaitu desa Wonocempoko,
desa Argosari, dan desa Burno. Di sinilah, pada tanggal 17 Mei 2007
lalu, sebanyak 227 warga mengucapkan dua kalimat syahadat.

Seperti halnya Natoyo, aktivitas selepas maghrib ini merupakan hal baru.
Sebelumnya Natoyo bersama 226 rekan lainnya beragama Hindu. Meski makan
malam merupakan budaya turun-temurun, namun memulai makam malam sambil
menunggu adzan maghrib, apalagi disertai puasa sehari penuh, baru ia
lalukan kali ini.

Natoyo tahu, konsekwensi syahadat yang ia ucapkan empat bulan lalu,
membuat ia harus melakukan beberapa kewajiban sebagaimana dilakukan kaum
Muslim lainnya. Selain berpuasa, ia –juga diikuti warga dari tiga
desa lainnya--  bahkan telah memperbaharui pernikahannya yang kini telah
dikaruniai tiga putra.

Selain itu, ia bersama warga lain, juga mengganti status mereka yang ada
dalam kartu tanda penduduk dan menggantinya dengan kata "Islam".
Tak sekedar itu, mayoritas warga dewasa, bahkan umurnya sudah
kakek-kakek, terpaksa melakukan khitan.

Suka dan Duka

Walau baru empat bulan mereka memeluk Islam, animo para muallaf Senduro
untuk berpuasa sangat tinggi.  Sebagaimana dituturkan Ust. Ali Farkhu,
salah satu dai Hidayatullah yang juga pembina muallaf Senduro sudah
tujuh puluh persen muallaf berpuasa.

Sikap antusias ini memang sudah nampak jauh hari. Sebelum bulan Ramadhan
tiba, selain diajarkan shalat juga mengenal sarat dan rukun Islam,
mereka juga diajarkan cara berpuasa. Sebelum ini, mereka tak penah
melakukan puasa. Apalagi sampai sebulan penuh.

"Tapi puasa itu asik walau lapar tidak terasa. Tahu-tahu sudah tiba
waktu berbuka," kata Natoyo.  Lain lagi bagi Giman (42), dia memilih
untuk tidak berpuasa, sebab kalau berpuasa maka dia tidak bisa
mencangkul.  "Gak kuat. Lha , siapa yang mau memberi makan
keluarganya kalau puasa?", tuturnya beralasan.

Tak sekedar berpuasa semata. Para muallaf baru ini, juga mengikuti
Shalat tarawih bersama yang dilaksanakan di Musolah Mubarak. Karena
Musolanya terlalu kecil, maka tak mampu menampung jumlah jamaah,
sehingga para jamaah harus Shalat di pelataran Musolah dengan beralaskan
terpal dan karpet.

Ba'da tarawih biasanya ada tausyiah yang disampaikan oleh para
pembina muallaf, materinya tentang dasar-dasar berislam antara lain
rukun iman dan Islam.

Sebelum Islam datang, setiap Magrib terdengar suara bacaan doa dari Pura
tempat peribadatan agama Hindu setempat. Namun sejak warga Senduro
memeluk Islam, kini suara azdhan dan lantunan ayat suci Al-Quran
terdengar membahana di lereng gunung nan indah itu. Apalagi di bulan
Ramadhan ini, banyak anak-anak Senduro tadarusan setiap malam.

Malam harinya, untuk membangunkan masyarakat guna makan sahur, biasanya
jam 2.00 ada pengumuman sahur  dari Musolah lewat alat pengeras suara.
Dulu, sebelum Islam, bukan hal lumrah jika harus bangun mempersiapkan
masakan. Namun, setelah mengenal Islam, ibu-ibu juga harus bangun,
memasak dan mempersiapkan makanan untuk sahur keluarganya.

Suasana baru Ramadhan di lereng Senduro tahun ini, ibarat cahaya di
tengah-tengah gelapnya malam lereng Gunung Bromo.  Senduro berada di
kawasan Taman nasional Bromo, Taman Nasional pegunungan dan lembah
seluas 50.273,3 Hektar.  Bromo mempunyai ketinggian 2.392 meter di atas
permukaan laut.

Semangat para muallaf Senduro ini sungguh membanggakan. Namun tak hanya
sekedar ucapan membanggakan yang dibutuhkan mereka.  Perhatian dan
bantuan para aghiniya' dan perhatian kaum Muslim lainnya. Ibarat
benih yang sedang tumbuh subur, mereka harus disiram dan dijaga dari
hama. Jika tidak, mereka akan menjadi makanan empuk bagi kristensisasi
yang yang sedang gencar-gencarnya membeli akidah mereka dengan sebungkus
mie instan.

Hari ini inim mereka bersuka-ria menikmati puasa. Sebentar lagi, mereka
juga berharap-harap akan segera merayakan hari kemenangan idul fitri.
Namun, akankah kemenangan dan kebahagiaan fitri tersebut bisa  dirasakan
para keluarga muallaf Senduro di tahun-tahun depan?.

Bantuan dan dukungan dana Anda, akan ikut membantu semangat dan kilau
cahaya Islam terus bersinar di Lereng Gunung Senduro.
[war/sfi/cha/www.hidayatullah.com]


***

Zakat dan Infaq Anda untuk kelanjutan Dakwah Islam di Lereng Gunung
Senduro, bisa disalurkan melalui Baitul Maal Hidayatullah [BMH], Jawa
Timur.

Bank Syariah Mandiri  Surabaya Utama No. rek. 008 010 8896 atau BCA
Surabaya No. rek. 088 382 7004.

Atau kontak person: Ust. Ihya Ulumuddin di 031-71527034, Kantor BMH
[031- 5915516] dan Email: [EMAIL PROTECTED]




Reply via email to