Sami’na Wa Atho’na

Fanatik terhadap kyai, ulama, atau ustadz memang telah mendarah daging
dalam tubuh umat ini. Yang jadi masalah bukanlah sekedar mengikuti
pendapat orang yang berilmu. Namun yang menjadi masalah adalah ketika
pendapat para ulama tersebut jelas-jelas menyelisihi Al Qur’an dan As
Sunnah tetapi dibela mati-matian. Yang penting kata mereka sami’na wa
atho’na’ (apa yang dikatakan oleh kyai kami, tetap kami dengar dan kami
taat). Entah pendapat kyai tersebut merupakan perbuatan syirik atau
bid’ah, yang penting kami tetap patuh kepada guru-guru kami.

Fenomena fanatik buta
Fanatik -dalam bahasa Arab disebut ta’ashub- adalah sikap mengikuti
seseorang tanpa mengetahui dalilnya, selalu menganggapnya benar, dan
membelanya secara membabi buta. Fanatik terhadap kyai, ustadz, atau ulama
bahkan kelompok tertentu telah terjadi sejak dahulu seperti yang terjadi
di kalangan para pengikut madzhab (ada 4 madzhab yang terkenal yaitu
Hanafi, Hanbali, Maliki, dan Syafi’i). Di mana para pengikut madzhab
tersebut mengklaim bahwa kebenaran hanya pada pihak mereka sendiri,
sedangkan kebathilan adalah pada pihak (madzhab) yang lain.
Banyak contoh yang dapat diambil dari para pengikut madzhab tersebut. Di
antara contoh perkataan bathil di antara mereka adalah ucapan Abul Hasan
Al Karkhiy Al Hanafi (seorang tokoh fanatik di kalangan Hanafiyyah).
Beliau mengatakan, “Setiap ayat dan hadits yang menyelisihi penganut
madzhab kami (Hanafiyyah), maka harus diselewengkan maknanya atau dihapus
hukumnya.”

Syaikh Al Albani rahimahullah juga mengisahkan, bahwa ada seorang
bermadzhab Hanafiyah mengharamkan pria dari kalangan mereka menikah dengan
wanita bermadzhab Syafi’iyah, kecuali wanita tadi diposisikan sebagai
wanita ahli kitab dianalogikan dengan wanita Yahudi dan Nasrani!! Hal ini
masih terjadi hingga sekarang. Seperti ada seorang bermadzhab Hanafi dan
dia begitu takjub dengan seorang khotib masjid Bani Umayyah di Damaskus,
dia mengatakan, “Andaikan khotib tadi bukan bermadzhab Syafi’i, niscaya
aku akan nikahkan dia dengan anak perempuanku!”
Imam Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala’ juga menceritakan, bahwa Abu
Abdillah Muhammad bin Fadhl Al Farra’ pernah menjadi imam sholat di masjid
Abdullah selama 60 puluh tahun lamanya. Beliau bermadzhab Syafi’i dan
melakukan qunut shubuh. Setelah itu imam sholat diambil alih oleh
seseorang yang bermadzhab Maliki dan tidak melakukan qunut shubuh. Karena
hal ini menyelisihi tradisi masyarakat setempat, akhirnya mereka bubar
meninggalkan imam yang tidak melakukan qunut shubuh ini, seraya
berkomentar, “Sholat imam tersebut tidak becus !!!”.
Inilah contoh yang terjadi di kalangan pengikut madzhab. Begitu juga yang
terjadi pada umat Islam sekarang ini, banyak sekali di antara mereka
membela secara mati-matian pendapat dari ulama atau guru-guru mereka
(seperti membela kesyirikan, kebid’ahan, atau perbuatan haram yang
dilakukan guru-guru tersebut), padahal jelas-jelas bertentangan dengan
ayat dan hadits yang shohih.

Mempertentangkan perkataan Allah dan Rasul-Nya dengan perkataan seorang
kyai/ulama
Banyak dari umat Islam saat ini, apabila dikatakan kepada mereka, “Alloh
telah berfirman” atau kita sampaikan “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah bersabda …”, mereka malah menjawab, “Namun, kyai/ustadz kami
berkata demikian …”. Apakah mereka belum pernah mendengar firman Allah
(yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului
Allah dan Rasul-Nya” (Al Hujurot : 1) [?] Yaitu janganlah kalian
mendahulukan perkataan siapapun dari perkataan Alloh dan Rosul-Nya.
Dan perhatikan pula ayat selanjutnya dari surat ini. Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya),
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi
suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras,
sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain,
supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.” (Al
Hujurot : 2).

Ibnul Qoyyim rohimahulloh dalam I’lamul Muwaqi’in mengatakan,
“Apabila mengeraskan suara mereka di atas suara Rasul saja dapat
menyebabkan terhapusnya amalan mereka. Lantas bagaimana kiranya dengan
mendahulukan pendapat, akal, perasaan, politik, dan pengetahuan di atas
ajaran rasul [?] Bukankah ini lebih layak sebagai penghapus amalan mereka
[?]“

Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhuma mengatakan,
“Hampir saja kalian akan dihujani hujan batu dari langit. Aku katakan,
‘Rasulullah bersabda demikian lantas kalian membantahnya dengan
mengatakan, ‘Abu Bakar dan Umar berkata demikian.’ “(Shohih. HR. Ahmad).

Dari perkataan ini, wajib bagi seorang muslim jika dia mendengar hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia paham maksudnya/penjelasannya
dari ahli ilmu, tidaklah boleh bagi dia menolak hadits tersebut karena
perkataan seorang pun. Tidak boleh dia menentangnya karena perkataan Abu
Bakar dan Umar -radiyallahu ‘anhuma- (yang telah kita ketahui bersama
kedudukan mereka berdua), atau sahabat Nabi yang lain, atau orang-orang di
bawah mereka, apalagi dengan perkataan seorang kyai atau ustadz. Dan para
ulama juga telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah mendapatkan
penjelasan dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
tidak boleh baginya meninggalkan hadits tersebut dikarenakan perkataan
seorang pun, siapa pun dia. Dan perkataan seperti ini selaras dengan
perkataan Imam Syafi’i -semoga Alloh merahmati beliau-. Beliau
rahimahullah mengatakan,
“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk
meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.” (Madarijus Salikin, 2/335,
Darul Kutub Al ‘Arobi. Lihat juga Al Haditsu Hujjatun bi Nafsihi fil
‘Aqoid wal Ahkam, Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 79, Asy Syamilah)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya Musa hadir di
tengah kalian dan kalian mengikutinya dan meninggalkanku, maka sungguh
kalian telah tersesat dari jalan yang lurus. Sekiranya Musa hidup kembali
dan menjumpai kenabianku, dia pasti mengikutiku.” (Hasan, HR. Ad Darimi
dan Ahmad).

Maksudnya apabila kita meninggalkan sunnah Nabi dan mengikuti Musa,
seorang Nabi yang mulia yang pernah diajak bicara oleh Alloh, maka kita
akan tersesat dari jalan yang lurus. Lantas bagaimana pendapat saudara
sekalian, apabila kita meninggalkan sunnah Nabi dan mengikuti para kyai,
tokoh agama, ustadz, mubaligh, cendekiawan dan sebagainya yang sangat jauh
bila dibandingkan Nabi Musa ‘alaihis salaam??! Renungkanlah hal ini.

Dampak Fanatik Buta
Fanatik memunculkan berbagai dampak negatif yang sangat berbahaya bagi
pribadi secara khusus dan masyarakat secara umum. Berikut ini kami
paparkan beberapa dampak yang terjadi karena fanatik buta.
[*] Memejamkan mata dari dalil yang kuat dan berpegang dengan dalil yang
rapuh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Mayoritas
orang-orang fanatik madzhab tidak mendalami Al Qur’an dan As Sunnah
kecuali segilintir orang saja. Sandaran mereka hanyalah hadit-hadits yang
rapuh atau hikayat-hikayat dari para tokoh ulama yang bisa jadi benar dan
bisa jadi bohong.”

[*] Merubah dalil untuk membela pendapatnya
Contohnya adalah atsar tentang qunut shubuh yang diriwayatkan oleh Ahmad,
Ibnu Majah, Tirmidzi, dan beliau menshohihkannya. Dari Malik Al Asyja’i
rodiyallohu ‘anhu berkata, “Saya pernah bertanya kepada ayahku,’Wahai
ayahku! Sesungguhnya engkau pernah sholat di belakang Nabi shollallohu
‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali di sini -di Kufah-.
Apakah mereka melakukan qunut shubuh?’ Jawab beliau,’Wahai anakku, itu
merupakan perkara muhdats (perkara baru yang diada-adakan dalam agama
-pen)’ “.
Tetapi seorang tokoh bermadzhab Syafi’i di Mesir malah mengganti hadits
tersebut dengan lafadz yang artinya, ‘Wahai anakku, ceritakanlah (kata
muhdats diganti dengan fahaddits yang berarti ceritakanlah-pen) [!]‘ Dan
tokoh ini juga mengatakan, “Sholatnya orang yang meninggalkan qunut shubuh
secara sengaja, maka sholatnya batal yaitu tidak sah.”
Sungguh perbuatan tokoh ini dikarenakan sikap fanatik beliau pada
madzhabnya yang mengakar kuat pada dirinya. Tetapi lihatlah perbedaan yang
sangat menonjol dengan orang yang mengikuti kebenaran, walaupun madzhabnya
sama dengan tokoh fanatik di atas. Beliau -Abul Hasan Al Kurjiy Asy
Syafi’i- tidak pernah melakukan qunut shubuh dan beliau pernah
berkata,”Tidak ada hadits shohih tentang hal itu (yaitu qunut
shubuh,-pen).”

[*] Sering memalsukan hadits
Di antara hadits palsu hasil rekayasa orang-orang yang fanatik madzhab
untuk membela madzhabnya, yaitu dari Ahmad bin Abdilllah bin Mi’dan dari
Anas secara marfu’ : “Akan datang pada umatku seorang yang bernama
Muhammad bin Idris (yakni Imam Syafi’i-pen), dia lebih berbahaya bagi
umatku daripada Iblis. Dan akan datang pada umatku seorang bernama Abu
Hanifah, dia adalah pelita umatku”.  Hadits ini selain palsu, juga
bertentangan dengan nash yang menyatakan bahwa pelita umat ini adalah Nabi
Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang terdapat dalam
surat Al Ahzab ayat 46.

[*] Menfatwakan bahwa taqlid hukumnya wajib
Para fanatisme madzhab atau kelompok akan menyerukan kepada pengikutnya
tentang kewajiban taqlid yaitu mengambil pendapat seseorang tanpa
mengetahui dalilnya.
Hal ini sebagaimana yang diwajibkan organisasi Islam terbesar di
Indonesia. Salah seorang tokoh organisasi tersebut mengatakan, “Sejak
ratusan tahun yang lalu sampai sekarang sebagian besar umat Islam di
seluruh dunia yang termasuk dalam golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah
membenarkan adanya kewajiban taqlid bagi orang yang tidak memenuhi syarat
untuk berijtihad …”
Ini adalah ucapan yang bathil. Tidak pernah ada kewajiban seperti ini dari
Alloh, Rosululloh, sampai-sampai imam madzhab sekalipun. Karena pendapat
imam madzhab itu kadangkala benar dan kadangkala juga salah. Seringkali
para imam madzhab berpegang pada suatu pendapat dan beliau meralat
pendapatnya tersebut. Dan para imam itu sendiri melarang untuk taqlid
kepadanya, sebagaimana Imam Syafi’i rohimahulloh (imam madzhab yang
organisasi ini ikuti) mengatakan,
“Setiap yang aku katakan, kemudian ada hadits shohih yang menyelisihinya,
maka hadits Nabi tersebut lebih utama untuk diikuti. Janganlah kalian
taqlid kepadaku”.

Janganlah menolak kebenaran
Sesungguhnya Allah telah mengutus para rosul untuk segenap manusia. Alloh
mengutus para rasul untuk mendakwahi manusia agar mereka beribadah dan
menyembah kepada Allah semata. Akan tetapi kebanyakan mereka mendustakan
rosul-rosul utusan Alloh itu; mereka tolak kebenaran yang dibawanya, yaitu
ketauhidan. Akhirnya mereka pun menemui kebinasaan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya ada kesombongan
meskipun sebesar biji sawi.” Kemudian beliau melanjutkan hadits ini dengan
berkata, “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang
lain.” (HR. Muslim)

Berdasarkan hadits di atas, tidak diperbolehkan bagi seorang mukmin
menolak kebenaran atau nasehat yang disampaikan kepadanya. Karena jika
demikian berarti mereka telah menyerupai orang-orang kafir dan telah
menjerumuskan dirinya ke dalam sifat sombong yang bisa menghalanginya
masuk surga. Maka, sikap hikmah (yaitu sikap menerima kebenaran dan tidak
meremehkan siapapun yang menyampaikannya -pen) menjadi senjata yang ampuh
bagi seorang mukmin yang selalu siap digunakan.

Ya Alloh, tunjukilah -dengan izin-Mu- bagi kami pada kebenaran dalam
perkara yang kami perselisihkan. Sesungguhnya Engkaulah yang menunjuki
siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.
[Disarikan oleh Abu Isma'il Muhammad Abduh Tuasikal dari Majalah Al Furqon
ed.11/Th.II, At Tamhiid li Syarhi Kitaabit Tauhid-Syaikh Sholeh Alu
Syaikh, al Firqotun Najiyah-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu]


---------------------------------------------------------------------------
ABN AMRO Bank N.V. is a subsidiary undertaking of The Royal Bank of Scotland 
Group plc. This message (including any attachments) is confidential and may be 
privileged. If you have received it by mistake please notify the sender by 
return e-mail and delete this message from your system. Any unauthorised use or 
dissemination of this message in whole or in part is strictly prohibited. 
Please note that e-mails are susceptible to change. ABN AMRO Bank N.V, which 
has its seat at Amsterdam, the Netherlands, and is registered in the Commercial 
Register under number 33002587, including its group companies, shall not be 
liable for the improper or incomplete transmission of the information contained 
in this communication nor for any delay in its receipt or damage to your 
system. ABN AMRO Bank N.V. (or its group companies) does not guarantee that the 
integrity of this communication has been maintained nor that this communication 
is free of viruses, interceptions or interference.
---------------------------------------------------------------------------

______________________________________________________________________
This email has been scanned by the MessageLabs Email Security System.
For more information please visit http://www.messagelabs.com/email
______________________________________________________________________


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke