Di Saat Menjawab Isak Pilu Tangis Sang Istri

Oleh Abumiftah “Berdasarkan hasil rapat direksi melalui atasan terkait, anda 
kami rumahkan, " begitu kata pahit yang terdengar ditelingaku ketika seorang 
pimpinan SDM memutuskan.
 Pahit memang tapi begitulah kenyataan hidup seorang karyawan kontrak di 
lembaga charity ber-title mensejahterakan kaum papa dikawasan Jakarta yang 
mempunyai cabang tersebar di negeri tercinta, Indonesia. Seharusnya, jika 
merujuk peraturan Depnakertrans, lembaga yang dikelola lebih dari 50 orang ini, 
sudah mengangkatku. Tapi sangat dilematis jika aku banyak menuntut, karena 
nyatanya masih ada karyawan yang mengabdi empat tahun berstatus sama, dengan 
satu alasan bahwa lembaga tersebut masih dipegang penuh oleh yayasan.
 Secara materi lembaga yang dikelola secara profesional ini memberikan kafa’ah 
(gaji) cukup untuk membahagiakan ke dua anakku yang masih kecil (balita). 
Bahkan tanpa pamrih, banyak rekan-rekan yang bekerja masih tetap bertahan. 
Selain bekerja sambil berdakwah, ada titik kebahagian yang lain yaitu dapat 
berempati lebih dekat kepada kaum papa. Pikirku, barangkali ini akhir jalan 
hidupku untuk berkarier di dunia filantrofi. Ternyata Sang Khalik berkata lain, 
karena keputusan pihak direksi berhasil mengetuk palu bahwa aku harus 
meninggalkan bangku yang selama ini menjadi saksi bisu serta rekan-rekan 
seperjuangan yang selama ini sudah menjadi bagian dari kisah hidupku.
 Sebagai imbalan hasil keputusan, motor tuaku, yang tadinya mampu berpacu 
sejauh 50 km2 (Bogor- Jakarta) selama kurang dari 1, 5 jam tiap harinya dengan 
asumsi menghindari telat, kini hanya bersandar di teras rumah. “Ayah libur lagi 
ya…kok ga berangkat cari susu atau kok ayah pulang siang, kan belum gelap, 
”begitu kira-kira, anak tertuaku yang mulai pintar berbicara saat aku berangkat 
dan pulang bekerja. Secara tersirat, tak ada lagi kebahagian anakku berlari 
menyambut dengan kaki-kaki kecilnya. Yang ada aku berupaya melebarkan senyum 
untuk menciptakan imajinasi anak bahwa seorang ayah tetap bekerja. Ironis 
memang, tapi ini sebuah pilihan selagi aku meratapi kepiluan.
 Ya, Allah berikan kesabaran dan kemudahan dalam aku berkerja dan berkarier. 
Berikan jalan yang terang. Yang mampu menembus isak tangis isteriku yang selalu 
sabar menanti suaminya. Karena Kaulah satu-satunya yang memutuskan kebenaran 
tersebut. Seadainya memang itu lalai, berikan hidayah pada atasan yang 
mendzalimiku, agar selalu bahagia. Amin
 Mampang, Februari '08

Kirim email ke