*Berlari untuk Berjuang
*
*Penulis : Meralda Nindyasti*

** *KotaSantri.com : *Saudaraku, aku ingin bercerita tentang kisah negeriku.
Ia bernama Indonesia, yang butuh pengorbanan banyak jiwa demi terwujudnya
kemerdekaan tahun '45 lalu. Sungguh, semua itu atas izin Allah. Aku cukup
bangga dengan negeriku. Karena Allah melimpahkan kenikmatan dunia, di sini,
di negeriku. Jikalau kau ingin menikmati khusyuknya memuji keindahan
ciptaanNya, ke marilah saudaraku, ke sini, ke negeriku.

Hmm, tahukah kau, saudaraku? Aku merasakan bahwasannya Allah merahmati
negeriku, pun merahmati penduduk negeri ini. Betapa tidak, Ia karuniakan
pada kami alam yang makmur, penduduk negeri yang cerdas lagi berakhlak
mulia. Saat aku dilahirkan di negeri ini, yang pertama kali kudengar cuma 1,
adzan yang ayah lantunkan untukku. Pun saat kutengok nikmatnya kebersamaan,
tenyata itu terhimpun karena Allah telah menyatukan qalbu-qalbu kami,
penduduk negeri ini. Hingga aku tak heran, di antara kami selalu dihiasi
salam, senyum, dan sapa. Indah, sungguh indah nian.

Waktu berselang tuk mengajakku pada kedewasaan. Ada yang perlu kau tahu,
saudaraku. Negeriku kini berubah, semoga bukan pertanda Allah mencabut
rahmatNya dari negeri kami. Na'udzubillah. Negeriku kini dihiasi oleh
keterpurukan moral penduduk-penduduknya. Hukum bisa dibeli dengan harta.
Kemiskinan di mana-mana, ditambah lagi pendidikan dan kesehatan yang mahal
harganya. Negeriku kini merana, kebakaran hutan hampir setiap tahun,
pohon-pohon tumbang karena tangan-tangan nakal, banjir melanda kota besar,
bencana datang silih berganti.

Negeriku kini menangis, Ketidakamanan dan ketidakadilan cukup kurasakan di
sini. Sedikit keramahan yang kutemui, pun merasakan bahwa kami sebangsa
setanah air juga minim sekali ada di hati. Tangis anak kelaparan menggema
tiap hari, bahkan mungkin hampir menyebar merata di seluruh penjuru negeri.
Tangan peminta-minta selalu mejadi agenda jalanan. Suara musik tak jelas,
rayuan wanita dan pengiyaan pria dengan kerlip lampu warna-warni menghiasi
malam sudut-sudut kota besar kami. Saudaraku, kira-kira ada apa dengan
negeriku?

Saudaraku, aku tahu, Allah punya rahasia tentang negeriku. Aku tak mencoba
untuk menguaknya, aku hanya ingin menjalani skenarioNya dengan dayaku yang
terbaik. Satu yang begitu kusyukuri, negeriku masih bernama Indonesia, yang
terhampar di sebagian belahan bumi Allah, melewati garis khatulistiwa.


***



Saudaraku, kuceritakan sebuah kisah...

R*asulullah, bentuk keagungannya berbeda dengan Kisra Persia dan Caesar
Romawi. 'Umar pernah menangis menyaksikan beliau tidur beralas tikar kulit
kasar yang dijalin rerumputan, alas yang membuat punggung beliau berbekas
bilur. "Sungguh ya Rasulullah, Kisra dan Caesar bertelekan di atas bantal
dan permadani suteranya, pelayannya pun hilir mudik menyediakan
keperluannya, sementara kedudukanmu di sisi Allah jauh lebih mulia," keluh
'Umar. Ini salah satu keluhan yang kurang beliau sukai, tapi dengan senyum
termanis yang pernah disaksikan dunia, beliau jelaskan pada sahabat yang
selalu bersemangat ini, "Apakah engkau tidak ridha mereka mendapat dunia
sedang kita menyimpan akhirat, wahai ibnul Khaththab?"
*

Saudaraku, ingatkah, ada satu hal yang sama dari kita? Ia bernama iman, yang
mengakar di hati kita masing-masing. Karenanya, Allah himpun kita dalam
sebuah persaudaraan. Karena itu pula, Allah himpun kita dalam perjuangan
untuk menegakkan kebenaran.

Saudaraku, ingatkah, ada yang istimewa dari diri kita? Ia bernama hidayah,
yang menghujam di dalam qalbu kita masing-masing. Karenanya, Allah tunjuki
kita jalan Islam. Karena itu pula, Allah tautkan hati kita, berharap
berjumpa lagi di jannahNya.

Saudaraku, ingatkah yang kulantunkan tadi? Baru saja sepenggal paragraf
kukutip dari karya Salim A. Fillah. Tahukah kau, saudaraku, kalimat
Rasulullah begitu menggetarkan hatiku. Kalimat itu bisa sebagai pelipur
lara, melihat kini bangsa kita dan saudara-saudara kita mungkin sebagian
besar belum merasakan kenikmatan dunia. Ya, berbeda dengan negara seberang
kita yang mungkin telah makmur, berbeda pula dengan hamba-hamba Allah lain
yang belum seaqidah dengan kita, mereka yang dilimpahkan kenikmatan dunia.

Tenang, saudaraku. Kalimat Rasulullah tadi benar-benar sebagai pelipur lara.
Karena masih ada akhirat yang lebih kekal dari kehidupan kita sekarang.
Tapi, tahukah kau, saudaraku, aku menghawatirkan diriku dan dirimu.

Apakah kita bisa berharap menyimpan akhirat kita, sementara negeri kita
sedang terombang-ambing akhlaknya. Adakah kebaikan akhirat sanggup kita
dapatkan sementara kadar iman dan keistiqamahan kita masih dipertanyakan?

Jika Rasulullah menilai bahwa Kisra Persia dan Caesar Romawi mendapatkan
kenikmatan dunia, maka bagaimana dengan kita, saudaraku? Adakah kita
berjuang memperbaiki kehidupan dunia kita, agar mudah pula kita dapatkan
kebaikan akhirat kita?

Saudaraku, aku tak ingin kehilangan dunia dan akhiratku. Semoga demikian
pula dengan keinginanmu. Sungguh celaka jika kita tidak mendapatkannya, baik
dunia dan akhirat atau minimal akhiratnya. Karena itu artinya kita
menyia-nyiakan kehidupan yang Ia percayakan pada kita untuk melaluinya.

"Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?" (QS. Ar-Rahman : 13).

Hidup adalah berlari. Jika berjalan setelah berlari, maka itu kefuturan.
Hidup adalah berjuang. Jika menyerah setelah berjuang, maka itu adalah
kekufuran.

Islam memanggil manusia-manusia muslim untuk membuktikan keunggulannya.
Menanti kontribusi kita untuk mengharumkan wajah bumi dan mewarnai
perjuangan tegaknya dien di muka bumi.

Negeri kita pun begitu. Indonesia memanggil kita, untuk membuatnya segera
tersenyum. Ia setia menunggu kontribusi kita untuk bangkit, membangun
negeri.

Saudaraku, banyak yang menunggu kita. Orang-orang yang kita cintai dan
mencintai kita sedang menanti kesuksesan kita. Karena menunggu itu
melelahkan jiwa, maka janganlah kita biarkan mereka menunggu lama.

**

*Beranda @ KotaSantri.com*


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to