Maaf, Jika Aku Memilih Diam
                
                
                           
                Penulis  : Ekky Hidayati
================

Ketika terjaga dari tidurku, kudapati namamu. Samar, namun terasa
menekan. Tiga huruf yang merangkai namamu itu tak putus menerorku.
Setidaknya selama berhari-hari mulai dua tahun yang lalu. Kau tahu? Aku
benar-benar frustasi menghalau bayangmu. Meskipun setumpuk buku dan
selusin aktifitas menemani, namun otakku tak mau berhenti mengingatmu.
Kamu dan hidupmu, juga kebodohan kita. Kita? Aku geli harus menyebut
dirimu dan aku sebagai kita.



Masih ingat ketika empat tahun lalu kau menemukanku? Kau datang bersama
segala kesederhanaanmu. Merengkuhku dengan sikap pedulimu itu. Rasanya
tak mungkin terlupakan saat aku merasa begitu dekat dengan kematian,
dan justru kamulah, orang asing yang menemaniku. Hari itu terekam
sempurna di memori otakku. Darah membanjiri seragam putih abu-abu,
cairan merah itu merembes dari kepala, menimbulkan rasa nyeri di
sekujur tubuh. Mati lemas rasanya aku waktu itu. Aku lupa saat itu
rupamu seperi apa, tapi pasti kau mengingatku, tanpa alas kaki dan
mengenaskan. Aku melihatmu menjinjing sepatuku, sementara sopir sekolah
memapahku. Hanya ada aku, kau, dan pak sopir. Bertiga dengan aku yang
sudah tak karuan menuju rumah sakit tentara.



Di rumah sakit tua yang bahkan bentuknya lebih mirip panti asuhan itu,
kau menemaniku. Berusaha menenangkan sambil sesekali menyeka rembesan
darah dari kepalaku. Kau lihat? Waktu itu aku menangis. Bagaimana
tidak, orangtuaku ada beratus-ratus kilometer dariku. Sedangkan aku
terkapar di UGD rumah sakit tua. Hanya ditemani orang-orang yang belum
kukenal, termasuk dirimu. 



Kau sempat cemas ketika berulang kali petugas kesehatan sekolah gagal
menghubungi orangtuaku. "Di mana orangtuanya?" keluhmu. Waktu itu kau
bilang "tidak tidur", sengaja menjagaku, takut kalau-kalau kepalaku
mengucurkan darah lagi. Mana kutahu jika sepanjang malam itu kau
terus-menerus memperhatikan wajahku. Rupanya malam itu, kau terlupa
akan sabda Rasul, "Dan tahanlah pandanganmu."
***
12 Maret 2004



Kalau tidak salah hari Jum'at. Tentu saja tidak salah, karena aku
mencatat semuanya di bukuharian.doc. Siang hari selepas shalat Jum'at,
kau berpamitan. "Harus pulang ke Bogor," katamu. Orangtuaku heran bukan
main ketika sadar, bahwa kita belum saling mengenal sebelumnya.
Bukankah ajaib? "Kebetulan ke Purwokerto, kangen dengan almamater,"
terangmu kala itu. "Kok bisa sampai mengantarku ke rumah sakit?"
Selidikku tanpa alasan. "Lagi makan siang, kebetulan liat kijang putih,
aku yakin itu mobil sekolah. Ternyata benar kan, Pak Yoto lagi
kerepotan ngurusin kamu?" Senyum jelekku menjawab penjelasanmu.



Sepulangmu ke Bogor, aku juga pulang ke kotaku, Semarang. Menjalani
terapi dan absen selama dua minggu, cukup membuat nilai raportku
mengerikan. Kau tahu? Meskipun masih kurasakan sakit luar biasa ketika
harus menaiki tangga (ruang kelasku ada di lantai tiga), tapi aku
senang, rasanya hari-hariku dipenuhi gairah. Jangan heran jika aku
merasakan hal semacam itu. Katamu virus merah jambu mudah sekali
menyerang siapa pun yang baru mendapatkan usia enam belas sepertiku.
***
Mei 2006



Aku baru saja menyelesaikan ujian nasional. Tinggal menghitung
hari sebelum pengumuman kelulusan. Dan kau, sudah menjadi calon dosen
tetap dengan sidang skripsi tercepat dan nilai memuaskan. Malam itu,
Aku seperti melayang ketika di seberang telepon kau memintaku menjadi
istrimu. Apakah aku menerimamu? Tentu saja iya. Tapi tidak pada waktu
itu. "Perlu waktu," itu jawabku. Sama sekali tidak sadar jika itu
adalah kalimat terakhir yang merubah segalanya.
***
10 Juli 2006



Usiamu genap 21 tahun. Dan aku tiga tahun lebih muda darimu. Ah... Jika
saja kau bisa melihatku. Kau tahu, aku terpuruk. Sedih sekali rasanya.
Kau baru saja mengkhitbah bidadari pilihanmu. Sedangkan aku? Apa yang
terjadi denganku? Rapuh. Sangat rapuh. Kau ingat, buku yang kuhadiahkan
di hari ulang tahunmu? "Menjadi kepala keluarga yang sukses". Aku
membungkusnya sambil tersisak.
***
10 April 2007



Kau baru saja membuatku kecewa. Apa yang terjadi denganmu? Bukankah
sebentar lagi kau akan menjadi ayah? Lalu untuk apa menoleh? Melihatku?
Kau katakan tentang cinta, hidup, dan kegagalanmu. Apa maksud semua
itu? Dulu, aku memang keliru. Menggadaikan cinta dariNya demi meraih
cinta bersamamu. Mengabaikan kasihNya demi kasih makhluk yang semu.
Tapi tidak untuk sekarang. Tidak akan pernah lagi kutukar cintaNya
dengan cinta mana pun.



Maaf, jika aku memilih diam. Bukan maksudku memutus silaturahmi. Juga
bukan karena aku membencimu. Tapi karena aku, tak ingin membuatNya
meninggalkanku.


----------------sumber:kotasantri.com

Jadikanlah Sabar dan Shalat Sebagai Penolongmu. Dan Sesungguhnya Yang Demikian 
itu Sungguh Berat, Kecuali Bagi Orang-Orang yang Khusyu [ Al Baqarah : 45 ]




      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke