Salaam
   
  Kita selalu dipusingkan dengan urusan natal dan natalan. Hal ini berulang 
ulang. Setiap tahun dan setiap bulan Desember. Dan sering kita tidak tahu 
bagamana bersikap dikala kita berinteraksi dengan  orang2 Kristen entah 
ditempat kerja, sekolah, tempat kuliah,tetangga dan sangat mungkin dengan 
mertua atau ipar dllnya. Ini cerita dan kisah mbak Santi, cuplikan dari Majalah 
' Dakwah',  moga bermanfaat. 
   
  wass,teteh
   
   
  
============ ========= =====

Majalah Dakwah Edisi 3 Tahun I (Desember 2007)

  //Suatu Hari Natal Orde Baru// oleh Santi Soekanto

   
  Suatu pagi di bulan Desember, sekian tahun silam. Orde Baru dan 
Presiden Soeharto masih sangat berjaya. Pemerintahan tunggal Golkar-
ABRI bukan saja berhasil membuat kaum Muslimin takut ber-Islam tetapi 
bahkan malu mengaku Muslim. 
  
Saya bergegas masuk ke kantor tempat saya baru saja mulai bekerja 
sebagai wartawan sebuah koran di Jakarta, menaiki tangga sempit 
menuju lantai 2 bangunan sederhana di sebelah gedung megah perusahaan 
penerbitan terbesar di Indonesia. Saya membuka pintu newsroom 
  dan berhadapan langsung dengan sebuah pohon Natal raksasa di tengah 
ruangan. 
   
  Begitu besar dan tingginya pohon tersebut sehingga pucuknya 
bukan sekedar menyentuh langit-langit namun bahkan melengkung dan 
tertekuk. "Ooops…" ujar saya, lalu berpaling kepada sekretaris 
pemimpin redaksi, seorang Muslimah keturunan Arab yang tidak 
berhijab.
   
   ''Natalnya masih lama Mbak…tapi sudah dipasang ya." 

   
  "Ya memang begitu,'' ujarnya dengan suara biasa saja.

  Maka sejak hari itu sampai sekian waktu sesudahnya, saya bekerja di 
bawah naungan (dan keluar masuk newsroom melingkari) pohon Natal 
besar itu. 
   
  Dari waktu ke waktu saya lihat hiasannya bertambah, dan 
Mbak SekRed ikut membantu menambahkan. Dari waktu ke waktu saya lihat 
kesibukannya menerima dan mendistribusikan kiriman kartu dan hadiah 
Natal, baik yang ditujukan kepada Pak PemRed maupun staf lainnya. 

   
  Sampai tiba pengumuman akan dilangsungkannya perayaan Natal di kantor 
pada suatu sore; seluruh karyawan diharapkan hadir untuk bersalam-
salaman dengan mereka yang merayakan Natal. Ada makanan dan minuman 
disediakan – belakangan saya menandai bahwa dalam berbagai perayaan 
di kantor itu selalu disediakan minuman keras yang dikonsumsi oleh 
banyak sekali orang, mulai dari direktur (yang sebenarnya Muslim 
keturunan Arab namun kuat minum khamr sampai wajahnya merah dan 
bicaranya mulai ngelantur) sampai anggota Satpam. Kalau sudah begitu, 
saya tinggal menunggu pemandangan tak enak orang-orang yang antre di 
depan kamar mandi sementara yang di dalamnya muntah dengan suara 
keras, ''hoek, hoek.'' 
  
Di sore perayaan Natal itu, saya kembali dari liputan di DPR sekitar 
waktu Ashar. Begitu masuk kantor, suasana meriah sudah terlihat. 
Orang lalu lalang dan turun naik membawa makanan dan minuman di 
tangan dari dan ke lantai 2 tempat berlangsungnya acara. 
   
  ''Apaan tuh?'' tanya saya berlagak bego. 

  "Makan-makan Mbak," jawab seorang petugas kebersihan berseragam 
hijau.
   
   ''Banyak banget makanannya."

   
  "Emang ada apa?"

  "Kan Natalan."

   
  "Ooh…" sahut saya lalu bergegas menuju mushala, sebuah ruangan 
sementara dengan dinding tripleks bercat putih di lantai dasar. Saya 
shalat lamaaaaaaaa…. sekali. 
   
  Bukan karena saya orang shalih, tapi karena saya bingung. Maklum,
   ilmu agama cuma sedikit, tapi otak saya sudah mengingatkan kembali 
  bahwa haram hukumnya bagi seorang Muslim mengucapkan selamat hari Natal 
  atau ikut dalam perayaan-perayaannya, sementara hati saya pun sudah menjerit, 
   
  "Jangan naik ke atas, jangan bergabung dengan mereka." 
  
Tapi, bagaimana caranya menunjukkan sikap ini tanpa menimbulkan 
masalah tambahan bagi saya? Saya ini pegawai baru yang masih 
berstatus karyawan percobaan, satu-satunya wartawan berjilbab di 
sebuah koran yang didominasi kaum Nashara. 
   
  Saya harus menghadapi tantangan dobel: 
  membuktikan bahwa saya Muslimah pintar dan 
berprestasi di kantor, sekaligus sabar menghadapi diskriminasi 
terhadap Muslimah berjilbab saat itu. Masa' saya masih harus 
menambahkan cap ekstrimis dan radikal serta anti-toleransi beragama 
karena tidak mau ikut Natalan, ke dalam gerobak masalah saya? 
   
  Saya memperlama shalat saya karena saya berdoa dulu, minta petunjuk 
Allah tentang bagaimana sebaiknya bersikap. 
   
  ''Ya Allah, apa sebaiknya saya keluar kantor saja lagi ya? 
  Bilang saja, mau wawancara  narasumber kek. Ah, tapi tadi sudah ada sejumlah 
teman non-Muslim  yang melihat saya datang. Gimana dong ya Allah?'' 

  Selama-lamanya shalat dan berdoa, kan tidak mungkin terus menerus. 
Akhirnya selesai juga shalat dan munajat saya, sementara saya masih 
dalam keadaan bingung. Saya duduk bersandar lamaaa…sekali di dalam 
mushala. 
   
  Silih berganti para lelaki Muslim (yaitu pegawai cleaning  service berseragam 
hijau) 
  masuk untuk shalat Ashar (sementara para karyawan lain yang mengaku Muslim 
sudah ramai tertawa-tawa makan  minum di atas). Ada seseorang yang bertanya, 
   
  ''Mbak nggak ke atas?'' 

   
  ''Nggak ah,'' jawab saya. Lalu, nggak tahu dari mana asalnya, tapi 

  kayaknya dari Allah, terlontar dari mulut saya.
   
   ''Kan Muslim nggak  boleh menghadiri perayaan Natal. Haram kan?''

  Si petugas kebersihan itu terdiam sejenak. Tangannya mengusap-usap 
wajahnya yang masih basah oleh wudhu. 
   
  "Jadi kita nggak usah ke atas?''

   
  Saya tahu biasanya petugas cleaning service tidak diajak pesta atau 
perayaan, dan baru berani mengambil makanan sesudah kaum elit 
(misalnya, PemRed, Direktur-direktur, Editor, Reporter) menghabiskan 
sebagian besar hidangan. Tapi saya jawab juga,
   
   ''Kalau saya sih nggak ah. Di sini aja ah. Sampai pesta selesai.'' 

   
  ''Gitu ya Mbak?''

  ''Ya lah.''

   
  Tak lama kemudian, masuk seorang karyawan yang lebih senior daripada  saya, 
seorang lelaki Muslim. Siap-siap shalat.

  ''Nggak ke atas Mas? Selama ini, bagaimana Anda bersikap pada 
kesempatan seperti ini?''

   
  Dia memahami maksud pertanyaan saya. Lalu dia menjelaskan panjang 
lebar pergulatan batinnya pada saat-saat seperti itu; di satu pihak, 
ada unspoken rule bahwa semua karyawan, tidak perduli agamanya, harus 
mengikuti perayaan Natal karena bukankah karyawan Nashara juga ikut 
dalam perayaan Idul Fitri? Di lain pihak, dia pun tahu bahwa haram 
hukumnya bagi seorang Muslim ikut perayaan Natal. 
Karena si Senior tampak bimbang, saya malahan menjadi lebih berani. 

  ''Ya sudah Mas. Di sini saja. Sampai selesai.''

   
  Itulah yang saya lakukan, ngumpet di mushala sampai perayaan Natal  selesai. 
  Begitu saya bersiap-siap mulai membuat berita, ada seseorang  menyodorkan 
  sepiring kecil berisi kue coklat yang tampaknya lezat  sekali. 
   
  ''Ini, aku sisihkan untuk teman yang tadi nggak hadir,''  katanya. Saya 
berterimakasih namun menolak. 
   
  ''Maaf, saya ndak boleh  makan ini.'' 

   
  ''Kenapa sih? Diet ya?" tanya si teman, matanya menyelusuri gamis 
longgar saya.

  ''Nggak. Itu kue Natal. Saya Muslim, nggak boleh ikutan Natal dan 
berarti juga nggak bisa ikutan makan kue-kuenya,' ' saya menjawab 
dengan nada ''dibiasa-biasain' ' saja. Padahal jantung berdentam-
dentam cemas karena yang menawari kue sangat dekat dengan PemRed yang 
Kristen itu. 

  Masih dengan gaya sok biasa, saya menyelesaikan pekerjaan secepat 
mungkin lalu pulang. Dalam waktu singkat, seperti saya duga, sejumlah 
teman segera tahu bahwa saya ''mengharamkan' ' ikut perayaan Natal. 
Meski bukan saya yang ''mengharamkan' ' lho, tapi fatwa MUI dibawah 
pimpinan Almarhum Buya HAMKA. 
   
  Seorang teman, perempuan non-Muslim, menandai sikap saya ini. Suatu 
kali dalam kesempatan meliput bersama (maksudnya, saya ingin nebeng 
mobilnya), dia menanyakan hal itu dan saya jawab apa adanya. "Bagi 
Muslim haram hukumnya menghadiri perayaan Natal.'' 
  
Tiba-tiba saja dia menjawab, "Tahu nggak sih kamu, menurut agamaku, 
aku tuh nggak boleh bergaul sama kamu. Sebagai 'anak-anak terang', 
kami sebenarnya nggak boleh bergaul dengan kalian…''
  
Saya tidak tahu, apakah dia ingin mengatakan "tapi aku tetap bergaul 
denganmu karena aku bertoleransi' ' ataukah dia ingin mengatakan "aku 
berani melanggar larangan agamaku karena pekerjaanku mengharuskan aku 
bergaul dengan yang bukan anak-anak 'terang'?'' Yang terlintas di 
pikiran saya malahan ini: 
   
  "Apa ya, lawan katanya 'anak terang'? 

   
  Apakah 'anak gelap'?'' 

  Tapi yang muncul dari mulut saya (yang mudah-mudahan karena dituntun 
oleh Allah Ta'ala) adalah ini, ''Lho, saya nggak apa-apa kok, kalau 
kamu nggak mau bergaul denganku. I'm only practicing my faith, Islam, 
so if you wish to observe your religious teaching, by all means, 
please do so. Saya melaksanakan iman Islam saya, jadi kalau kamu juga 
mau menjalankan agamamu, lha monggo.'' 
  
Teman saya ini hanya tersenyum kecil dengan gayanya yang cool. Lalu 
mengambil kunci mobil dan membukakan pintu bagi saya. 
   
  ''Ayo naik,''  katanya, dan kami pun berangkat meliput.
  
Tak terasa setahun terbang begitu cepat, datang lah Desember 
berikutnya. Saya sempat memikirkan kembali bagaimana cara melarikan 
diri dari kantor pada waktu itu. Tetapi suasana kantor malahan adem 
ayem. Tak ada orang menggotong-gotong pohon Natal raksasa yang sampai 
mentiung karena tingginya. Hanya ada satu pohon Natal ukuran sedang 
di ruangan PemRed. 
  
Dengan suara "dibiasa-biasain' ' saya hampiri Mbak SekRed. ''Nggak ada 
perayaan tahun ini Mbak?''
  
''Nggak. Nggak ada perayaan Natal. Nggak ada perayaan Idul Fitri,'' 
katanya.
  
''Ooh…''
  
Saya tidak tahu bagaimana akhirnya pihak manajemen, yang dikuasai 
orang-orang Kristen taat, sampai pada keputusan itu dan mengapa. 
Emangnya gue pikirin? Yang penting, saya tidak usah bimbang lagi. 
Dalam hati saya berseru, ''Allahu Akbar! Nggak apa-apa nggak ada 
perayaan Idul Fitri di kantor! Enakan makan ketupat dan sayur pepaya 
masakan emakku di rumah!'' 

   
  * penulis seorang wartawan dan ibu rumah tangga, tinggal di Depok


       
---------------------------------
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke