..."Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan
taubat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan. Maka ketika
mereka digoncang gempa bumi, Musa berkata:" Ya Tuhanku, kalau Engkau
kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini.
Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang
kurang ... Baca Selengkapnyaakal
di antara kami? Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan
cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada
siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah Yang memimpin kami, maka
ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkaulah Pemberi ampun yang
sebaik-baiknya ". QS. al-A'raf (7) : 155

Musibah itu terjadi, semua berjalan sesuai Sunatullah (ketentuan/kaidah
yang telah Allah SWT tetapkan). Ada yang selamat dan ada yang harus
direlakan untuk kembali kepada Yang Maha Hidup. Pemilik segala
kehidupan. Para ilmuwan menyebutnya dengan gempa bumi, ketika
pergerakan lempengan terjadi baik secara tumbukan atau geseran. Bumi
yang berputar adalah Sunnatullah. Demikian juga ketika Allah menetapkan
bahwa bagian barat pantai Sumatera dan selatan Jawa adalah lempeng atau
patahan yang dapat menyebabkan gempa. Dan adalah juga Sunnatullah bahwa
saudara-saudara kita tinggal di mana lempeng atau patahan itu berada
baik itu di kawasan kota Padang dan Pariaman di Sumatera barat maupun
Sungai Penuh di Jambi. Kita kadang salah dalam menempatkan sebuah
kejadian. Ketika musibah datang, kita katakan itu adalah sebuah
Sunnatullah, sebuah 'sebab dan akibat' dari apa yang kita lakukan. Tapi
ketika hujan yang turun membawa kesejukan dan kesuburan tanah kita,
atau angin yang berhembus yang merupakan spektrum frequency bagi kita
untuk berkomunikasi antar sesama, kita mungkin lupa menyebut semua itu
juga adalah Sunnatullah. Dapatkah kita Bayangkan jika kejadian-kejadian
di muka bumi terjadi tidak mengikuti Sunnatullah? Matahari terbit
sesuka hatinya dan Bulan muncul menurut kehendaknya. Hal yang
menyebabkan kekacauan hari dan musim yang ada di muka bumi.

Allah
‘Azza wa Jalla menetapkan Sunatullah agar manusia dapat mengambil
hikmah daripadanya dalam mempertahankan hidupnya di dunia ini.
Sunnnatullah adalah sebuah system kehidupan yang dapat diteliti dan
ditelaah dengan seksama yang pada akhirnya akan memberi sebuah
ketetapan pasti yang kita sebut ‘hukum alam’. Allah ingin melihat
bagaimana kita ‘berproses’ dalam Sunatullah yang Dia tetapkan untuk
kita. Ketika Sunatullah itu membawa kebaikan bagi kita, apakah kita
bersyukur? Dan ketika Sunatullah itu membawa mushibah bagi kita apakah
kita bersabar? Adakah kita selalu baik sangka terhadap Sunatullah yang
Allah ‘Azza Wa Jalla tetapkan? Apakah kita selalu mengambil pelajaran
dan mempersiapkan diri terhadap Sunatullah tersebut? Hal inilah
sebenarnya yang harus kita tanyakan ke diri kita dan bukan menyalahkan
saudara-saudara kita dengan memvonis mereka akan kesalahan yang belum
tentu mereka lakukan.

Dalam zaman yang begitu modern dan
dipenuhi dengan kecanggihan ini, kita selalu ingin semua kejadian di
depan dapat diprediksi agar kita dapat mempersiapkan diri dengan baik.
Manusia modern banyak menggantungkan hidupnya pada ‘prakiraan’. Kita
amat berharap ahli-ahli geologi akan menemukan suatu alat untuk
memprediksi sebuah gempa akan terjadi. Dan juga kita amat mengharapkan
ahli-ahli geofisika dapat memprediksi kapan hujan akan turun dengan
pasti. Dapatkah semua itu terjadi? Kalaulah kita melihat kebelakang
begitu lama sudah usia sejarah manusia ditorehkan dimuka bumi ini.
Ribuan tahun berlalu, tapi hal itu belumlah menjadi kenyataan. Dalam
beberapa ayat Al Quran, Allah menyebutkan ‘Kiamat’ adalah sebuah
peristiwa yang penuh dengan ‘goncangan’ yang berarti dengan keadaan
yang menyulitkan dan huru-hara. Hal ini Allah jelaskan pada ayat QS An
Naa’ziaat diatas. Tidak ada yang dapat menyebutkan kapan peristiwa
Kiamat itu akan terjadi. Dan kita sadari atau tidak, 'Gempa Bumi'
adalah sebuah miniatur dari peristiwa kiamat tersebut. Tidak ada
seorang ahli pun dapat memprediksi kapan terjadinya. Gempa bumi adalah
sebuah goncangan yang mengingatkan manusia betapa tidak berharganya apa
yang ia miliki di dunia ini dan dapat binasa dalam sekejap. Sebuah
goncangan yang walaupun dalam skala kecil, membawa manusia dalam
kepanikan dan huru-hara. Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw menyatakan
bahwa salah satu tanda kiamat itu adalah banyaknya terjadi gempa bumi
yang penuh dengan goncangan itu.

Ketika seorang teman itu
tetap bertanya, “Jadi kenapa gempa yang begitu dahsyat itu harus
terjadi disini dan menjadi musibah bagi saudara-saudara kita yang
muslim? Kepada siapa peringatan Allah itu ditujukan?”

Hamba
itu hanya berkata, “Allah Yang Maha Tahu”. Hamba itu hanya dapat
bercermin dari begitu banyak perjalanan kehidupan hamba-hamba Allah di
dalam Al Quran. Dimulai dari Adam as yang ketika sudah merasa mapan di
dalam surga harus terusir, Nuh as yang berdakwah 900 tahun tanpa
memiliki pengikut kecuali hanya sebahagian kecil dari keluarga dan
kerabatnya, Ibrahim as yang terus menerus mendapat ujian dan harus
menempatkan keluarganya di tempat terpisah yang awalnya tandus dan sepi
untuk kembali membangun Baitullah, Musa as yang mendapat begitu banyak
ujian dari kaumnya setelah mereka terbebas dari kekuasaan Firaun,
Sulaiman as seorang yang sangat berkuasa harus kehilangan kekuasaannya
dalam beberapa saat, Yusuf as yang mendekam di penjara karena fitnah
dan Rasulullah saw yang hidup dalam kesulitan dan kesusahan diawal masa
kenabian dan harus berperang dan banyak bersabar dimasa tinggal di
Madinah. Semua itu mengajarkan kepada kita bahwa ‘kemapanan’ adalah hal
yang mustahil bagi seorang hamba Allah yang hidup di muka bumi ini.
Ujian datang silih berganti. Kemapanan akan membawa kepada kelalaian
yang cenderung melupakan dan menghanyutkan. Berapa banyak umat-umat
terdahulu Allah berikan azab hanya karena 'kemampanan' yang mereka
rasakan sehingga mereka lalai dan membangkang terhadap perintah Allah
SWT. Salah satunya, kita dapat bercermin kepada ummat Nabi Syuaib,
penduduk kota Madyan yang juga disebut penduduk Aikah yang selalu
curang dalam menakar dan menimbang. Mereka merasa mapan dengan keadaan
mereka dan mengabaikan pesan amar ma’ruf nahi munkar dari nabi Allah
Syu’aib (QS Hud 84-95)

Bukankah seharusnya kita bersyukur bahwa
Allah masih saja memperingatkan kita? Sebuah pesan yang bagi
saudara-saudara kita yang tertimpa mushibah amat berat untuk dicerna
dan diterima. Sebuah pesan yang juga membawa kepiluan bagi kita yang
melihatnya dan linangan air mata dalam menuliskan tulisan ini. Inilah
momentum bagi kita untuk berbagi, baik membantu secara langsung dengan
tenaga ataupun materi serta berdoa memanjatkan harapan ‘Azza Wa Jalla
memberi limpahan kesabaran bagi saudara-saudara kita. Saling berpesan
dalam kebenaran dan kesabaran. Allah telah berpesan pada kita. Sebuah
pesan yang amat gamblang bahwa kehidupan dunia ini adalah sementara
sifatnya dan kiamat itu pasti datang tanpa kita dapat memprediksinya.
Jangan pernah merasa mapan terhadap apa yang kita peroleh di dunia ini
karena kemapanan itu akan mengantarkan kita kepada sebuah kelalaian.

Seorang
sahabat Nabi pernah bertanya, “Ya Rasulullah, berilah aku sebuah pesan
yang dengan pesan itu cukup bagiku untuk menjalani kehidupan ini.” Nabi
menjawab, “Besungguh-sungguhlah kamu dalam ketaqwaan kepada Allah dan
beserah dirilah terhadap segala ketentuan Allah (istiqamah).” (HR Abu
Daud)

Wallahu ‘Alam Bissawab
wassalam,

alhakimc
note : Mohammad Yasser Fachri



      Terhubung langsung dengan banyak teman di blog dan situs pribadi Anda? 
Buat Pingbox terbaru Anda sekarang! http://id.messenger.yahoo.com/pingbox/

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke