----- Original Message ----- From: [EMAIL PROTECTED] Damai dengan Tetangga, Mungkinkah? Oleh. M. Syamsi Ali
Tgl 22 Oktober lalu, saya mewakili Islamic Center New York menjadi pembicara bersama Rabbi Marc Shneier dari East New York Synagogue di Universitas New York (New York University) dalam acara Muslim-Jewish Dialogue: Future Relations, Challenges and Opportunities. Acara yang dihadiri oleh lebih dari 400-an mahasiswa dan professor NYU itu, berjalan hangat dan seru. Walaupun terkadang diselingi perbedaan-perbedaan yang tajam, tapi kedua pembicara menyampaikan ide-idenya dengan santai dan penuh humor, sehingga "tensi" itu tidak terlalu mencolok, khususnya di kalangan para mahasiswa yang biasanya sangat idealis. Dari sekian banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh moderator, Joel Cohen, mantan prosecutor dan penulis buku Moses and Jesus in Dialogue, mungkin yang paling menggelitik adalah ketika saya ditanya tentang bagaimana menyikapi jika suatu ketika ada seorang Muslim, yang dalam bahasa Cohen "a Mullah" yang ingin mendirikan negara Islam di Amerika. Atau jika ada seorang Muslim atau "Mullah" yang ingin menegakkan Syari'at di Amerika, bagaimanakah seharusnya menyikapinya? Jawaban saya ternyata mengejutkan para peserta, dan bahkan banyak di antara mereka yang geleng-geleng kepala. Pertama, saya tegaskan bahwa "Syari'ah phobia" yang masih menggeluti kebanyakan warga Amerika seharusnya dikurangi. Amerika, saya katakan, dalam banyak hal lebih pantas untuk dikatakan negara Islam ketimbang banyak negara yang diakui sebagai negara Islam saat ini. Dan Amerika, dalam banyak sisi telah lebih banyak menegakkan Syari'at Islam ketimbang negara-negara yang mengaku mengusung Syari'ah. Untuk itu, seorang Muslim yang paham tentang konsep masyarakat dalam Islam, tidak akan pernah mempermasalahkan itu lagi. Sebaliknya, non Muslim juga seharusnya tidak perlu "over worried" mengenai hal tersebut. Syari'ah adalah landasan hidup seorang Muslim. Berislam tanpa bersyari'ah adalah sesuatu yang mustahil. Hukum-hukum yang mengatur kehidupan seorang Muslim, mulai dari masalah-masalah keimanan, ritual, hingga kepada masalah-masalah mu'amalat (hubungan antar makhluk) masuk dalam kategori Syari'ah. Untuk itu, memutuskan hubungan antara kehidupan seorang Muslim dengan Syari'ah sama dengan memisahkan antara daging dan darahnya. Amerika yang didirikan di atas asas kebebasan (freedom), kesetaraan (equality) dan keadilan (justice) untuk semua, sesungguhnya didirikan di atas asas nilai-nilai dasar Islam. Islam yang didasarkan kepada nilai-nilai kebebasan (al-hurriyah), keadilan (al 'adaalah) dan persamaan (al musawah). Konsep dasar keimanan yang dibangun di atas "Laa ilaaha illah Allah" sesungguhnya adalah konsep kebebasan penuh dalam ikatan Ilahi. Artinya, manusia terbebas dari segala perbudakan, termasuk perbudakan sesama manusia dan bahkan perbudakan dirinya sendiri. Hanya satu penghambaan dalam hidupnya, yaitu penghambaan kepada Pencipta, Pemilik dan Pemberi rezekinya, Allah SWT. Kesadaran akan kebebasan yang bertanggung jawab ini melahirkan kesadaran akan keadilan sosial (social justice) yang dibangun di atas asas kesetaraan. Keadilan dalam Islam adalah ruh kehidupan itu sendiri. Hidup dalam kezaliman tidak lebih dari kematian makna kehidupan itu sendiri. Hidup tapi mati. Itulah rahasianya ketika Allah harus menamai diriNya sendiri dengan "Al 'Adl" atau keadilan. Bahwa Allah itu tidak saja adil tapi Dia adalah Representasi langsung dari keadilan. Maka menginjak-injak keadilan adalah menginjak-injak representative keadilan, Allah SWT. Maka, kata saya, kehadiran Islam di Amerika ibarat benih subur yang terjatuh di atas lahan yang subur. Dia akan tumbuh dengan baik dan subur karena memang lahan yang ditempatinya sesuai dengan kebutuhan benih tanaman ini. Kelak, tanaman ini pasti akan dirasakan karena memang manusia yang mendiaminya telah lama marasakan kehausan untuk itu. Saya akhiri, sesungguhnya kehadiran umat Islam di Amerika itu tidak perlu dikhawatirkan, tapi sebaliknya disyukuri. Umat Islam akan memberikan sumbangsih yang besar untuk menampakkan ke seluruh penjuru dunia bahwa tanah Amerika memang subur untuk menanamkan nilai-nilai Syaria'h yang universal itu. Amerika bukan musuh, tapi Amerika adalah lahan subur untuk Islam. Tgl 5 Nopember 2007 lalu, atas prakarsa Auburn Seminary di kota New York, juga berlangsung acara unik yang disebut Face to Face, Faith to Faith. Acara yang dimoderatori oleh Ketie Couric, TV Anchor yang masyhur itu, menampilkan tiga panelis, Rabbi Rubin Stein, Senior Rabbi pada Central Synagogue, Rev. Michael Lindvall, Senior Pastor The Brick Church dan saya sendiri. Lebih 500 tamu hadir memenuhi ruangan Gotham building di Broadway yang terkenal itu rela membayar mahal. Konon kabarnya, meja utama dijual dengan harga $50.000 permeja dengan kapasitas 8 orang. Barangkali yang paling menarik dari acara dialog itu adalah kata-kata pembukaan Ketie sebelum memulai acara dialogue malam itu. Dengan lugas Ketie mengatakan "I've studied religions. I've studies Christianity, Judaism and Islam. The more I studied those religions the most I regret to my self about what I used to perceive about them, particularly about the religion of Islam". Lanjutnya "I think from now on, I have to put more respect to those religions". Bahkan secara khusus Ketie mengatakan: "Islam is the religion that has been recorded by our history, full of tolerance and the religion of civilization". Acara itu bagi saya sangat membanggakan. Selain karena pujian terhadap agama Islam begitu besar di saat media kurang bersahabat dan masih luasnya salah paham terhadapnya, juga karena saya sempat menyampaikan agama ini secara lugas dan apa adanya kepada hadirin dalam acara Face to Face, Faith to Faith itu yang umumnya adalah politisi tingkat tinggi dan pebisnis besar. Banyak yang kemudian berniat untuk berkunjung ke Islamic Center pada masa-masa mendatang. Mungkinkah itu indikasi baik? Dua hari setelah itu, 7 Nopember, atas kerjasama Islamic Cultural Center of New York dan East New York Synagogue untuk pertama kalinya dilangsungkan Imam and Rabbi National Summit di kota New York. Acara yang berlangsung di Synagogue pada sesi pagi dan di Islamic Center pada siang hari dihadiri oleh sekitar 40 Imam dan Rabbi, masing-masing dua wakil dari berbagai negara bagian Amerika Serikat. Sebenarnya Summit ini merupakan kristalisasi dari pertemuan seminggu sebelumnya yang membahas tentang hubungan Yahudi-Muslim Amerika di masa depan, peluang dan rintangan. Memang diakui bahwa hubungan Yahudi dan Muslim masih didominasi oleh isu Palestina-Israel. Ternyata banyak Imam yang pessimis bahwa hubungan itu akan terjalin baik selama Israel masih menjajah Palestina. Walaupun kenyataannya banyak di antara Rabbi itu menegaskan bahwa walaupun tidak mengingkari pembelaan mereka kepada kaum Yahudi di Israel yang dianggap terancam oleh lingkaran tetangga, tapi mereka bukanlah representasi dari kepentingan politik Yahudi Israel. "I am a Jew but not an Israeli", kata seorang Rabbi. Sebaliknya, teryata masih ada juga Rabbi yang bersikukuh menolak penyebutan nama Palestina dalam pertemuan tersebut. Alasannya, Palestina itu tidak ada wujudnya. Selama Palestina belum merdeka, maka kata Palestina seharusnya jangan disebut. Kenyataannya, para Imam dengan tenang menghadapi sikap kurang bersahabat itu. Jawabannya, kami mengakui dukungan kami kepada saudara-saudara kami seiman di Palestina, tapi kamipun sadar bahwa kehadiran kami di bumi Amerika bukanlah mewakili bangsa Palestina. Sebagai Muslim di Amerika, terlalu banyak isu lain yang perlu diselesaikan selain isu Palestina-Israel. Pada akhirnya disepakati bahwa pertemuan Imam dan Rabbi bukanlah pertemuan politik. Oleh karenanya, hendaknya isu-isu politik menjadi sekunder dan hendaknya agama dipahami sebagai solusi terhadap permasalahan politik bagi kedua pihak, bukan sebaliknya di mana agama menjadi penambah tensi bagi ketegangan politik antara komunitas Muslim dan Yahudi di Amerika dan bahkan di seluruh dunia. Maka pada akhir pertemuan itu disepakati sebuah resolusi untuk melakukan apa yang disebut A National Weekend for Twinning of Synagogues and Mosques untuk memulai jaringan dialogue antara Muslim dan Yahudi di seluruh penjuru Amerika. Pertemuan akbar tahunan pertama akan dimulai seminggu sebelum liburan Thanksgiving tahun 2008 mendatang. Akhrinya, dalam tiga minggu terakhir, tiga institusi masing-masing masjid Al-Hikmah, Jamaica Muslim Center dan Islamic Center New York melakukan kerjasama dengan dengan dua institusi besar di kota New York, Central Synagogue dan Marble Collegiate Church, dalam dua bentuk kerjasama. Pertama adalah dialog interaktif selama tiga sesi membahas tentang "Life Cycles" (Kelahiran, Perkawinan dan Kematian) masing-masing dalam perspektif Islam, Kristen dan Yahudi. Dan kedua, pada hari Minggu besok, 18 Nopember, akan dilangsungkan acara diskusi dalam rangka hari Thanksgiving di gereja Marble. Sebagaimana tahun lalu, acara ini dihadiri tidak kurang dari seribuan pengunjung. Semua kegiatan antar agama yang terjadi dalam minggu-imnggu terakhir ini di kota New York adalah bukti nyata bahwa hidup berdampaingan, bersahabat dan kerjasama di antara pemeluk agama yang berbeda adalah hal yang memungkinkan. Bahkan keyakinan yang berbeda itulah yang menjadi motivasi untuk terbangunnya saling memahami, menjembatani dan akhirnya saling menghormati. Dari saling memahami dan menghormati (mutual understanding and respect) ini kemudian terbangun motivasi untuk saling kerjasama dalam hal-hal yang disepakati, serta saling menghormati dalam hal-hal yang tidak disepakati. Tapi pernahkan kita sadari bahwa semua kita memimpikan sebuah dunia yang lebih damai, nyaman dan bersahabat? Tentu. Tapi pernahkan kita sadar bahwa semua agama yang kita anut masing-masing sesungguhnya bertujuan untuk mewujudkan dunia yang seperti itu? Wallahu a'lam!