MENIR LONDO vs TUAN TANAH
Minggu, 21 Desember 2008 "Wah, macet banget di depan - tuh liat, padahal kan sekarang malem senen, ada apa ya...?", kata saya. "Apa ga ada jalan lain..."? lanjut saya. "Putar balik aja, nanti di depan setelah jembatan ambil kiri - kita lewat jalan tikus" kata teman saya sambil tangannya menunjuk arah jalan di seberang kali sana. Kamipun memutar motor kami, dan karena kami belum masuk ke"tengah" kemacetan - mudah bagi kami untuk membalik arah menghindari "kancah stres" yang hampir tiap hari kita temui. Motor saya pacu karena jalan kebalikannya cukup kosong. Mungkin banyak kendaraan yang tertahan dan berebut untuk berusaha menembus kemacetan. Setelah jembatan, kami belok ke kiri dan memasuki jalan aga sepi berukuran lebar 2 mobil dan terus menelusuri jalan tersebut. Sesekali temanku itu memberikan arahan jalan mana yang harus dilalui. "Di depan ambil kanan ya..", sahutnya penuh keyakinan dan saya pun yakin menjalankan kendaraan ini. Tiba-tiba, "Lho kok di blokir jalannya", teriak teman saya. Saya memang melihat tepat di tengah jalan ada bangku kayu panjang - seperti bangku yang biasa dipakai tukang ketoprak atau mie ayam pinggir jalan dan di sebelahnya duduk beberapa orang yang sepertinya sedang menjaga penutupan jalan itu. "Motor terus aja ntar di depan bangku kecil ada jalan ke kiri", kata salah seorang yang duduk-duduk di samping jalan yang diblokir itu. Sayapun melanjutkan perjalanan tanpa berhenti sambil membunyikan klakson dan mengangkat tangan kiri saya sebagai tanda terima kasih atas informasinya. Beberapa menit perjalanan, saya melihat bangku yang dimaksud orang tadi dan kira-kira 300 meter sesudahnya saya melihat sekumpulan orang sedang melakukan kegiatan keagamaan. Bangku yang dimaksud sudah kami lewati tapi kami belum menemukan jalan yang orang itu maksud. Tidak lama saya melihat jalan setapak selebar 2 motor dan tanpa pikir panjang kamipun masuk jalan tersebut. Jalan sempit tersebut cukup gelap karena hanya diterangi oleh lampu-lampu rumah di sisi kiri dan kanannya. Hampir disetiap pemukiman padat memang seperti ini - jalan kecil, rumah rapet-rapet dan sesekali terlihat beberapa orang sedang duduk berkumpul di teras salah satu rumah. Mungkin mereka jenuh berada di dalam rumah mereka dengan segala keterbatasan ruang, sarana dan suasananya, sehingga mereka memilih untuk berkumpul sekedar mencari angin di tempat-tempat biasanya mereka berkumpul. Bagi warga pemukiman padat tersebut, biasanya mereka sudah hapal dimana tempat-tempat warga lain berkumpul dan hapal pula kapan mereka akan datang untuk berkumpul. Tiap melewati kerumunan warga tersebut, saya selalu mematikan lampu motor, jalan perlahan dan mengucapkan kata "permisi". beberapa kerumunan malah ada yang memakai sedikit jalan, sehingga kami harus benar-benar perlahan agar tidak menyenggol. Belum lagi motor dari arah yang berlawanan juga cukup membuat rintangan tersendiri. "Gue ga tau jalannya nih...lue tau nga?", sahut saya bertanya ke teman saya di belakang. Sambil sedikit tertawa, teman saya bilang, "hahaha...sama sekali buta bos". Nah loh...! Tidak ada salah satu dari kamipun yang tahu jalan yang kami lalui ini. "Jalan buntu tuh", teriak salah satu warga yang sedang berdiri di depan salah satu rumah. Benar saja, apa yang saya takutkan terjadi...Nyasar ! Segera saja saya memutar motor ini dan kali ini aga kesulitan karena jalannya sangat kecil sehingga saya harus turun dari motor untuk membalikkan arah kendaraan dan sedikit menuntunnya ke persimpangan tadi di mana seharusnya saya belok ke kanan. "Ambil kanan Pak, terus nanti di depan ambil kanan lagi", kata bapak yang tadi memberitahu saya bahwa jalan yang saya lewati buntu. "Terima kasih pak", sahut kami sambil melanjutkan perjalanan. Kamipun mengikuti informasi yang kami terima dari bapak tersebut dan benar informasi itu mengantar kami ke jalan yang lebih besar selebar 2 mobil yang sebelumnya kami lalui. Saya memberhentikan motor tepat di depan warung roko yang terletak persis di pinggir jalan dengan maksud membeli air minum mineral dan sambil membuka helm kami, kamipun memesan satu botol air minum mineral membukanya kemudian meminumnya. "Pak, kalo jalan ini terus tembusnya di mana ?", tanya saya pada salah seorang yang sedang duduk santai sambil mengangkat sebelah kakinya ke bangku. "Cempaka Putih, emang mas mau kemana?" dia balik bertanya. "Mau ke Senen", timpal saya dengan asal menjawab pertanyaannya. Tidak lama berselang, ada sebuah mobil Jeep keluaran Chrysler - jika saya tebak sepertinya keluaran terbaru dan dari pintu sisi kirinya turun seorang anak muda berkulit bersih dan berpenampilan rapih dan jika dilihat dari penampilannya mungkin ini anak pemilik mobil itu atau setidaknya anak ini dari keluarga yang mempunyai tingkat ekonomi yang lebih dari cukup. "Permisi Pak", kata anak muda itu sambil membukukkan kepalanya sedikit. "Mau tanya - kalo mau ke Cempaka Putih lewat jalan mana ya Pak...?", tanyanya lagi dengan intonasi suara yang lembut. "Oooooh...terus aja De' lewat jalan ini, ntar tembusnya di Cempaka Putih Raya deket bengkel Honda sebelumnya ITC Cempaka", jawab Bapak yang tadi saya tanya sambil Bapak itu bangkit dari duduknya dan menunjuk salah satu arah. "Terima kasih ya Pak", ucap anak muda tersebut sambil kembali membungkukkan kepalanya. Bergegas anak muda tersebut kembali naik ke mobilnya dan ketika pintu mobil terbuka - sepintas saya lihat seorang bapak yang berpenampilan bersih dan gagah duduk di belakang kemudi. Sebelum mobil itu melaju, anak muda tersebut membuka kaca jendelanya lebar-lebar. "Mari Pak," kata anak muda tersebut. "Terima kasih ya Pak," sambung bapak yang berada di belakang kemudi sambil melihat ke arah bapak yang memberikan informasi tersebut dan bapak pemberi informasi tersebut hanya mengangkat tangan kanannya dengan telapak tangan menghadap ke depan. Dan mobilpun melaju meninggalkan warung roko tersebut. Betapa sopan santunnya kedua bapak dan anak tersebut. Hanya untuk keperluan menanyakan arah jalan saja mereka memberhentikan kendaraannya, turun dari kendaraan dan menanyakannya dengan sopan. Hasilnya...luar biasa, Bapak yang tadi saya tanyapun bereaksi sangat baik. Dia bangkit dari duduknya dan mengerakan tangannya untuk mempertegas penjelasan lisannya, sementara ketika saya yang bertanya, dia hanya menjawab begitu saja dan tetap duduk sambil mengangkat sebelah kakinya. Saya jadi teringat masa lalu saya ketika masih remaja dan masih sering kongkow sama teman-teman yang lain di warung atau pinggir jalan. Ketika itu ada seseorang yang menanyakan salah satu alamat jalan di lingkungan tempat tinggal saya. Saat itu teman saya menjawab "tidak tahu, tanya aja di depan" padahal saya tahu persis teman saya itu tahu alamat yang dimaksud oleh orang itu. Ketika saya tanya, kenapa ? "Males gue jawabnya...lue pada liat ga gayanya...? sombong banget ! - Apasih susahnya dia turun dari mobil terus dia tanya kita baik-baik, ini mah tau-tau "Mas, tau jalan Delima ga..?" cuma ngelongo doang dari jendela - ga sopankan," teman saya menjawab sambil sewot. Lamunan saya makin jauh ke belakang, dan jadi ingat film-film jaman penjajahan dimana para Menir-menir Belanda (Londo) dan para Tuan-Tuan Tanah dengan angkuhnya duduk di atas kudanya atau di dalam kereta kudanya sementara para "rakyat kebanyakan" hanya bisa menunduk sambil duduk di tanah. Mereka (para Menir dan Tuan Tanah tersebut) jika ingin bicara dengan "rakyat kebanyakan" mereka tidak turun dahulu dari kendaraannya, tetapi langsung berbicara dengan cara sekenanya. Dalam agama saya (saya kira semua agama menganjurkan hal yang sama) orang yang sedikit memberi salam kepada orang yang banyak dan orang yang berkendara memberi salam kepada orang yang berjalan kaki. Artinya sudah bisa dipastikan semua dari kita sudah tahu - semata untuk menimbulkan saling menghargai dan agar tidak menimbulkan kesenjangan atau jurang yang lebih jauh. Sepertinya bukan hal yang sulit untuk dilakukan sesuatu dengan sopan santun, misalnya memberikan salam (Assalamu'alaikum atau permisi atau apapun itu) sambil sedikit diperkuat dengan gerakan baik itu tangan maupun kepala, intonasi suara yang santun atau apapun bentuk kesopanan lainnya. Hasilnya...hampir bisa dipastikan lawan bicara kitapun akan melakukan hal yang sama. Sekiranya kita masih mendapat perlakuan yang tidak mengenakan, setidaknya kita sudah menebarkan "kelembutan" dan "Persahabatan" sesama kita. heru ----------------------------------- Kampanye mengembalikan Kelembutan Hati atas sesama kita [Non-text portions of this message have been removed]