MENGHIDUPKAN RASA 'MATI' DALAM JIWA 
Ust. H. Arsil Ibrahim, MA
Dewan Asatidz Masjid Jami NURUL YAQIN 
www.nurulyaqin.org

29 Augustus 2007 


              Rasa mati adalah perasaan kesadaran yang tinggi bahwa suatu hari 
kita akan terbujur kaku selama-lamanya di sebuah pusara yang tertulis di 
atasnya nama, tanggal lahir dan tanggal mati kita. Perasaan ini merupakan 
sebuah warna yang sudah lama pudar dalam jiwa mayoritas manusia. 


Indikasi pupusnya rasa mati dalam diri manusia tercermin dalam kecintaannya 
yang keras terhadap harta dan kemewahan dunia yang diburunya siang malam. 
Padahal ia tahu semua yang dicapainya pasti akan ditinggalkannya. Indikasi 
tersebut juga terjabarkan dalam kedahagaan yang mencambuk nafsunya sehingga 
beringas melanggar seluruh aturan Tuhan demi tercapainya hasrat dunia yang 
sementara. Atau pada keacuhan hatinya terhadap perintah-perintah Allah yang 
semakin menjauhkan dirinya dari kasih dan sayang Allah SWT. 

Setiap hari manusia berlari ke sana ke mari mengusung nafsunya dan tenggelam 
dalam kesibukan duniawi yang 'berhasil' menjadikannya lupa atau pura-pura lupa 
akan hakikat mati. Banyak sekali yang akhirnya malah benar-benar terkapar dalam 
keindahan semu dunia sehingga habislah keyakinannya terhadap hakikat mati. 
Kondisi seperti inilah yang Allah tegur dalam firmanNya berikut:
Terjemahan:"Katakan, sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, justeru 
ia yang akan menemui kamu'. (Surah al-Jumu'ah 62: 8).


Manusia yang telah habis keyakinannya terhadap hakikat mati adalah manusia yang 
paling tidak punya nurani. Seluruh fakta tentang kematian yang lalu lalang di 
hadapannya setiap saat bagaikan angin lalu yang tidak memberi kesan apapun 
kepada dirinya. Ia acuh saja mendengar keluarga dekatnya, sahabatnya atau 
handai taulannya meninggal dunia. Bahkan menyaksikan pembantaian 
saudara-saudaranya sesama Muslim di kaca TV, masih bisa dilaluinya sambil 
menikmati semangkuk sup hangat tanpa merasa terganggu sedikitpun. 

Fenomena seperti ini mengingatkan kita pada hari Idul Adha, di mana kita 
menyaksikan seekor kerbau disembelih, dikuliti dan dipotong-potong dagingnya. 
Sementara kerbau lain di sebelahnya masih bisa menikmati setumpuk rumput hijau 
tanpa merasa terganggu sedikitpun. Padahal ia jelas-jelas akan disembelih pula 
pada keesokan harinya.


Beginikah Rasanya Mati?

Bayangkan sejambak rambut di kepala dicabut, atau selembar perban yang melekat 
di atas luka badan sejak seminggu dicabut. Tentulah sakit sekali rasanya.  Lalu 
bagaimana pula gerangan jika nyawa yang sudah lekat di badan selama puluhan 
tahun dicabut? Kita tidak akan pernah dapat membayangkan kecuali dengan 
menyimak sumber berita yang berasal dari Nabi SAW dan para salafus soleh.

Dalam sebuah hadits marfu' diriwayatkan oleh al-Hafizh Abu Na'im r.a. bahwa 
Rasulullah SAW telah bersabda: 
"Demi yang diriku berada di tanganNya, kenyataan (sakitnya) maut itu lebih 
dahsyat dari seribu bacokan pedang." 


Amru bin Ash ketika menghadapi sakaratul maut ditanya oleh anaknya tentang rasa 
sakit yang dialaminya. Beliau berkata dengan lemahnya, 
"Demi Allah wahai anakku, keadaan tubuhku seakan-akan berada dalam selimut api 
yang panas membara dan seolah-olah aku bernafas melalui lubang jarum. Aku juga 
merasa seakan-akan nyawaku melekat pada satu pohon yang penuh duri, kemudian 
ditarik dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun." 
Selanjutnya Amru bin Ash menangis seraya berkata, 
"Kukejar dunia ini seakan-akan diriku kekal abadi. Sedangkan dibelakangku 
berlari sang maut menapaki langkahku. 
Duhai, cukuplah kematian itu sebagai nasehat."


Demikianlah kesaksian yang dinyatakan oleh sahabat Nabi SAW. Bagaimana pulakah 
gerangan pengalaman kita peribadi kelak, saya dan anda? Sebaiknya kepada Allah 
saja kita segera berlindung agar diberi kemudahan dan keringanan saat akhir 
menutup mata.


Menyiapkan Bekal Kembali

Sahabat Nabi SAW Utsman bin Affan begitu gentar sekali hatinya setiap kali 
melewati tanah pekuburan. Sering didapati ia menangis sebaik saja melewati 
sebuah pemakaman. Ketika ditanya oleh seseorang ia menjawab, 
"Ketahuilah olehmu, bahwa kubur merupakan pintu gerbang penentuan apakah 
seseorang akan kekal selama-lamanya dalam kebahagiaan atau kekal selama-lamanya 
dalam kesengsaraan dan penderitaan."


Kita sama-sama mengetahui dan menyadari bahwa akhirat merupakan negeri abadi. 
Abadi berarti kekal dan tidak ada akhir atau penghujungnya. Malangnya lagi kita 
juga dihadapkan dengan kenyataan bahwa yang menentukan apakah kita akan senang 
dan bahagia, sengsara atau menderita dalam keabadian itu adalah rekor amal kita 
di dunia yang sebentar ini. Dalam arti lain, meskipun dunia ini akan bergulir 
seratus juta tahun lagipun, kesempatan kita untuk beramal hanya di sini,saat 
ini dan sekarang ini.

Sebagai ilustrasi, jika seseorang bekerja dengan sebuah perusahaan di Jakarta 
dan tiba-tiba diperintahkan oleh direkturnya untuk segera berangkat ke cabang 
Medan besok pagi untuk jangka waktu lima tahun. Kira-kira apa yang akan 
dilakukannya? Tentulah sedapat mungkin ia akan sibuk mempersiapkan diri dalam 
tenggat waktu yang amat singkat itu. Dalam 24 jam itu pasti ia akan mengepak 
barang-barangnya, mencari pinjaman uang ke sana kemari, pamitan dan mohon maaf 
ke seluruh keluarga dan kawan-kawannya dan lain-lain. Bahkan hampir dapat 
dipastikan malam itu ia tidak bisa tidur memikirkan keberangkatannya yang 
mendadak itu.


Ketahuilah bahwa waktu yang tersedia untuk kita mempersiapkan bekal perjalanan 
menuju akhirat lebih singkat dari ilustrasi di atas. Bahkan jangka waktu untuk 
kita menetap di sana adalah kekal abadi dan tidak terbatas. Yang dapat 
menyelamatkan kita hanyalah suatu kesadaran yang tinggi dan gerak amal yang 
konsisten bahwa setiap helaan nafas, ayunan langkah dan tangan selama di muka 
bumi kita niatkan benar-benar untuk beribadah kepada Allah. Kemudian kita 
sadari pula bahwa seluruh apa yang Allah perintahkan kita laksanakan dengan 
sekuat daya upaya kita. Manakala apa jua yang Allah tegah harus serta merta 
kita tinggalkan sama sekali. 

Marilah kita sama-sama mencari cahaya Allah dengan berbuat sebanyak mungkin 
kebajikan di muka bumi, menebar kasih sayang, melakukan amal jariah, 
mempersiapkan anak-anak soleh yang dapat mendoakan kita saat terbaring di 
pusara dan menyumbangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi umat.  Hanya 
setelah itu saja kita baru akan merasa sedikit siap untuk berangkat kembali ke 
kampung akhirat, dan agak berani menunggu kedatangan malaikat Izrail.
  Rabbana wahai Tuhan kami. 
  Anugerahkan kami taubat sebelum maut, 
  kasih sayangMu saat menghadapi maut 
  dan ampunanMu seusai maut menjemput. 
  Amin..
Sumber : 
http://www.nurulyaqin.org/index.php?option=com_content&task=view&id=22&Itemid=39


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to