Terima Kasih Sudah Membuatku Menangis

11 Nov 07 04:56 WIB

Kirim teman

Oleh Rubina Qurratu'ain Zalfa

"Don't judge a book from its cover", begitulah kata bijak yang sering 
kita dengar untuk mengingatkan agar kita tidak menilai orang lewat 
penampilannya, karena penampilan lahiriah bisa menipu kita. Orang yang 
dari luarnya terlihat hebat, belum tentu memiliki hati dan pemikiran 
yang hebat. Sebaliknya, orang yang di mata kita terlihat sangat 
sederhana, belum tentu memiliki hati dan pemikiran yang sama sederhananya.

Pelajaran itu saya alami dari sosok seorang teman di kantor, yang di 
mata saya dan di mata sebagian teman-teman saya, selama ini terlihat 
sebagai sosok yang "selengek"an, cuek dan dianggap masih ABG alias Anak 
Baru Gede.

Usianya memang relatif masih muda, masih di awal 20-an, sebut saja 
namanya Ikhwan. Tingkahnya yang kadang masih seperti ABG, terkadang 
membuat kami tertawa. Apalagi penampilannya yang jauh dari rapi, 
terutama rambutnya, yang menurut teman saya itu memang jarang bahkan 
enggak pernah disisir kalau habis mandi. Kebayang kan...

Awalnya, saya melihat sosok Ikhwan sebagai sosok anak muda lazimnya, 
yang baru melangkah dewasa. Yang masih senang hura-hura, kongkow-kongkow 
ke sana kemari sama teman-teman seusianya, tidak seperti teman-teman 
kantor lainnya, terutama yang laki-laki, yang memang mayoritas sangat 
religius dan Islami.

Tapi ternyata, anggapan saya itu salah besar! Ketika suatu petang, 
selepas sholat maghrib saya melihatnya sedang membaca al-Quran, bukan 
cuma membaca tapi juga mencoba menghapal. Besok-besoknya, saya melihat 
teman saya itu bertilawah dengan rutin.

Awalnya, saya cuma memperhatikan saja sambil bergumam di dalam hati, 
"Wah, ternyata ni' anak rajin juga baca Qurannya. Dihapal lagi...." Saya 
sendiri, membaca Qur'an saja tidak rutin, apalagi kepikiran buat 
menghapal. Terbersit rasa salut pada teman saya itu, tapi saya tidak 
pernah bertanya secara langsung tentang kebiasaannya itu. Hingga suatu 
sore... Ketika saya secara tak sengaja ngobrol panjang dengan teman saya 
itu, sayapun menangis dibuatnya. Saya menangis karena saya tidak bisa 
seperti teman saya itu. Saya menangis karena saya iri dengan keikhlasan, 
kebaikan dan ketaqwaannya sebagai seorang Muslim.

Ternyata, di balik penampilannya yang "selengek"an, teman saya menyimpan 
pemikiran-pemikiran yang besar, yang begitu peduli dengan kondisi umat 
Islam selama ini, yang begitu berhati-hati menjaga perilakunya sebagai 
seorang Muslim dan sangat mencintai serta menghormati ibunya. 
Subhanallah....

Sore itu, teman saya bercerita banyak tentang kehidupannya dan bagaimana 
al-Quran mengubah jalan hidupnya, menjadi sosok yang sangat mencintai Islam.

"Kalau saya melihat orang Islamnya, saya mungkin enggak mendalami Islam, 
mbak, " kata teman saya itu.

"Tapi saya membaca al-Quran dan saya menemukan ajaran-ajaran dalam 
al-Quran yang begitu menyentuh perasaan saya, " ujarnya. Saya 
mengangguk-angguk.

"Itulah sebabnya saya selalu mencoba rajin tilawah dan menghapalnya. 
Mbak tahu kenapa?" tanyanya. Saya cuma menggeleng.

"Saya ingin menjadi anak yang shaleh, yang bisa menjadi penolong bagi 
ibunya di akhirat kelak, " ujarnya. Teman saya pun bercerita tentang 
ibunya dan bagaimana ia sangat mencintai sang ibu dan bercita-cita ingin 
membahagiakannya. Saya melihat ada yang menggenang di pelupuk matanya, 
ketika teman saya itu menceritakan tentang sang ibu. Saya cuma diam, tak 
berkomentar.

"Ada tiga hal yang bisa membuat saya menangis, " katanya lagi.

"Apa?" tanya saya.

"Pertama, kalau saya mengingat ibu saya. Kedua, ketika saya membaca arti 
ayat-ayat al-Quran, dan ketiga, ketika saya membaca dan mendengar 
kisah-kisah perjuangan di Palestina. Saya bisa menangis, karena saya 
merasa amaliyah saya di dunia ini masih sangat sedikit... " tutur teman 
saya. Sorot matanya memancarkan kegelisahan.

Kali ini, saya betul-betul merinding mendengar penuturannya. Tiba-tiba 
saja seperti ada pisau yang amat tajam yang mengiris jiwa saya. Selama 
ini, tidak pernah terlintas di pikiran saya untuk menghitung amalan saya 
di dunia, apakah sudah cukup bekal saya jika sewaktu-waktu dipanggil 
sang kuasa. Selama ini, saya hanya berempati dengan penderitaan 
saudara-saudara saya di Palestina, tapi tak pernah menangis 
memikirkannya. Selama ini, rasanya saya tidak memiliki cinta sebesar 
cinta yang dimiliki teman saya itu pada sang bunda. Tiba-tiba saja, saya 
merasa begitu kerdil dan merasa iri melihat cara berpikir teman saya itu 
yang ternyata lebih dewasa dari usianya.

Saat sholat ashar sore itu, saya betul-betul menangis di hadapanNya, 
menangisi segala kekurangan, kelemahan dan kebodohan saya selama ini. 
Memohon ampunan atas segala kesalahan dan sebulat tekad untuk membenahi 
diri dan menjadi orang yang lebih baik, teriring rasa syukur karena 
telah memberikan seorang teman yang telah menjadi cermin kebaikan bagi saya.

"Teman, hanya doa yang bisa aku panjatkan, sebagai rasa terima kasih, 
semoga Allah swt mengabulkan semua cita-citamu dan tetap membimbingmu 
agar senantiasa menjadi cermin kebaikan bagi orang-orang di sekitarmu... 
" amiin

Jakarta, 9 November 2007

(Catatan kecil buat seorang teman, GSS, thanks ya bro...)

sebuah postingan dari

http://www.eramuslim.com/atk/oim/7b09161617-terima-kasih-sudah-membuatku-menangis.htm

sedikit cermin buat yang sering lupa tentang kehidupan, birrul walidain 
, dan saudara seiman yang kedinginan bila malam, kepanasan bila siang, 
dan kelaparan serta tangisan untuk siang dan malamnya di palestina...

salam hangat



rediyans

"Aduhai sekiranya kematian itulah yang bisa menyelesaikan segala sesuatu"
(Al Haaqqah : 27)




Kirim email ke